Jombang, NU Online Jatim
Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Jawa Timur menggelar ‘Simposium Sastra Pesantren’ dikemas melalui Focus Group Discussion (FGD) tersebut, digelar 2-4 Desember 2022. Total ada 9 rumusan yang dihasilkan pasca semua narasumber memberikan materi kepada peserta.
Salah satu narasumber, Prof Djoko Saryono menjelaskan bahwa sastra pesantren hadir berkhidmat untuk peradaban dan kemanusiaan. Berbagai pembentangan makalah sampai pengutaraan pikiran membuahkan ringkasan dan rambu-rambu sastra pesantren.
“Disebut rambu-rambu untuk menghindari kebekuan-kebekuan yang tidak bisa menampung suara-suara lain yang mungkin lebih baik. Termasuk akan memperkaya sastra pesantren,” ungkap Prof Djoko Saryono.
Rumusan dan rambu-rambu sastra pesantren itu menurutnya bukan berarti selesai. Pasca dirumuskan, sastra pesantren diharapkan bekerja keras, tekun, khidmat serta dengan tulus supaya menggelorakan, mengembangkan menyebarluaskan dan menawarkan maslahat dan manfaat.
“Sastra pesantren bersumbangsih untuk kemanusiaan dan peradaban yang sedang rapuh. Sebab dalam dalam kondisi rentan ini akibat dari dinamika perubahan yang cepat tidak terduga,” kata Dosen Universitas Negeri Malang ini.
Dari data yang diperoleh NU Online melalui Prof Djoko Saryono, sembilan rumusan tersebut di antaranya:
Pertama, sastra pesantren lahir dari kebutuhan budaya sehingga keberadaannya selalu terikat kemanusiaan dan peradaban yang mampu diperlakukan sebagai kode-kode multidimensional minimal empat kode, yaitu kode sastra, kode bahasa, kode budaya, dan kode spiritual.
Kedua, secara konstitutif dan definitif sastra pesantren selalu memiliki dinamika sendiri lewat satuan ruang dan waktu. Oleh karenanya, formulasi sastra pesantren tidak membeku dalam satuan zaman dan satuan ruang. Memiliki yang tetap dan berubah dalam perkembangan kondisional.
Sastra pesantren lama terkait dengan ihwal-ihwal terdapat di sekitar dunia pesantren. Sastra pesantren kekinian tidak lepas dari perkembangan masa silam, kekinian serta masa-depanan dengan adanya aksentuasi-aksentuasi baru. Sehingga, secara holistik, sastra pesantren bersumber dari tradisi sastra lisan, sastra tulis manuskrip, sastra tulis cetak, dan sastra digital.
Ketiga, sastra pesantren lahir dari imperatif sejarah kemanusiaan dan peradaban. Oleh karena itu, hadir secara organik tumbuh dan berkembang dalam lapangan diskursif dan aksional seiring dengan perkembangan pengetahuan, relasi kekuasaan dan dinamika zaman.
Keempat, secara historis, sastra pesantren melintasi batasan-batasan literer dan kultural. Alhasil, bercorak interkultural, intergenerasional dan interseksional. Karena posisi, eksistensi, status dan perkembangan tidak hanya dikotak-kotakan melalui satuan bentuk dan fungsi.
Dapat ditarik benang merah corak dan ragam sastra pesantren acapkali hadir secara bersama-sama dan berkesinambungan lewat waktu yang serentak. Kendati berbeda ruang geografis dan geokultural.
Kelima, ciri penanda distingtif sastra pesantren terletak pada lintas bahasa. Selanjutnya pada spirit, ideologi, ruh atau jiwa kepesantrenan yang menekankan syiar, tafaquh, dan ekspresi. Kesadaran diri membuat sastra pesantren bergerak dan berkembang. Oleh karena itu, sastra pesantren bercorak instrumental sekaligus integratif antara yang indah, berfaedah dan kamal.
Keenam, sastra esantren berisi dimensi Islam, dakwah, sufistik dan bentuk spiritualisme lain yang dikerangkai oleh sosio-kultur. Termasuk religiokultur Indonesia lewat visi menyongsong manusia sempurna dan Rahmatan lil ‘Alamin.
Ketujuh, secara genealogis, sastra pesantren berakar dari tradisi manapun yang mengusung kemanusiaan dan Rahmatan lil ‘Alamin. Contohnya, Jawa, Parsi, Melayu, dan Arab. Sehingga, sastra pesantren sudah eksis sedari awal masuk Islam di Indonesia. Jejaring tersebut membentuk sastra pesantren dengan mengelaborasi ke bentuk dan penciptaan yang pernah berkembang sebelumnya.
Kedelapan, secara ringkas dan padat, sastra pesantren adalah sastra tentang hal-ihwal pesantren dan kepesantrenan, oleh sastrawan/penulis santri, dan untuk semesta.
Kesembilan, dalam aspek politik kebudayaan, sastra pesantren punya peluang untuk mengembangkan jejaring kultural dalam lintas-batas sastra nasional. Oleh karena itu, dalam konteks kekinian, membangun jejaring sekaligus penguatan generasi yang mampu mengembangkan sastra pesantren dalam lintas-batas sastra nasional adalah sebuah kebutuhan.
https://jatim.nu.or.id/matraman/9-rumusan-simposium-sastra-pesantren-di-tebuireng-jombang-A1cLs