Setelah shalat Idul Fitri, tampak kaum muslimin dengan mengenakan baju baru berkunjung ke rumah tetangga, sanak famili, dan teman sejawat untuk saling meminta maaf yang terkadang sebelumnya (kalau di kota-kota) terlebih dahulu berkumpul dengan warga satu RW di jalan yang bertenda untuk berhalal bihalal bersama.
Baju baru dan saling memaafkan adalah satu peristiwa yang sengat kental untuk dimaknai. Saya pernah mendengar kata mutiara “idul firi bukan sekadar memakai baju baru, tapi idul fitri adalah bagi orang-orang yang takwanya meningkat”.
Mari kita maknai, betapa orang-orang yang berbaju baru ketika tiba-tiba bajunya terkena semburat kotoran lalu cepat-cepat membersihkannya, begitu juga orang-orang yang bertakwa ketika dirinya terciprat dosa lalu membersihkannya dengan cara memohon ampun kalau dosanya itu bertalian dengan Allah SWT, dan dia cepat minta maaf kepada sesama manakala kesalahan itu pertalian dengan manusia.
Begitulah baju baru yang menggambarkan fitrahnya diri manusia setelah berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan yang tidak ingin fitrahnya terkotori lalu bersalam-salaman saling memaafkan.
Sebuah ungkapan menarik dari Abu Yazid untuk bahan mawas diri kita:
لَيْسَ اْلعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ اْلجَدِيْدَ, وَلاَ لِمَنْ اَكَلَ اْلقَدِيْدَ, وَلَكِنَّ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ, وَخَافَ اْلوَعِيْدَ
Artinya:
Hari raya itu bukanlah orang berbaju baru dan bukan orang yang makan dendeng yang enak, tetapi orang yang beridul fitri adalah bagi barangsiapa saja bertambah ketaatannya dan bertambah rasa takutnya.
Penulis: H Ahmad Niam Syukri Masruri
https://jateng.nu.or.id/taushiyah/makna-baju-baru-di-hari-raya-idul-fitri-uE31G