Meski terpaut usia 18 tahun, KH Abdullah Abbas (Kiai Dulah) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan dua ulama yang sangat akrab. Kekaribannya memang memiliki sejarah tersendiri. Pasalnya, ayah Kiai Dulah, KH Abbas Abdul Jamil dan Haadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur juga berkerabat dekat. Sebagaimana diketahui, Kiai Abbas merupakan salah seorang yang dinanti kehadirannya oleh Mbah Hasyim dalam Perang 10 November 1945 untuk memimpin jalannya peperangan tersebut.
Kiai Dulah mendukung gerakan Gus Dur dalam mengembalikan NU ke Khittah 1926 di tengah semakin dalamnya NU terjerembab pada pusaran politik praktis. Disebutkan dalam “Biografi Gus Dur” (2002: 161) yang ditulis Greg Barton, Gus Dur dan KH Achmad Siddiq merupakan dua di antara beberapa kiai yang mengusung agar NU menarik diri dari politik kepartaian dan kembali ke khittah 1926, yakni NU adalah organisasi sosial keagamaan.
Diceritakan dalam buku “Perlawanan dari Tanah Pengasingan” (2014: 138) yang ditulis Ahmad Zaini Hasan, Kiai Dulah bersama KH Fuad Hasyim berkeliling menemui kiai-kiai di berbagai daerah. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mendukung upaya tersebut, yakni agar para kiai juga turut serta mengamini kembalinya NU ke Khittah 1926 dan melepaskan diri dari politik praktis. Hal tersebut berbuah hasil pada Muktamar Ke-27 NU tahun 1984 di Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, yang memutuskan NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan, tidak lagi terlibat dalam politik praktis kepartaian.
Selain itu, Kiai Dulah juga menjadi salah satu motor dalam keterpilihan kembali Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk kali ketiganya, masa khidmah 1994-1999. Dalam Muktamar Ke-29 NU tahun 1994 di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Kiai Dulah melihat gelagat yang tidak beres. Sebagai Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Kiai Dulah pun mengambil komando agar peserta Muktamar dapat memilih kembali Gus Dur sebagai pemimpin NU demi keselamatan NU dari rongrongan pemerintah yang sudah terlalu jauh masuk.
Gus Dur menjadi presiden
Di tahun 1990-an itu juga, Kiai Dulah dan Gus Dur semakin akrab. Situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan saat itu mempererat hubungannya karena menuntut mereka untuk semakin sering bertemu. Diceritakan Nyai Hj Ismatul Maula, putri Kiai Dulah, bahwa Gus Dur kerap bertamu ke kediaman ayahnya saban malam Jumat bersama Habib Luthfi bin Yahya. Di malam itu, biasanya mereka akan berziarah ke beberapa ulama di Cirebon, khususnya kepada Sunan Gunung Jati.
Bahkan, Kiai Dulah juga pernah menjadi tuan rumah pertemuan para ulama dalam menentukan kelanjutan pencalonan Gus Dur sebagai presiden. Saat itu, Amien Rais pun turut hadir meyakinkan para ulama. Namun, Kiai Dulah melihat adanya kemungkinan Gus Dur diturunkan di tengah perjalanannya sebagai presiden. Saat itu, keputusannya pun tidak menghendaki Gus Dur untuk maju sebagai capres.
Namun, beberapa waktu kemudian, para kiai kembali mengadakan rapat di Jakarta. Kiai Dulah pun berangkat memenuhi undangan tersebut. Di situ, Kiai Dulah pada akhirnya merelakan Gus Dur meski dengan penuh kekhawatiran akan dijatuhkannya Gus Dur dari kursi kepresidenannya.
Tak dinyana, Gus Dur pun terpilih sebagai Presiden keempat Republik Indonesia. Putra sulung KH Abdul Wahid Hasyim itu pun menjadi presiden pertama Indonesia yang dipilih secara demokratis dalam sebuah pemilihan.
Setelah terpilih sebagai presiden, Gus Dur mengutus ajudannya untuk mengirim sebuah pohon kaktus kepada Kiai Dulah. Diceritakan KH Mohammad Mustahdi Abdullah Abbas, ajudan itu hanya mengirim pohon kaktus tanpa apa-apa selain itu. Sebagai putranya, ia pun bertanya kepada ayahnya tersebut mengenai maksud Gus Dur mengirim kaktus. Kiai Dulah pun menjawabnya dengan senyum. Kiai Dulah memang salah seorang ulama yang tidak banyak berbicara kecuali diperlukan.
Namun, Kang Mustahdi, sapaan akrabnya, menafsiri bahwa barangkali Gus Dur hendak menyampaikan bahwa ia baik-baik saja. Sebagaimana diketahui, kaktus merupakan salah satu tumbuhan yang dapat hidup di tengah padang pasir yang gersang. Artinya, Gus Dur tetap bisa hidup di tengah kegersangan seperti kaktus di tengah padang pasir itu.
Sebagaimana diketahui, Kiai Dulah lahir pada 7 Maret 1922 M dan wafat pada 10 Agustus 2007 M. Sejak mudanya, Kiai Dulah sudah aktif melakukan pergerakan dan turut berperang di medan pertempuran melawan penjajah. Beliau pernah menjadi Kepala Staf Batalyon Hizbullah dan Anggota Batalyon 315/Resimen 1/ Teritorial Siliwangi dengan pangkat letnan muda.
Kiai Dulah juga pernah menjadi juru warta pada juru penerangan agama Kabupaten Cirebon, Anggota Dewan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Cirebon, Anggota Badan Pemerintah Harian Daerah Tingkat II Kabupaten Cirebon, Ketua Panitia Pemeriksaan Daerah Kabupaten Cirebon, dan Anggota DPRD Kabupaten Cirebon. Jabatan-jabatan tersebut diembannya pada tahun 1950-1965.
Kemudian, Kiai Dulah kembali ke dunia pendidikan dengan menjadi pengajar di Pondok Buntet Pesantren. Beliau tercatat pernah menjadi Kepala Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buntet Pesantren pada tahun 1960-an. Kemudian, beliau ditunjuk sebagai Sesepuh Pondok Buntet Pesantren pada tahun 1988 untuk meneruskan kepemimpinan kakaknya, KH Mustamid Abbas, yang wafat di tahun tersebut.
Pada tahun 1990, Kiai Dulah dipilih oleh para kiai di Jawa Barat untuk memimpin PWNU meneruskan KH M Ilyas Ruhiat. Beliau menjadi Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat untuk 15 tahun sampai tahun 2005. Pada Muktamar Ke-31 NU di Boyolali, Kiai Dulah menjadi salah satu Mustasyar PBNU.
Penulis: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/fragmen/kh-abdullah-abbas-dan-kedekatannya-dengan-gus-dur-Ji08I