Organisasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berusia 100 tahun. Peringatan Satu Abad ini menjadi perlu dibicarakan, bukan karena keramaian gelar acaranya, melainkan karena warga dari Nahdlatul Ulama (NU) merupakan entitas dari komunitas (etnos) yang potensial untuk memperbaiki praktik demokrasi politik formal di Indonesia yang mengalami kerusakan.
Kita tahu, kualitas demokrasi di Indonesia rendah. Nyata terjadi bahwa praktik politik kepartaian di Indonesia masih sebatas menjalankan fungsi kratos (kekuasaan) dan mengabaikan tujuannya untuk memenuhi hak warga (demos). Kualitas demokrasi baru berhasil memberikan kebebasan bagi warga untuk memilih saat pemilihan umum. Adapun hak hidup warga mendapatkan kesejahteraan masih jauh dari harapan.
Komunitas warga negara dari NU menjadi penting karena di dalamnya terdapat jutaan warga. Selain itu, organisasi PBNU di bawah Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat ini sedang gencar memperbaiki model organisasinya yang relevan dengan hak-hak kewarganegaraan.
Pembaharuan yang dilakukan Gus Yahya tepat karena ia meletakkan pelembagaan “hubungan antarmanusia” sebagai prioritas. Selain itu, Gus Yahya juga punya desain yang apik dengan usaha perbaikan relasional PBNU dengan partai politik, organisasi massa lain, dan hubungannya dengan jaringan internasional.
Sejauh saya amati, selama Gus Yahya menjadi Ketua PBNU, telah banyak hal yang dilakukan dengan menunjukkan “perilaku keorganisasian yang” dengan ide “koherensi berorganisasi”. Proses masih terus berlanjut. Tetapi keseriusan itu telah memperlihatkan perbedaan dari kepemimpinan sebelumnya. Fakta itu bisa kita rujuk dari dominasi wacana ke-NU-an yang sebelumnya berkutat pada isu radikalisme, berubah ke urusan keorganisasian dan sejumlah isu kewargaan yang lebih konkret mencakup kegiatan di berbagai bidang kemasyarakatan.
Menarik misalnya, tentang perbaikan keorganisasian itu bisa dilihat dari usaha PBNU mengarahkan setiap Badan Otonom (Banom) agar bekerja mengedepankan “produksi kebijakan” ketimbang “produksi event”. Mindset baru ini bagus karena bisa menjadikan PBNU bisa mengambil peran optimal sebagai lembaga pemberdayaan ketimbang sebagai event-organizer. Akan jauh lebih memberikan kesempatan kepada banyak orang memanfaatkan kesempatan dan memaksimalkan potensinya ketimbang sekadar menjadi sarana aktualisasi para pengurus.
Dengan kata lain, organisasi PBNU saat ini sedang berjalan di jalan inovasi yang sejati karena mengambil kerja “pelembagaan antarmanusia”, bukan memaksimalkan robot/teknologi atau memaksimalkan peran bangunan fisik. Cara ini sangat tepat karena secara otomatis sedang mempraktikkan “pemberdayaan diri” yang nantinya bisa berguna untuk mengepakkan dua sayap, yaitu “sayap pelayanan” dan “sayap pembangunan”.
Jika merujuk pada imajinasi awal Gus Yahya tentang seharusnya PBNU seperti pemerintahan negara, maka kehendak yang dimaksud itu sudah laras sebab hakikat dalam menjalankan pemerintahan itu mesti mencakup tiga hal, yaitu (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development).
Keseriusan yang lain dalam berorganisasi juga ditunjukkan dengan membangun narasi besar tentang hakikat hidup manusia di planet bumi dengan menghubungkan kekuatan potensial warga NU untuk membangun tatanan hidup bermasyarakat dengan istilah peradaban.
Mengubah Mental Lunatic
Narasi tentang alam dan manusia menjadi landasan kerja organisasi di PBNU. Simbol jagat dengan ikatan berbintang sembilan dari Organisasi PBNU dimaknai sebagai objektifikasi untuk mengatasi problem alam dan kemanusiaan.
Merawat jagad, kata Gus Yahya, berarti merawat dua dimensi. Yang pertama merawat bumi tempat manusia dan segenap spesies menjalani survivalnya. Jagad yang kedua adalah makhluk yang menempati. Berpijak pada spirit khalifah, Gus Yahya bermaksud mengajak banyak orang untuk mengambil peran optimal dengan akalbudinya ber-amar ma’ruf nahy munkar secara esensial; yakni mencegah kerusakan alam dan menciptakan manfaat dari idealisasi “surga di bumi.”
Gus Yahya sadar ada potensi dari manusia, apalagi dari kalangan terdidik di PBNU yang melimpah jumlahnya. Ini bisa menjadi solusi untuk mengeluarkan banyak orang dari keterkungkungan mental tak percaya diri. Paling tidak bisa mengubah dari keadaan lemah mentalitas lunatic; seperti burung pungguk merindukan bulan- ke arah mental tangguh menjadi aktor perubahan.
Maka, untuk mendistribusikan imajinasi itu dibutuhkan ragam cara dan ragam media agar menyebar di kalangan pengikutnya. Beruntung Gus Yahya punya paman, seorang penyair jenius yang punya empati kuat. KH. Ahmad Mustofa Bisri mengarang puisi, kemudian menjadikannya lirik dan diolah oleh musisi Tohpati menjadi lagu.
Saya yakin “Theme Song Satu Abad” (Nahdlatul Ulama) “Merawat Jagad Membangun Peradaban” itu akan menemukan tempat di masa kini dan bertahan di masa panjang mendatang. Alasannya, bahwa liriknya penuh makna, dan musiknya bagus sekaligus pas diterima oleh kaum santri.
Penciptaan lagu ini menurut saya juga bagian penting dari keseriusan beroganisasi. Sebab, narasi besar yang dibundel dalam konstruksi rasionalitas, -dalam karya tulis berupa buku misalnya, -tetap tak memberi jaminan diterima oleh banyak orang.
Bahkan pesan lisan seperti pidato atau diskusi sekalipun -apalagi rasional dan tak lucu- seringkali hanya menyebabkan hadirin mengantuk. Musik adalah sarana vital menyebarkan “virus akal budi,” kata peneliti Richard Brodies.
Saya harap Gus Yahya benar-benar bahagia dengan munculnya lagu itu karena ini bukan perkara hiburan, melainkan strategi penting dalam usaha memobilisasi perilaku spesies sebagaimana burung punya lagu untuk menuju ke selatan atau ke utara saat berburu biji-bijian, sebagaimana juga kawanan sapi punya tembang untuk bergerak menyusuri sumber pangan.
Di dalam lagu itu terdapat sejarah dan nilai-nilai serta tugas kontemporer PBNU. Ada kisah lama hubungan ulama (pemimpin) dan pengikut-pengikutnya (yang dipimpin). Teks “pemimpin” dan “yang dipimpin” ini bukan saja mengambarkan esensi primer tentang relasi makhluk sosial, melainkan sebagai bukti PBNU itu memiliki integritas sebagai komunitas masyarakat. Nilai integritasnya besar karena dibuktikan oleh jutaan umat manusia yang loyal dengan aneka ragam alasan rasional atau emosional. Selain dari itu juga merupakan ekspresi relasi pemimpin dan yang dipimpin dalam ruang hegemoni, bukan dominasi. Ini merupakan modal dasar bagi gerakan sipil untuk melaju di gerbong pembentukan tatanan yang diimajinasikan (peradaban) dan bahkan bisa menjadi “pengarah” politik formal negara.
Selain itu ada teks tentang komitmen ideologis (akidah dan sunnah) dan juga teks tentang objektivikasi (agama, nusa dan bangsa) sebagai penjelas gerak misionaris PBNU dalam menjalankan organisasi. Teks tersebut memberi arah bahwa berorganisasi itu bukan tujuan, melainkan alat. Selanjutnya Gus Mus menekankan pentingnya penguatan hasrat melalui tekad dengan cara sebagai pengabdi (khidmat) yang menyertakan sifat empati (kasih-sayang) terhadap semesta.
Makna lebih luas dari lirik lagu itu adalah, segenap gagasan tentang agama (baik ibadah maupun muamalah) tetap harus didaratkan pada usaha untuk melahirkan kebaikan bersama (Common good) atau peradaban (nilai dari unsur surgawi). Lebih penting lagi, di balik segenap usaha keras manusia harus lepas dari kesombongan.
Dengan kerendahan hati, Gus Mus mengajak semua orang yang berperan dalam lapangan sosial untuk mengutamakan amal dan mengurangi pamrih. Selamat hari lahir NU yang ke 100. [Sumber korangala senin, 30 Januari 2023
Faiz Manshur, Ketua Odesa Indonesia
https://jabar.nu.or.id/opini/100-tahun-nahdlatul-ulama-eMG76