Kepemimpinan perempuan masih terus diperdebatkan oleh masyarakat sampai hari ini. Banyak orang yang tidak sepakat dengan kemunculan perempuan sebagai pemimpin di tengah masyarakat secara publik, terlebih di ranah politik kenegaraan. Banyak hal yang melatari pandangan itu, mulai dari sisi agama, ideologi, hingga budaya patriarkhi yang menguasai mayoritas negeri.
Dari sisi agama, doktrin laki-laki yang seharusnya menjadi pemimpin mengakar kuat. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits pun menjadi landasan pandangan ini. Pun dari sisi budaya, komunitas masyarakat masih memegang patriarkhisme yang memosisikan laki-laki sebagai pemimpin, orang kelas pertama, sedang perempuan sebagai orang kelas kedua dan tidak berhak untuk memimpin.
KH Abdurrahman Wahid dalam Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (2007) menegaskan bahwa di antara hak asasi perempuan dalam Islam adalah hak akan keselamatan profesi atau pekerjaannya. Hak ini terdapat dalam Islam juga Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Gus Dur, perempuan memiliki derajat dan status yang sama dengan laki-laki, baik dalam sisi hak, kewajiban, dan kesamaan kedudukan.
Karenanya, Indonesia memiliki sejarah kepemimpinan perempuan. Setidaknya, Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh empat perempuan selama hampir 60 tahun, mulai 1641 M hingga 1699 M atau bertepatan dengan 1050 H sampai 1109 H.
Adalah Sri Ratu Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, perempuan pertama yang menjadi pemimpin negeri Aceh. Sosoknya dipilih untuk menggantikan mendiang suaminya, Sultan Iskandar Kedua. Sultanah ini juga merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang tak lain merupakan raja yang digantikan oleh suaminya itu. Saat itu, Sultanah Safiatuddin baru berusia 29 tahun, sebagaimana dijelaskan Daud, M.R., dikutip Khairul Nizam bin Zainal Badri dalam Jurnal Peurawi: Media Kajian komunikasi Islam (Vol 4 Nomor 1 Tahun 2021).
Tgk H Ainal Mardiah Aly mencatat dalam Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau Sampai Kini, dalam Bunga Rampai tentang Aceh (1980), bahwa Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah memerintah pada tahun 1050-1086 H bertepatan dengan 1641-1675 M. Sultanah pertama itu membentuk barisan perempuan pengawal istana. Mereka merupakan bekas barisan sukarela tatkala pasukan Aceh menyerang Malaka tahun 1639. Merekalah yang pasukan cadangan yang menjaga pantai dari serangan Portugis. Sultanah memiliki hubungan yang baik dengan asing, selain Portugis.
Tongkat estafet kepemimpinan Aceh dilanjutkan oleh Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah selama sekitar dua tahun, yakni dari tahun 1086 H sampai 1088 H atau bertepatan dengan tahun 1675 sampai tahun 1677 M. Di tahun-tahun ini, tidak banyak catatan yang mengungkap mengingat waktunya yang sempit.
Berikutnya, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah memimpin Aceh pada tahun 1088-1098 H bertepatan dengan tahun 1677-1688 M. Mardiah Aly mencatat bahwa Sultanah Zakiatuddin merupakan seorang negarawan yang bijaksana dan menguasai bahasa Arab, Persia, urdu, Spanyol, dan Belanda. Pengetahuannya ini diperoleh dari seorang perempuan Belanda yang bekerja di Keraton Darud Dunia sebagai Sekretaris Sultanah. Ia didukung Syekh Abdur Rauf Singkel. Bahkan Syarif Makkah, yakni Syarif Husain dan Syarif Ibrahim bertandang ke Istana Aceh. Sultanah menerima dua tamu agung itu dari balik kain sutera kuning berumbai-umbai. Percakapan pun dilakukan dengan bahasa Arab yang lancar. Ia berpulang pada 8 Zulkaidah 1098 H atau bertepatan dengan 3 Oktober 1688 M.
Sri Ratu Kamalatuddin Syah (1098-1109 H / 1688-1699 M). Ratu Kamalatuddin Syah dimakzulkan dari tampuk kepemimpinannya. Hal ini menyusul surat Mufti Makkah tentang ketidaksetujuannya perempuan menjadi pemimpin negara. Surat tersebut dirundingkan dan keputusan pun diambil bahwa perempuan tidak boleh menjadi raja. Tepat pada Rabu 20 Rabiul Akhir 1109 H atau 1 Oktober 1699 M, Ratu Kemalat Syah dimakzulkan dan diganti oleh suaminya Syarif Hasyim. Bersamaan itu, Syekh Abdul Rauf juga wafat dalam usia 100 tahun.
Pro dan kontra kepemimpinan perempuan di Kerajaan Aceh
Pengangkatan para sultanah sebagai pemimpin negara bukannya tanpa penolakan. Kehadiran perempuan sebagai pemimpin itu menuai polemik di tengah masyarakat. Banyak pertentangan karena dalih agama, khususnya dari kelompok yang memegang paham Wujudiyah.
Syekh Abdur Rauf al-Sinkili yang baru kembali ke Aceh dari tanah Arab setelah lebih jauh memperdalam pengetahuan keagamaannya diselidiki oleh Sultanah melalui sekretaris pribadinya. Setelah pengetahuan keagamaannya dirasa dapat merebut hatinya, ia diangkat sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau mufti di masanya yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan, sebagaimana diuraikan Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (2018).
Azra (2018) juga mengemukakan bahwa al-Sinkili di sini berupaya untuk bertoleransi secara pribadi terhadap kepemimpinan perempuan dalam sebuah pemerintahan. Dalam karyanya Mirat al-Thullab, al-Sinkili tampak tidak memberikan terjemahan bahasa Melayu atas kata dzakar yang berarti laki-laki sebagai syarat untuk menjadi hakim atau penguasa secara lebih luas.
Namun, pada akhirnya, muncul jawaban dari Makkah atas polemik yang terus bergulir selama enam dekade. Surat tersebut menyatakan bahwa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang perempuan bertentangan dengan syariat. Karenanya, Sultanah Kamalatuddin pun diturunkan dari tahtanya sebagai pemimpin Kerajaan Aceh.
Syakir NF, alumnus Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/tokoh/sultanah-aceh-potret-perempuan-pemimpin-politik-abad-17-6WVBJ