Jakarta, NU Online
Kasus penganiayaan David oleh Mario Dandy menyeret nama pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo. Namanya melejit setelah penganiyaan anaknya terhadap David, putra Pimpinan Pusat GP Ansor Jonathan Latumahina. Dari situ, terkuak Mario Dandy sering pamer kemewahan dan aset bernilai fantastis. Akibat ulah anaknya, Rafael kini harus menjalani sejumlah pemeriksaan.
Rafael diperiksa atas kepemilikan harta kekayaan tidak wajar sebesar 56 miliar Rupiah berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LKHPN). Terbaru, ia menjalani pemeriksaan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atas puluhan rekening dengan mutasi rekening mencapai ratusan miliar yang berkaitan dengannya.
Satu persatu “borok” mulai terendus. Temuan fakta soal ketidakdisiplinan Rafael sebagai pejabat di lingkungan pajak tersebut spontan memantik skeptis warga terhadap pengelolaan pajak.
Pakar Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Jaenal Effendi menilai kepercayaan warga terhadap pajak kian meredup setelah sengkarut kasus yang membelit Rafael Alun Trisambodo.
“Sejauh ini kepercayaan yang sudah dibangun lama, yang masyarakat mengamanahkan kepada pejabat-pejabat khususnya di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dirjen Pajak,” kata Jaenal Effendi kepada NU Online, Selasa (7/3/2023).
Lebih lanjut, doktor jebolan Univesitas Georg August-Goettingen, Jerman itu menilai, kasus tersebut menunjukkan pejabat yang ada sama sekali tidak memahami amanah yang diberikan, menyia-nyiakan tanggung jawab yang dibebankan. Selain menggerus kepercayaan masyarakat terhadap integritas, reputasi institusi juga tercoreng.
“Saya khawatir bahwa para petugas pajak tidak mengetahui resiko yang akan terjadi jika mereka tidak menjalankan amanah dengan baik. Ketika Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) tidak bisa memastikan bahwa anak buahnya tidak mengetahui resiko yang ada ada manajemen risikonya tidak dikelola dengan baik maka akan meletus gunung ketidakpercayaan masyarakat. Ini akan menimbulkan kerugian yang luar biasa kepada institusi, negara,” jabar Jaenal.
Menurutnya, skeptis masyarakat terhadap pengelolaan pajak perlu direspons cepat. Ini karena, kepatuhan perpajakan yang terganggu memiliki efek domino dan bisa berdampak panjang.
“Ketika pajak orang menurun, ini harus disadarkan dan dampak yang sekiranya akan muncul dihitung dengan baik oleh pemerintah,” ungkap Jaenal.
Ia menjelaskan bahwa resiko adanya aksi boikot pajak dapat mengganggu pemasukan negara. Padahal, pajak ini sangat krusial karena untuk membiayai anggaran yang berhubungan dengan pembangunan kepentingan negara.
“Masyarakat harus memahami bahwa ketika kita maksimal membayar pajak, sebagaimana di negara maju, dalam rangka pembangunan infrastruktur yang ada, jalan raya, rumah sakit, sekolah. Ini bisa dibiayai dari pajak,” jelas dia.
“Subsidi bahan bakar, bantuan sosial untuk masyarakat rentan juga dari pajak. Termasuk untuk menjalankan pemerintahan dengan baik,” imbuhnya.
Ujungnya, ketidakseimbangan akibat mogok pajak tersebut dapat menghambat pembangunan infrastruktur negara. Pajak, sambung dia, merupakan sesuatu yang wajib ada di suatu negara untuk membantu menjalankan pemerintahan dengan baik.
“Sehingga pajak ini jika zero, akan menyebabkan ketidakharmonisan pemerintah menjalankan pemerintahan. Menjadi membahayakan negara karena tidak ada sesuatu yang digunakan untuk pembangunan bangsa,” jabar Jaenal.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.