Jakarta, NU Online
Hadziq Mubarok menjatuhkan pilihannya pada Sudan sebagai kelanjutan destinasi pendidikannya. Sebelumnya, pria 25 tahun asal Jakarta ini menempuh studi di Pondok Pesantren Al-Ittihad dan Pondok Pesantren Al-Kautsar yang keduanya berlokasi di Cianjur, Jawa Barat.
Bukan tanpa pertimbangan, Hadziq memilih Sudan karena negara yang berada di Benua Afrika itu masih menjaga kelestarian bahasa Arabnya.
“Sudan masyhur dengan negara yang masih menjaga keorisinilan bahasa Arab, sehingga membuat saya menentukan pilihan Sudan sebagai tempat untuk menentukan studi,” katanya kepada NU Online, Kamis (4/5/2023).
Terlebih, Sudan memberikan kesan yang baik bagi dirinya. Ia menyebut bahwa negara berjuluk Negeri Dua Nil itu hangat, baik dalam sosial, budaya, dan agamanya.
“Sudan adalah gambaran rujukan Islam di Afrika. Banyak terdapat nilai yang indah di dalam Negeri Sudan, seperti tawasuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal yang melekat pada ulama dan masyarakatnya,” kata mahasiswa Ilmu Hadits Universitas Internasional Afrika, Khartoum, Sudan itu.
Budaya yang sangat jauh berbeda dan kondisi alam yang juga sama sekali tak sama dengan tanah air membuat Hadziq membutuhkan adaptasi dengan baik di negara tersebut. Namun, dalam bersosialisasi, ia tak membutuhkan waktu lama karena masyarakat Sudan sangat menghormati warga negara lainnya, apalagi sesama Muslim.
“Masyarakat Sudan adalah masyarakat yang sangat menghormati apalagi dalam ruang lingkup persaudaraan Islam. Kami sangat dihormati,” katanya.
Di sana, ia pun mengikuti kegiatan tarekat sebagai langkah beradaptasi dengan masyarakat. Sebab, tarekat dan tradisi sufi menjadi pintu masuk baginya mengingat ada sejumlah kesamaan hal tersebut dengan tradisi sufistik di Indonesia. Bahkan, ulama sufi Sudan dan Indonesia juga menjalin komunikasi yang baik.
“Salah satu jalan adaptasi yang banyak kami rasakan manfaatnya melalui para sufi atau kelompok tarekat yang tersebar banyak di Sudan. Tak sedikit ulama Sudan dan ulama Indonesia, khususnya NU memiliki hubungan khusus,” ujarnya.
Namun kini, pendidikannya yang sudah di ujung masa studi harus tergantung akibat konflik antara Tentara Sudan dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang bertempur. Baku tembak terjadi menjelang pekan terakhir Ramadhan 1444 H, tepatnya pada Sabtu (15/4/2023).
Hadziq mulanya mengira tembakan yang terdengar hanyalah peringatan untuk membubarkan aksi demonstrasi yang kerap terjadi pascakudeta pada 2018. Namun, ia salah mengira dan membuatnya kini pulang kembali ke tanah air tanpa surat tanda tamat dari studinya.
Pikirannya pun melayang memikirkan nasib studinya yang terkatung-katung. Ia berharap agar ada bantuan atau uluran dari lembaga terkait untuk menyelamatkan pendidikannya dan juga ratusan rekan-rekannya yang lain.
“Saya mewakili WNI dan khususnya warga atau kader NU berharap adanya respons yang serius pula terkait masalah pendidikan ini. Karena ada sekitar 613 anak Indonesia yang kehilangan pendidikannya, juga ada pekerja migran yang sampai kehilangan pekerjaanya,” ujar Sekretaris PCINU Sudan 2020-2021 itu.
Tidak berhenti sampai situ, ia bersama teman-teman korban evakuasi konflik Sudan akan terus bergotong royong dalam menyikapi masalah ini. “Khususnya dari PCINU Sudan akan terus mengawal terkait masa depan pendidikan kadernya yang saat ini masih putus atau kehilangan pendidikan,” pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.