Jakarta, NU Online
Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Fathu Yasik menyebut bahwa moderasi beragama di Indonesia masih rendah atau mengalami persoalan, terutama pada aspek toleransi.
Hal itu diungkapkan Yasik saat hadir sebagai narasumber dalam Diskusi Publik Pendidikan Moderasi Beragama bagi Tenaga Pendidik, Mahasiswa, dan Serikat Pekerja di Unusia, Jumat (19/5/2023).
Toleransi merupakan salah satu dari empat indikator moderasi beragama. Tiga indeks lainnya adalah komitmen kebangsaan, anti-kekerasaan, dan penerimaan terhadap budaya lokal.
Yasik menjelaskan, toleransi dapat diukur dari adanya sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan. Menurut dia, toleransi masih jadi persoalan bangsa Indonesia.
Ia lalu mengutip hasil riset yang dikeluarkan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa ada dua hal yang membuat rendah toleransi.
Pertama, karena rendahnya empati eksternal umat Islam sebagai kelompok mayoritas di negeri ini. Empati umat Islam kepada umat agama lain itu rendah. Kita tidak pandai membayangkan menjadi kelompok minoritas.
“Kita kalau melihat berita minoritas ingin mendirikan rumah ibadah, kita kurang empati. Merasa harus lengkap IMB-nya. Ini yang membuat nilai toleransi kita rendah,” ucap Yasik.
Kedua, toleransi menjadi rendah karena empati internal umat Islam juga rendah. Yasik mencontohkan, orang NU dalam beberapa kasus kurang berempati dengan warga Muhammadiyah.
“Kita juga kurang empati dengan Ahmadiyah. Kita nggak terbangun empatinya. Jadi, kita tidak mampu menempatkan diri atau mengandaikan diri kita sebagai kaum minoritas. Itu yang membuat kita agak intoleran,” jelasnya.
“Jadi, moderasi beragama masih ada problem dan pekerjaan rumah, terutama pada aspek toleransi. Kita masih sulit toleran,” tambah Yasik.
Dampak Intoleran
Yasik kemudian menjelaskan beberapa dampak yang ditimbulkan apabila toleransi rendah atau meningkatnya sikap intoleran, sehingga pemahaman dan wawasan moderasi beragama sangat penting untuk diarusutamakan.
Sebab, jika toleransi sebagai salah satu indeks dari moderasi beragama itu tidak terjaga maka akan berdampak pada merosotnya kewibawaan negara. Hal ini terkait juga dengan salah satu indeks moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan.
“Kemudian melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Moderasi berdampak pada sektor ekonomi, ini akan terganggu. Lalu merebaknya intoleransi dan merosotnya kepribadian bangsa,” jelas Yasik.
Kemudian ia mengutip survei Litbang Kompas yang menyebut bahwa 19,2 persen pelaku radikalisme dipicu oleh faktor ekonomi atau tidak punya akses untuk meningkatkan perekonomian keluarga.
“Kelompok separatis di Papua itu karena akses ekonomi jadi pemicu, bukan agama. Radikalisme itu lahir tidak perlu didasari oleh paham agama. Rendahnya tingkat pendidikan juga jadi pemicu lahirnya sikap radikalisme atau kurang dialog,” tuturnya.
Tafsir sosial
Senada, Kepala Badan (Kaban) Litbang Diklat Kementerian Agama RI Prof Amien Suyitno mengatakan bahwa potensi intoleransi tak hanya muncul dari persoalan tafsir agama. Tetapi, juga bisa lahir dari tafsir sosial kehidupan masyarakat.
“Orang sulit menjadi toleran kalau perutnya lapar, ketika menjadi pengangguran, dan ketika tidak punya sumber pendapatan. Sangat mungkin tafsir-tafsir sosial itu (memunculkan intoleransi),” kata Prof Suyitno.
Berdasarkan penelitian Alvara Institute, diketahui bahwa indeks moderasi beragama secara nasional mencapai 74,9 pada skala 0-100. Komitmen kebangsaan memiliki nilai tertinggi yaitu 84,5, lalu penerimaan terhadap tradisi lokal (79,2), dimensi anti kekerasan (74,6), dan toleransi (60,6).
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/nasional/moderasi-beragama-di-indonesia-masih-rendah-pada-aspek-toleransi-NRliV