Kita yang menyambut gembira saat kedatangan Ramadhan, kini dalam waktu dekat akan merelakan kepergian bulan sejuta ampunan itu.
Ramadhan sudah memasuki sepuluh hari terakhir. Artinya, tidak lama lagi bulan yang kehadirannya selalu dirindukan umat Muslim ini akan berakhir dalam hitungan hari. Sebagian kita telah melewatinya dengan semangat amal ibadah, mulai dari berpuasa, tadarus Al-Qur’an, shalat tarawih, dan amalan-amalan lainnya.
Namun harus diakui pula sebagian yang lain, barangkali anda yang membaca termasuk diantaranya, melewati hari-hari Ramadhan dengan ibadah alakadarnya. Entah karena kesibukkan aktifivitas yang menumpuk atau memang sebab malas saja. Di penghujung bulan ini, penting kiranya kita renungi hari-hari Ramadhan yang telah dilalui, juga sisanya yang akan kita lewati. Setidaknya ada tiga (3) renungan di penghujung Ramadhan.
1. Mengevaluasi Ibadah
Sudah separuh bulan lebih hingga sepuluh hari terakhir Ramadhan kita tunaikan, tentu sudah seharusnya ada banyak ibadah yang telah kita lakukan selama berpuasa. Selain ibadah puasanya sendiri, juga amal-amal sunnah seperti tadarus Al-Qur’an, shalat tarawih, menghidupkan malam-malam dengan serangkaian ibadah, dan sebagainya. Sebagai manusia biasa, kita tidak bisa menjamin apakah semua ibadah yang sudah kita lakukan itu diterima Allah swt atau tidak.
Sebab itu, sekalipun kita sudah beribadah maksimal selama Ramadhan, kita tidak boleh terlalu percaya diri bahwa Allah menerima semua apa yang kita lakukan. Dengan begitu kita tidak akan larut dalam kepuasan spiritual atau bahkan merasa diri sudah paling saleh. Meski begitu, di sisi lain kita juga harus optimis bahwa Allah menerima ibadah yang sudah kita perbuat agar tidak muncul sikap pesimis. Sebab, Allah sesuai perasangka hamba-Nya.
Lebih ketat lagi, Imam Al-Ghazali bahkan menyampaikan bahwa sikap ini seharusnya kita tanamkan setiap selesai berbuka puasa, bukan hanya ketika di penghujung atau selesai Ramadhan. Ia menyampaikan dalam Ihya ‘Ulumiddin,
أَنْ يَكُوْنَ قَلْبُهُ بَعْدَ الإِفْطَارِ مُعَلَّقاً مُضْطَرِبًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ إِذْ لَيْسَ يَدْرِي أَيُقْبَلُ صَوْمُهُ فَهُوَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنَ الْمَمْقُوتِينَ وَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي آخِرِ كُلِّ عِبَادَةٍ يَفْرَغُ
Artinya, “Setiap selesai berbuka puasa, seyogyanya kita merasa khawatir sekaligus menaruh harap kepada Allah. Khawatir jangan-jangan ibadah kita tidak diterima, juga berharap bahwa Allah menerimanya. Sebab, kita tidak tahu apakah puasa kita diterima sehingga termasuk hamba yang dekat di sisi Allah, atau sebaliknya ditolak sehingga kita termasuk hamba yang mendapat murka-Nya. Sikap seperti ini harus diterapkan setiap selesai melakukan ibadah apapun.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [2016], juz I, halaman 319).
Orang yang sudah beribadah maksimal saja tidak boleh berbangga diri dan terlalu percaya diri dengan amalnya, apalagi mereka yang ibadahnya biasa-biasa saja.
2. Penuh Syukur
Betapapun bisa berjumpa dengan bulan suci Ramadhan merupakan anugerah teragung dari Allah swt. Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa para ulama akan mempersiapkan diri jauh-jauh hari bahkan berbulan-bulan sebelum kedatangan Ramadhan. Syekh Mu’alla bin Fahdl atau dikenal dengan Abu Hasan al-Bashri bahkan dikatakan selalu memohon kepada Allah agar dipertemukan Ramadhan setiap jarak enam bulan sebelum kedatangannya. Umat Muslim pun dianjurkan untuk memanjatkan doa agar bisa berjumpa Ramadhan begitu masuk bulan Rajab atau dua bulan sebelum Ramadhan.
Motivasi kuat untuk berjumpa bulan mulia ini karena Ramadhan memiliki sejuta keutamaan yang tidak ada dalam bulan-bulan lainnya. Rasulullah saw selalu menyampaikan kepada sahabat ketika bulan penuh ampunan ini sudah tiba,
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُباَرَكٌ، شَهْرٌ فِـيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِياَمَهُ فَرِيْضَةً وَ قِياَمَ لَيْلِهِ تَطَـوُّعاً مَنْ تَقَرَّبَ فِـيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ اْلخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِـيْماَ سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِـيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِـيْمَا سِواَهُ
Artinya, “Wahai manusia, telah tiba bulan yang agung lagi mulia. Bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah telah menjadikan puasanya wajib dan shalat malamnya sebagai amal sunnah. Barangsiapa melakukan satu ibadah sunnah pada bulan ini, maka pahalanya seperti menunaikan satu kewajiban di bulan lainnya. Dan barangsiapa menunaikan satu ibadah wajib pada bulan ini, maka pahalanya seperti menunaikan tujuh puluh kewajiban di bulan lainnya.” (HR Ibnu Khuzaimah).
Sebab itu, kita patut bersyukur bisa memperoleh nikmat agung ini. Dengan mensyukurinya, insya Allah kita akan diberi tambahan nikmat dengan dipertemukan kembali pada Ramadhan berikutnya. Allah swt berfirman,
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim [14]: 7)
3. Maksimalkan 10 Hari Terakhir
10 hari terakhir adalah fase puncak bulan suci Ramadhan, sebab pada momen inilah malam Lailatul Qadar diprediksi kehadirannya, malam yang sangat dinantikan semua umat Muslim, demikian juga yang dilakukan oleh Rasulullah. Oleh sebab itu, pada momen ini kita didorong untuk memperbanyak amal ibadah. Dalam hadits riwayat Sayyidah ‘Aisyah disebutkan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهً ﷺ يَجْتَهِدُ فِيْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ
Artinya, “Pada malam sepuluh terakhir, Rasulullah saw (lebih) bersungguh-sungguh (untuk beribadah), melebihi kesungguhan pada malam yang lain.” (HR Muslim)
Barangkali jika hari-hari Ramadhan yang telah kita lewati belum digunakan untuk beribadah dengan maksimal, maka masih ada sepuluh hari terakhir yang merupakan momen pamungkas bulan suci ini. Kita bisa lebih bersungguh-sungguh beribadah, terutama menghidupkan malam-malam dengan amalan sunnah agar bisa meraih Lailatul Qadar.
Kita pun tidak tahu apakah ini Ramadhan terakhir bagi kita atau bukan. Barangkali bukan kepergian Ramadhan yang kita khawatirkan, tapi ketika Ramadhan tahun depan kembali datang namun kita sudah tiada.
Ustadz Muhamad Abror, penulis buku ‘Ramadhan Terakhir’, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma’had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/ramadhan/kultum-ramadhan-3-renungan-di-penghujung-bulan-YItPA