Pemberian santunan yatim di muka umum lazim dilakukan di Indonesia. Pada bulan tertentu, masyarakat Indonesia menyebut Bulan Muharram sebagai bulan yatim, dana santunan untuk yatim bahkan digalang oleh kepanitiaan khusus.
Dana hasil penggalangan itu kemudian dikumpulkan. Dana santunan yatim dari penggalangan tersebut ini lalu diserahkan kepada sejumlah yatim dan dhuafa yang telah ditentukan. Penyerahan dana hasil penggalangan itu dikemas dengan rangkaian seremonial tertentu yang biasanya berisi sambutan, ceramah, penyerahan santunan, dan doa.
Di era media sosial kali ini, pemberian santunan yatim mendapat beragam tanggapan dari netizen. Pemberian santunan oleh sebagian netizen dianggap sebagai perhatian dan kepedulian sosial terhadap kaum dhuafa. Sedangkan, pemberian santunan secara terbuka dalam sebuah acara oleh sebagian netizen dianggap bermasalah secara psikis karena dinilai “merendahkan” penerima santunan.
Masalah ini sebenarnya menarik untuk dicermati. Kita harus mengakui perubahan norma sosial yang terjadi di masyarakat. Kalau dulu masyarakat hampir tidak mempermasalahkan pemberian santunan yatim di muka umum, hari ini nilai sosial itu bergeser. Masyarakat–meski tidak semua–mempersoalkan pemberian santunan yatim dan dhuafa di muka umum.
Dalam Islam, masalah ini juga pernah didiskusikan oleh ulama. Masalah ini diangkat dalam kaitannya dengan keutamaan amal ibadah atau amal saleh yang dilakukan secara terbuka atau dilakukan secara tersembunyi.
Imam Al-Ghazali menjadikan tindakan yang menyakitkan atau mengganggu sebagai tolok ukur atas kebolehan amal saleh dan amal ibadah yang dilakukan secara tersembunyi atau dilakukan secara terang-terangan. Sejauh tidak menyakiti penerima santunan, pemberian santunan dapat dilakukan secara terbuka atau terang-terangan.
وأما ما يمكن إسراره كالصدقة والصلاة فإن كان إظهار الصدقة يؤذي المتصدق عليه ويرغب الناس في الصدقة فالسر أفضل لأن الإيذاء حرام
Artinya, “Adapun amal ibadah yang dapat dilakukan secara sembunyi seperti sedekah dan shalat, jika sedekah terang-terangan (di muka umum) menyakiti orang yang menerima sedekah dan itu dapat memotivasi orang lain untuk sedekah, maka amal secara sembunyi lebih utama karena tindakan menyakitkan (meski dengan niat baik) diharamkan,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz III, halaman 325).
Imam Al-Ghazali sangat memperhatikan sejauh mana dampak mafsadat suatu perbuatan. Sedekah atau amal saleh lainnya–meski dilakukan dengan niat baik–dapat diharamkan jika berdampak pada kezaliman atau berdampak pada adanya orang yang tersakiti atau terganggu.
Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits riwayat berikut ini sebagai keutamaan amal ibadah yang dilakukan secara tersembunyi.
وقد روي في الحديث إِنَّ عَمَلَ السِّرِّ يُضَاعَفُ عَلَى عَمَل ِالعَلَانِيَةِ سَبْعِيْنَ ضِعْفًا وَيُضَاعَفُ عَمَلُ العَلَانِيَةِ إِذَا اسْتُنَّ بِعَامِلِهِ عَلَى عَمَلِ السِّرِّ سَبْعِيْنَ ضِعْفًا
Artinya, “Dalam hadits diriwayatkan, Rasulullah saw bersabda, ‘Amal ibadah secara sembunyi dilipatgandakan 70 kali lipat dibanding amal ibadah terang-terangan. Sedangkan amal ibadah secara terang-terangan yang dijadikan teladan dilipatgandakan 70 kali lipat dibanding amal ibadah secara sembunyi,’” (HR Al-Baihaqi).
Demikian keterangan ulama perihal keharaman menyakiti penerima santunan atau membuat penerima santunan risih atau terganggu ketika harus maju ke depan atau naik ke panggung untuk menerima santunan tersebut. Wallahu a’lam.
Ustadz Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-memberi-santunan-yatim-di-muka-umum-QzWzR