Mendidik Pemimpin dan Negarawan 

Seorang sahabat bercerita tentang penangkapan demi penangkapan oknum pejabat negara, karena diduga terlibat dalam kasus korupsi. Kata pejabat KPK, karena sifatnya yang sangat merusak, korupsi telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Ini tentu sangat mencemaskan bagi masa depan bangsa ini. Katanya lagi : “Dan ini justeru terjadi di negara beragama. Bagaimana sih ya?.” 

Aku tak menjawab. Tetapi aku ingat Imam al Ghazali yang menulis buku bagus sekali, berjudul “Al Tibr al Masbuk fi Nashihah al Muluk”. Kitab ini aku baca dalam pengajian Ramadhan, bulan puasa, tahun lalu. Di dalamnya ada sejumlah hikayah yang sangat menarik dan menginspirasi.

Sa’di Syirazi, penyair dan sastrawan Persia terkemuka bercerita tentang Raja Anusyirwan. Pada suatu hari diiringi para pembantunya, sang Kaisar yang terkenal adil itu pergi berburu rusa di sebuah hutan. Ketika rusa diperoleh, ia meminta para punggawa menyembelihnya untuk kemudian dimasak.

Bumbu-bumbu kemudian disiapkan. Tetapi ada satu yang ketinggalan : garam. Raja meminta salah seorang di antara mereka mencari segenggam garam di rumah penduduk desa terdekat. Sebelum dia berangkat, sang Raja berkata : “Belilah garam rakyat itu sesuai harganya. Kamu jangan membiasakan diri mengambil milik orang lain di kampungmu dengan mengatasnamakan pejabat kerajaan/negara. Jika kamu melakukannya, maka kampung/desa itu niscaya akan bangkrut dan jatuh dalam kemiskinan yang masif”. 

Si punggawa heran : “tuan raja, apakah yang salah bila aku ambil segenggam garam itu, seberapalah harga barang yang remeh temeh itu?”. Dengan tenang Raja menjawab : “Kezaliman, korupsi dan petaka di dunia ini dimulai dari sesuatu yang kecil. Tetapi orang-orang yang datang kemudian akan mengambilnya dalam kadar dan jumlah lebih besar dari pendahulunya. Dan begitu seterusnya.

Jika Raja mengambil hanya segenggam garam, maka para pejabat akan merampas tanah satu hektar. 
Jika Raja mengambil sebiji apel dari kebun milik orang/rakyat, para pejabat akan mencabut pohon itu seakar-akarnya. 
Jika Raja membolehkan mengambil lima butir telor. Maka seribu ekor ayam akan menyusul dipanggang si pejabat. 
Orang zalim memang tak ada yang kekal. Tapi kutukan atas kezaliman akan abadi”. 

Hari ini sepertinya kita di sini sedang berada dalam situasi mencemaskan. Aku merenung sendiri : Khutbah dan pengajian keagamaan yang selalu menyampaikan pesan provetik : “Ittaqullah. Laallakum Tuflihun”, seperti tak terdengar. Kata-kata itu bagai terbang dan tanpa jejak. Apa yang salah, mengapa dan bagaimana?

KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU

https://jabar.nu.or.id/hikmah/mendidik-pemimpin-dan-negarawan-IK7Us

Author: Zant