Pekalongan, NU Online Jateng
Syawalan merupakan tradisi turun temurun warga masyarakat Kota Pekalongan khususnya masyarakat daerah Krapyak di bagian utara Kota Pekalongan yang dilaksanakan pada setiap hari kedelapan di Hari Raya Idul Fitri.
Bahkan Syawalan yang jatuh pada 8 Syawal merupakan hari yang sangat istimewa dan selalu ditunggu-tunggu oleh warga. Hari itu merupakan hari berkumpulnya ribuan warga untuk bisa silaturahim dan saling berkunjung untuk menikmati segala hidangan yang disediakan secara gratis.
Hal paling menarik dalam pelaksanaan tradisi syawalan adalah dibuatnya lopis raksasa yang ukurannya mencapai tinggi 2 meter dengan diameter 1,5 meter dan berat mencapai 225 Kg. Setelah acara doa bersama, lopis raksasa kemudian dipotong oleh pejabat Kota Pekalongan dan dibagi-bagikan kepada para pengunjung.
Masyarakat Krapyak juga biasanya menyediakan makanan ringan dan minuman secara gratis kepada para pengunjung. Jumlah pengunjung pada tradisi ini mencapai ribuan orang yang berasal dari seluruh Kota Pekalongan dan sekitarnya.
Dari mana tradisi ini berasal? Menurut sejarah, sebagaimana dikisahkan sesepuh Krapyak, orang yang pertama kali memelopori syawalan adalah KH Abdullah Sirodj, ulama Krapyak yang masih keturunan Tumenggung Bahurekso (Senopati Mataram).
Awalnya KH Abdullah Sirodj rutin melaksanakan puasa Syawal, puasa ini kemudian diikuti masyarakat sekitar Krapyak dan Pekalongan pada umumnya sehingga meski hari raya, mereka tidak bersilaturahim demi menghormati yang masih melanjutkan ibadah puasa Syawal.
“Dulu, sehabis Shalat Ied suasananya masih seperti Ramadhan. Baru pada hari ke-8 Syawal, suasana lebaran benar-benar terasa,” ujar Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan H Muhtarom kepada NU Online Jateng, Rabu (26/4/2023).
Yang menjadi khas dalam tradisi syawalan di Krapyak Pekalongan adalah disajikannya makanan berupa lopis. KH Abdullah Sirodj memilih lopis sebagai simbol syawalan di Pekalongan karena terbuat dari beras ketan yang memiliki daya rekat yang kuat, yang menyimbolkan persatuan.
Disampaikan, Presiden Soekarno datang dalam rapat akbar di lapangan Kebon Rodjo Pekalongan (sekarang Monumen) tahun 1950. Presiden berpesan agar rakyat Pekalongan bersatu seperti lopis sehingga warga Krapyak setiap Syawalan selalu memotong lopis.
“Hal itu sebagai rasa syukur kepada Allah, dan melaksanakan sunah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Adapun rasa syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk jajanan berbentuk lopis. Karena filosofi lopis sendiri sangat religius baik dari segi pemakaian bahan maupun dalam proses pembuatannya,” ujarnya.
Dikatakan, ketan sebagai bahan dasar lopis memiliki makna persatuan (kraket=erat), karena ketan yang sudah direbus memiliki daya rekat yang kuat dibanding nasi. Sebagai sesama muslim harus memiliki rasa saling peduli dan saling mengingatkan satu sama lain. Beras ketan yang putih, bersih memiliki makna kesucian (kembali fitri) dalam nuansa lebaran.
Nurul (45) warga Krapyak mengatakan, tidak hanya lopis raksasa yang khas di syawalan, hal unik lainnya adalah warga Krapyak yang mayoritas warga NU memberikan makanan ataupun minuman secara gratis bagi siapa saja )yang bertamu ke rumah pada hari kedelapan Syawal.
“Selain lopis raksasa, warga Pekalongan di beberapa kawasan lain juga merayakan syawalan dengan menerbangkan balon udara. Tradisi balon udara ini konon merupakan tradisi orang keturunan Indo Eropa zaman dulu yang bermukim di Pekalongan. Namun sekarang dilarang pemerintah karena dapat mengganggu penerbangan,” pungkasnya.
Penulis: M Ngisom Al-Barony
https://jateng.nu.or.id/regional/syawalan-dan-lopis-di-kota-pekalongan-s3YkH