Jakarta, NU Online
Penjualan buku offline di beberapa lokasi di Jakarta mengalami penurunan. Pasar buku Kenari dan sentra buku Kwitang, misalnya. Pedagang mengeluh penjualan buku tak sekencang masa-masa sebelum pandemi Covid-19.
Sejumlah upaya dilakukan penjual buku offline untuk bertahan, termasuk mengikuti perkembangan zaman dengan memasarkan dagangannya secara online. Meskipun beralih ke penjualan online tidak sesuai harapan karena hanya beberapa gelintir pembeli.
Penjual buku di Pasar Kenari, Anisa (42) mengaku mau tak mau harus mengubah strategi penjualan. Dirinya kini tak bisa lagi hanya mengandalkan kunjungan pembeli ke lapaknya di bilangan Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat itu. Ia mulai memasarkan buku-buku secara online.
“Ada hikmahnya pandemi. Jadi mulai beralih ke online untuk nyambung hidup,” kata Anisa ditemui NU Online, Selasa (30/5/2023).
Meski begitu, penjualan tak semulus yang diharapkan. Ia mengaku dagangannya mentok di 2 hingga 3 buku terjual per hari. “Hari-hari biasa begini paling nyangkut 2-3 buku. Itu juga saya ngiklan, lho,” ucapnya.
Hal ini bukan hanya terjadi padanya. Anisa mengatakan, rekan sesama penjual buku di kawasan lain pun tengah bergelut dengan nasib yang sama. “Bukan saya doang, di Kwitang juga sama,” tuturnya.
Ditemui di lapaknya, Zulham (47), seorang penjual buku di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat mengaku kelimpungan dengan merosotnya penjualan. Belum lagi ia harus memikirkan beban operasional seperti sewa gedung yang rutin dibayarkan.
Zulham juga mencari peruntungan di ranah digital. Ia mulai memasarkan buku-bukunya di banyak platfrom. Hal ini ia lakukan pertama kali pada tahun 2017. Waktu itu, kata Zulham, omzet harian yang ia dapatkan tergolong lumayan, dari 100 ribu hingga sejuta perhari.
“Sebelum pandemi, saya online buka di Bukalapak, lumayan omsetnya,” tuturnya.
Namun, segalanya berubah setelah pandemi Covid-19 melanda Indonesia tahun 2020. Banyak penjual buku offline bermigrasi ke online. Harga yang dipasarkan bersaing ketat. Belum lagi pesanan buku online yang tak melulu masuk setiap harinya. Zulham makin kepusingan.
“Tahun 2021 baru saya main di Tokopedia. Itu juga kadang omsetnya ya begitu, masuk 1-2 buku,” tuturnya.
Tak banyak zulham berharap selain dagangannya laris. Pasalnya, ia masih harus menghidupi seorang istri dan menyekolahkan 3 orang anaknya yang tinggal di Tambun, Bekasi.
Berbeda dengan kisah Anisa dan Zulham yang mulai berjualan secara online, Ulfah (24) pedagang buku di Kwitang memilih untuk tidak sama sekali memasarkan bukunya di platform digital. Ia menilai, harga jual buku online merusak harga pasaran.
“Saya nggak main di online. Kalau di online mainnya kuat-kuatan harga, di online harganya murah banget. Kalau di sini nggak bisa, belum nutup. Modalnya nggak nyukup,” ucapnya.
Bertahan menjual buku
Saat ditanya mengapa tetap memilih berjualan buku, Anisa dan Zulham memiliki alasan tersendiri. Anisa mengatakan, kendati bisnisnya morat-marit, ia memilih tetap berjualan buku. “Buku ini enak, buku makin lama makin antik dan mahal. Disamping itu, sering ada kejutannya, pas orang mau ngisi perpustakaan, musibah kebakaran, nah itu mereka butuh buku bacaan,” jelas dia.
Sementara itu, Zulham mengaku berniat untuk beralih profesi sejak usaha bukunya kian macet. Namun, hingga kini ia memendam niat itu lantaran terkendala masalah modal.
“Sebenarnya ada rencana ganti usaha. Cuma ya, tergantung modal. Sebenarnya saya udah ingin ini ganti usaha, tapi gimana ya, modalnya masih terserap di buku,” ucap Zulham.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/nasional/keluh-kesah-penjual-buku-beralih-ke-online-masih-aja-tetap-sepi-khLHF