6292. ᴵˢᵀᴵQᴼᴹᴬᴴ ᴾᵁᴬˢᴬ ˢᴱᴺᴵᴺ ᴷᴬᴹᴵˢ ᴰᴬᴺ ᴮᴬᴿᵁ ᴵᴺᴳᴬᵀ ᵀᴱᴿᴺʸᴬᵀᴬ ᴴᴬᴿᴵ ˢᴱᴺᴵᴺ ˢᴱᵀᴱᴸᴬᴴ ᴹᴬᴷᴬᴺ ᴴᴬᴮᴵˢ ˢᵁᴮᵁᴴ, ᴮᴼᴸᴱᴴᴷᴬᴴ ᴮᴱᴿᴾᵁᴬˢᴬ?

PERTANYAAN :

Assalamualaikum, mau nanya uztadz/zah. Jadi ngeten, ada seorang santri yang istiqomah puasa senin kamis, lalu suatu hari pas liburan pesantren dia kelupaan sama hari, eh senin subuh dia minum, lalu keinget dia kalo hari senin, padahal pengen puasa aslinya. Pertanyaannya, apakah boleh dia berpuasa 
Please nggeh ditunggu banget jawabannya..
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam. Dalam puasa sunnah, tidak disyaratkan harus niat pada malam hari. Diperbolehkan niat setelah terbit fajar hingga sebelum zawal (tergelincirnya matahari) dengan syarat belum melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa (makan, minum dll) setelah terbit fajar. Jika setelah terbit fajar seseorang melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa lalu ia niat puasa sunah sebelum tergelincirnya matahari, maka puasanya tidak sah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi Al-Jawi, beliau katakan:
نهاية الزين صـــ ١٨٥
وَلَا يجب التبييت فِي نفل الصَّوْم بل تصح نِيَّته قبل الزَّوَال بِشَرْط أَن لَا يسبقها منَاف للصَّوْم
Makna Tuban: “Dan tidak wajib niat pada malam hari didalam puasa sunah, akan tetapi sah meniatkannya sebelum tergelincirnya matahari dengan syarat tidak didahului sesuatu yang membatalkan puasa”.
Syekh Zakaria Al-Anshori dalam Fathul Wahab juga menjelaskan:
هَذَا (إنْ لَمْ يَسْبِقْهَا مُنَافٍ) لِلصَّوْمِ كَأَكْلٍ وَجِمَاعٍ وَكُفْرٍ وَحَيْضٍ وَنِفَاسٍ وَجُنُونٍ وَإِلَّا فَلَا يَصِحُّ الصَّوْمُ
Makna Tuban: ” (Ketentuan sahnya niat sebelum tergelincirnya matahari didalam puasa sunah) ini jika tidak didahului sesuatu yang menafikan puasa, seperti makan, bersetubuh, kufur, haid, nifas, dan gila. Jika tidak demikian (maksudnya terdahului oleh hal tersebut diatas) maka puasanya tidak sah”.
Syekh Zainuddin Al-Malibari menuturkan dalam Fathul Muin, senada dengan Syekh Zakaria Al-Anshori dan Imam Nawawi Al-Jawi. Beliau mengatakan:
اعانة الطالبين ج ١ صـــ
واحترز باشتراط التبييت في الفرض عن النفل، فتصح فيه – ولو مؤقتا – النية قبل الزوال: للخبر الصحيح
Makna Tuban: “Dan dikecualikan dari persyaratan meniatkan pada malam hari didalam puasa fardlu adalah puasa sunah, maka sah didalam puasa sunah walaupun yang muaqqot, niat sebelum tergelincirnya matahari karena ada hadita sohih”.
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa orang yang istiqomah puasa senin kamis kemudian pada suatu hari ia lupa kalau hari itu adalah hari senin dan ia sudah terlanjur makan setelah terbit fajar, lalu ia niat puasa maka puasanya tidak sah.
Jika belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar, maka boleh niat setelah terbit fajar hingga tergelincirnya matahari.
Bagaimana jika ingatnya setelah tergelincirnya matahari? Dalam hal ini tidak perlu pindah madzhab, kita bisa taqlid pendapat yang mengatakan boleh niat puasa sunah asal matahari belum terbenam. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar Muhammad Syato dalam Ianatut Tholibin ketika mengomentari pekat Syekh Zainuddin Al-Malibari diatas:
(قوله: قبل الزوال) متعلق بتصح أو بالنية. وفي الإيعاب للشافعي قول جديد: أنه تصح نية النفل قبل الغروب. قال: فمن تركها قبل الزوال ينبغي له بالشرط الذي ذكرناه – وهو تقليد في ذلك – أن ينويها بعده، ليحوز ثوابه على هذا القول، بناء على جواز تقليده. اهـ كردي. ولا بد من اجتماع شرائط الصوم من الفجر، للحكم عليه بأنه صائم من أول النهار، حتى يثاب على جميعه، إذ صومه لا يتبعض.
Makna Tuban: “(Perkataan Syekh Zainuddin Al-Malibari : sebelum tergelincirnya matahari) mempunyai ta’alluq dengan lafadz tashihhu atau an-niat. Didalam kitab Al-I’aab (karya Ibnu Hajar) dikatakan : ” terdapat qoul jadid Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa sah niat puasa sunah sebelum terbenamnya matahari. Lalu Ibnu Hajar mengatakan: orang yang belum niat sebelum tergelincirnya matahari, sebaiknya niat setelah tergelincirnya matahari agar memperoleh pahala menurut pendapat ini dengan syarat yang telah kami jelaskan yakni harus niat taqlid dalam permasalahan tersebut. Dan harus memenuhi persyaratan puasa mulai dari terbit fajar agar ia dihukumi puasa mulai dari awal siang sehingga ia diberi pahala penuh sebab puasa tidak bisa dibagi-bagi”.
Lalu bagaimana solusinya karena sudah istiqomah, kan pengen puasa, masak gak boleh?
Ok,,, untuk solusi, mari kita simak penjelasan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab ketika mengupas tuntas masalah ini. Berawal dari perkataan Imam Syirozi dalam Al-Muhadzab:
قال الشيرازي في المهذب
فان صام المتطوع بنية من النهار فهل يكون صائما مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَمْ مِنْ وَقْتِ النِّيَّةِ فيه وجهان (قال) أبو اسحق يكون صائما من وقت النية لان ما قبل النية لم يوجد فيه قصد القربة فلم يجعل صائما فيه (وقال) اكثر اصحابنا انه صائم من اول النهار لانه لو كان صائما من وقت النية لم يضره الاكل قبلها}
Makna Tuban: Apabila seseorang puasa sunah dengan niat pada siang hari, apakah ia berstatus orang yang berpuasa dihitung dari awal siang (terbitnya fajar) ataukah dihitung dari mulai ia niat itu? Dalam hal ini ada dua wajah pendapat. Imam Abu Ishaq mengatakan: “status berpuasa adalah dimulai dari niat karena sebelum niat tidak terdapat tujuan taqorrub, maka dari itu ia belum berstatus orang yang berpuasa sebelum niat”. 
Mayoritas ulama Syafiiyah mengatakan bahwa puasanya dihitung mulai dari terbitnya matahari, sebab seandainya ia dikatakan berpuasa sedari niat maka makan sebelum niat itu tidak membatalkan puasanya”.
Beliau Imam Nawawi mengatakan : “Ketika seseorang niat sebelum tergelincirnya matahari atau setelahnya dengan taqlid pendapat yang mengesahkan, apakah ia dihitung berpuasa mulai waktu niat dan tidak dihitung pahala sebelum niat ataukah dihitung mulai dari terbitnya fajar dan diberi pahala mulai terbit fajar? Ada dua wajah pendapat masyhur yang dalilnya telah dituturkan oleh mushonif (Imam Syirozi). Pendapat ashoh menurut Ashab Syafiiyyah dan dinuqil mushonif dan jumhur ulama dari mayoritas ulama mutaqoddimin dihitung mulai dari terbit fajar. Imam Mawardi dalam dua kitabnya Al-Majmuk dan At-Tajrid juga Imam Mutawalli mengatakan: “wajah pendapat yang mengatakan diberi pahala mulai dari niat adalah qoulnya Imam Abi Ishaq Al-Mirwazi. Dan mereka (ulama telah sepakat atas lemahnya pendapat ini”. Telah berkata Imam Mawardi dan Qodli Abu Toyyib dalam kitab Mujarrod bahwa pendapat ini gholat karena puasa tidak bisa dijuz-juz. Sampai pada perkataan Imam Nawawi : “Ketika kita mengatakan diberi pahala mulai terbitnya fajar maka disyaratkan semua syarat-syarat puasa mulai terbit fajar. Sehingga jika seseorang makan, jimak, atau melakukan hal lain yang dapat menafikan puasa maka puasanya tidak sah. Sedangkan jika kita mengatakan diberi pahala mulai dari niat, maka terdapat dua wajah pendapat mayshur dalam dua toriqoh terkait apakah disyaratkan belum makan, jimak, dll. Menurut pendapat ashoh; disyaratkan dan pendapat ini telah dipastikan oleh mushonif dan lainnya serta yang dimanshus. Menurut pendapat kedua; tidak disyaratkan. Menurut pendapat ini apabila seseorang makan, jimak, atau perbuatan lain yang dapat menafikan puasa lalu ia niat, maka puasanya dihukumi sah dan diberi pahala mulai awal niat. Wajah pendapat ini dihikayahkan dari Abul Abbas bin Suraij, Muhammad bin Jarir At-Tobary, dan Syekh Abi Zaid Al-Marwazi. Abu Ali At-Tobary dalam kitab Al-Ifshoh, Qodli Abu Toyyib dalam Al-Mujarrod menceritakan wajah mukhorroj tentang pendapat ini, beliau berdua mengatakan: “yang mengeluarkan wajah mukhorroj adalah Muhammad bin Jarir At-Tobary. Imam Mutawalli juga menceritakan pendapat kedua ini dari segolongan sahabat, Abu Tolhah, Abu Ayyub, Abu Darda’, dan Abu Hurairah Rodliyallhu Anhum. Dan aku (Imam Nawawi) tidak mengira kalau pendapat kedua yang dihikayahkan dari segolongan sahabat ini sohih dari mereka”.
المجموع شرح المهذب ج ٦ صــ ٢٩٢
(أَمَّا) الْأَحْكَامُ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ يَصِحُّ صَوْمُ النَّفْلِ بِنِيَّةٍ مِنْ النَّهَارِ قَبْلَ الزَّوَالِ وَشَذَّ عَنْ الْأَصْحَابِ الْمُزَنِيّ وَأَبُو يَحْيَى الْبَلْخِيُّ فَقَالَا لَا يَصِحُّ إلَّا بِنِيَّةٍ مِنْ اللَّيْلِ وَهَذَا شَاذٌّ ضَعِيفٌ وَدَلِيلُ الْمَذْهَبِ وَالْوَجْهِ فِي الْكِتَابِ وَهَلْ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ بَعْدَ الزَّوَالِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) بِاتِّفَاقِ الْأَصْحَابِ وَهُوَ نَصُّهُ فِي مُعْظَمِ كُتُبِهِ الْجَدِيدَةِ وَفِي الْقَدِيمِ لَا يَصِحُّ وَنَصَّ فِي كِتَابَيْنِ مِنْ الْجَدِيدِ عَلَى صِحَّتِهِ نَصَّ عَلَيْهِ فِي حَرْمَلَةَ وَفِي كِتَابِ اخْتِلَافِ عَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ مِنْ جُمْلَةِ كُتُبِ الْأُمِّ قَالَ أَصْحَابُنَا وَعَلَى هَذَا يَصِحُّ فِي جَمِيعِ سَاعَاتِ النَّهَارِ وَفِي آخِرِ سَاعَةٍ لَكِنْ يُشْتَرَطُ أَنْ لَا يَتَّصِلَ غُرُوبُ الشَّمْسِ بِالنِّيَّةِ بَلْ يَبْقَى بَيْنَهُمَا زَمَنٌ وَلَوْ أَدْنَى لَحْظَةً صَرَّحَ بِهِ الْبَنْدَنِيجِيُّ وَغَيْرُهُ ثُمَّ إذَا نَوَى قَبْلَ الزَّوَالِ أَوْ بَعْدَهُ وَصَحَّحْنَاهُ فَهَلْ هُوَ صَائِمٌ مِنْ وَقْتِ النِّيَّةِ فَقَطْ وَلَا يُحْسَبُ لَهُ ثَوَابُ مَا قَبْلَهُ أَمْ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَيُثَابُ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ دَلِيلَهُمَا (أَصَحُّهُمَا) عِنْدَ الْأَصْحَابِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَنَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ وَالْجُمْهُورُ عَنْ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا الْمُتَقَدِّمِينَ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْمَحَامِلِيُّ فِي كِتَابَيْهِ الْمَجْمُوعِ وَالتَّجْرِيدِ وَالْمُتَوَلِّي الْوَجْهُ الْقَائِلُ يُثَابُ مِنْ حِينِ النِّيَّةِ هُوَ قول ابى اسحق الْمَرْوَزِيِّ وَاتَّفَقُوا عَلَى تَضْعِيفِهِ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي الْمُجَرَّدِ هُوَ غَلَطٌ لِأَنَّ الصَّوْمَ لَا يَتَبَعَّضُ قَالُوا وَقَوْلُهُ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ الْعِبَادَةَ قَبْلَ النِّيَّةِ لَا أَثَرَ لَهُ فَقَدْ يُدْرِكُ بَعْضَ الْعِبَادَةِ وَيُثَابُ كَالْمَسْبُوقِ يُدْرِكُ الْإِمَامَ رَاكِعًا فَيَحْصُلُ لَهُ ثَوَابَ جَمِيعِ الرَّكْعَةِ باتفاق الاصحاب وبهذا ردوا على ابى اسحق وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
* وَقَدْ سَبَقَ فِي بَابِ نِيَّةِ الْوُضُوءِ الْفَرْقُ بَيْنَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَمَنْ نَوَى الْوُضُوءَ عِنْدَ غَسْلِ الْوَجْهِ وَلَمْ يَنْوِ قَبْلَهُ فانه لا يُثَابُ عَلَى الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ وَغَسْلِ الْكَفَّيْنِ لِأَنَّ الْوُضُوءَ يَنْفَصِلُ بَعْضُهُ عَنْ بَعْضٍ وَلَوْ حُذِفَتْ هَذِهِ الْمَذْكُورَاتِ مِنْهُ صَحَّ بِخِلَافِ الصَّوْمِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ قَالَ أَصْحَابُنَا (فَإِنْ قُلْنَا) يُثَابُ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ اُشْتُرِطَتْ جَمِيعُ شُرُوطِ الصَّوْمِ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ فَإِنْ كَانَ أَكَلَ أَوْ جَامَعَ أَوْ فَعَلَ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ الْمُنَافِيَاتِ لَمْ يَصِحَّ صَوْمُهُ (وَإِنْ قُلْنَا) يُثَابُ مِنْ أَوَّلِ النِّيَّةِ فَفِي اشْتِرَاطِ خُلُوِّ أَوَّلِ النَّهَارِ عَنْ الاكل والجماع وغيرها وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ فِي الطَّرِيقَتَيْنِ (أَصَحُّهُمَا) الِاشْتِرَاطُ وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَآخَرُونَ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ (وَالثَّانِي) لَا يُشْتَرَطُ فَلَوْ كَانَ أَكَلَ أَوْ جَامَعَ أَوْ فعل غير ذلك من المنافيات ثُمَّ نَوَى صَحَّ صَوْمُهُ وَيُثَابُ مِنْ حِينِ النِّيَّةِ وَهَذَا الْوَجْهُ مَحْكِيٌّ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ جَرِيرٍ الطَّبَرِيِّ وَالشَّيْخِ أَبِي زَيْدٍ الْمَرْوَزِيِّ وَحَكَاهُ أَبُو عَلِيٍّ الطَّبَرِيُّ فِي الْإِفْصَاحِ وَالْقَاضِي أَبُو الطيب في المجرد وَجْهًا مُخَرَّجًا قَالَا وَالْمُخَرِّجُ لَهُ هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ وَحَكَاهُ الْمُتَوَلِّي عَنْ جَمَاعَةٍ من الصحابة أبي طَلْحَةَ وَأَبِي أَيُّوبَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَمَا أَظُنُّهُ صَحِيحًا عَنْهُمْ
Dari pemaparan Imam Nawawi diatas agaknya membuat lega karena beliau menampakkan dua pendapat terkait kasus yang ditanyakan. Yakni ada pendapat muqobil ashoh yang mengatakan boleh dan sah puasa walaupun telah makan setelah terbit fajar. WaLlahu A’lam Bisshowab. [Muhammad Muzakka].

LINK ASAL :

https://www.facebook.com/zakkayuzakkitazkiyyan/posts/pfbid02LT8oFgRZAcv9QapFhDW13fA9cv8pSC4ZCpoXjCmvwNuvFBgBbvtvsznfwsBZyEr1l

https://www.piss-ktb.com/2024/09/6292-q.html

Author: Zant