Cerpen Annisa Ratna Pratiwi
“Teh, nanti siang tidur ya, istirahat dulu. Sore gantian shift ke RS.”
Gadis sulung itu meringis di hadapan ibunya, “Enggak Teh Rahmi saja, Bu yang jaga?”
Rahmi adiknya, tetapi Nara membiasakan dengan tambahan sebutan Teh, mencontohkan panggilan untuk adik-adik lainnya tetapi keterusan hingga dewasa.
“Mana berani? Yang ada nanti bingung kalau ada apa-apa di sana,” serempet Arba, adik Rahmi.
Beberapa jajanan ringan dan sebuah mi instan kemasan cup Nara bawa untuk bekal, “Ibu, Nara mau piknik, nanti di vila mau buka lapak, ya Bu.” Ia juga mengemas beberapa barang yang diperlukan.
“Jangan bawa yang itu, tinggal dua biji, Teteh.” Rahmi menukar mi cup goreng Nara dengan varian rasa Bakso Bleduk, “Ini masih banyak, yang ini aja ya Teh.”
Pasrah, ia menghela napas. Aroma rawit yang tajam masuk menyeruak hidung dan tembus ke isi kepalanya—padahal segel masih terbalut rapi, sesuai dengan tulisan di bungkusnya: ‘Rawit Bingit’.
Tengah malam Nara terjaga. Di sepertiga malam terakhir ia terbangun lagi. Ada suara rintihan, tak tahu dari balik tirai yang mana. Suhu ruangan semakin dingin pula. Sunyi senyap, bunyi itu jadi terdengar semakin nyaring, selebihnya hanya sekelebat dengungan nyamuk saja yang lewat.
Masih ada sedikit waktu untuk menunaikan 2-4 rakaat salat malam, pikirnya. Rintihan itu akhirnya berhenti. Benar-benar sunyi.
Keluar dari kamar mandi gigi-giginya beradu suara. Badannya bergetar menggigil, bibirnya memucat. Saking dinginnya ia mengenakan jaket dan kaos kaki di balik mukenanya.
Selepas subuh, keluarga pasien di balik tirai pojok ruangan dekat jendela menerima telepon, ternyata suara semalam berasal dari sana. Nara agak sangsi, tangisan perempuan dan percakapan pada panggilan telepon dengan speakerphone on itu membuatnya menduga-duga.
Matahari merangkak naik, cahayanya masuk memenuhi sudut-sudut ruangan. Suhu pun semakin hangat. Suster memanggil keluarga dari pasien tadi untuk menyiapkan kartu keluarga dan beberapa berkas lainnya. Lagi-lagi percakapan itu membuat Nara bertanya-tanya, tapi ia urungkan karena sedang menikmati kelezatan sarapan paginya, nasi uduk yang dibeli dari ibu-ibu ramah di depan parkiran. Harganya cukup terjangkau, tujuh ribu rupiah sudah pakai suwiran telur. Sebetulnya ia membandingkan dengan pengalaman sebelumnya yang membeli nasi kuning seharga dua belas ribu, sedangkan nasi uduk ibunya lima belas ribu rupiah.
Dari semalam, Nara sudah membayangkan makan nasi uduk atau nasi kuning untuk sarapan.
Ketika duduk di samping bedside cabinet (lemari pasien) sambil mengunyah makanannya, kepala Nara bergoyang-goyang, kedua kakinya berayun-ayun dengan sendirinya dan matanya berbinar. Ya Allah, alhamdulillah, enak sekali nasi uduknya. Apakah ini merupakan sebuah keberkahan dari penjual yang memasaknya dengan tulus? Batin Nara komat-kamit seraya merapalkan doa semoga dagangan penjual tadi laris dan berkah.
Seseorang yang terlelap bakda subuh dengan balutan pakaian shalat itu terbangun, “Sini Teh Dira, Teteh lipetin mukenanya.” Ia mengerjapkan matanya dan duduk di atas kasur.
“Teh, mau minum teh.” Nara terdiam sejenak, matanya melirik ke air mineral botol dan segelas teh panas yang ia beli tadi.
Dira sedari kemarin merapatkan bibirnya, kini mulutnya mulai melengkung membentuk senyuman.
“Mau teh manisnya, Teh.” Dira menahan tawa.
“Oh.” Sang kakak menuangkan sebagian ke termos kecil. “Ini,” ia memberikan setengah segelas minuman dari tanaman Camellia sinensis itu, “Sudah enggak terlalu panas, Teh.”
“Makasih Teh, tehnya.” Nara bercerita bahwa semalam ia menyeduh mi instan cup, tetapi air di dalam termos kecil sudah tidak panas lagi. Untung masih hangat, jadi bisa matang meskipun memerlukan waktu lebih lama. Ia yang tak kuat makan pedas meracik tanpa menambahkan minyak minya.
Karena ada jadwal kursus TOEFL secara daring nanti malam, Nara menyempatkan untuk mempelajari beberapa materi penjelasan terlebih dahulu dari platform video online yang disediakan oleh lembaga tersebut. Nara hanya menyumpal earphone ke sebelah telinganya saja. Sekilas terdengar perbincangan suster dengan keluarga pasien yang berada di seberang ranjang Dira perihal kosongnya ketersediaan stok darah A+ di PMI.
Materi yang Nara tonton sudah selesai, tanpa sadar ia malah menyimak—meskipun tidak terlalu fokus—pembicaraan itu.
“Pantesan, tiap trisemester kedua kehamilannya,” Nara mengernyit, menautkan kedua alisnya, kenapa, miskram? “Sudah dua kali, tapi dokternya enggak ada yang bilang apa-apa.”
Dira masih terlelap di atas ranjang, sementara Nara mencuri dengar kisah ibu muda itu. Gelisah, rasa takut terlukis jelas di wajahnya, tetapi suami di sampingnya terus menguatkan dan meyakinkannya. Mereka baru menikah setengah tahun lalu.
Dua pria berseragam masuk ke ruangan sambil membawa tandu. “Ambulans sudah siap, Pak.” Ucap salah satu dari mereka kepada seorang bapak di ujung ruangan dekat jendela, “Maaf, mau dimandikan di mana ini, Pak?”
“Di rumah saja,” nada bicaranya tenang, pasti tersimpan ketegaran dan kelapangan yang begitu mendalam di sana, “Berkas-berkasnya sudah selesai saya urus barusan, Pak.”
Nara terperanjat, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Suaranya lirih. “Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullahaladzim.” Ia mengelus-elus dadanya sembari melirik adiknya yang masih terlelap. Dua petugas menandu kakek tua yang tubuhnya terbalut kain seprai berwarna hijau muda itu ke luar ruangan.
Takdir manusia siapa yang tahu. Nara tiba-tiba teringat perkataan almarhum Abah Hasyim di pengajiannya semasa Nara mondok tiga belas tahun silam.
Masa depan itu ada dua, yang dekat dan yang jauh. Kalau sudah dipertemukan dengan masa depan yang dekat yakni kematian, mana mungkin bertemu dengan masa depan yang jauh yaitu pernikahan. Kematian adalah hal yang pasti, oleh karena itu ia menjadi masa depan yang dekat, sedangkan pernikahan adalah pasal sebaliknya.
Nara juga teringat, Abah Hasyim mengatakan, “Minimal ingatlah mati sebanyak sepuluh kali dalam sehari. Mengenai terjadinya kematian ini, setidaknya ada dua hikmah yang bisa dipetik, yaitu apa saja boleh dilakukan oleh manusia, tetapi harus ingat segalanya mesti memiliki akhir—dengan kematian. Selain itu, ihwal yang perlu dicermati, yakni semua hal akan ditinggalkan—setelah kematian—kecuali iman dan amal shaleh.”
“Masa depan itu layaknya ladang, harus dimanfaatkan sebagai sarana bercocok tanam, demi mendapatkan hasil yang baik untuk dijadikan bekal dalam menghadapi kepastian di suatu hari nanti,” bisik Nara mengulang kembali perkataan Abah Hasyim.
Annisa Ratna Pratiwi menyukai cerita pendek sejak remaja. Penulis tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.