Ulama tauhid atau ulama teologi Islam merumuskan independensi atau kemandirian tuhan melalui sifat qiyamuhu bi nafsihi. Ulama tauhid menyebut adanya sifat kaya, cukup, dan kemandirian dari segala ketergantungan pada pihak lain melalui sifat qiyamuhu bi nafsihi.
Ulama tauhid dalam sejumlah karya mendefinisikan sifat qiyamuhu bi nafsihi sebagai penegasian atau penolakan terhadap kefakiran atau kebutuhan Allah pada tempat melekat dan kebutuhan Allah pada pencipta. Salah satunya Syekh Muhammad Al-Hud-Hudi yang menyebut definisi sifat wajib qiyamuhu bi nafsihi bagi Allah swt.
قيامه تعالى بنفسه عبارة عن نفي افتقاره إلى المحل والمخصص
Artinya, “Qiyamuhu ta’ala bi nafsih merupakan ungkapan penegasian hajat Allah pada zat (tempat sifat melekat) dan pencipta yang menentukan,” (Syekh Muhammad bin Manshur Al-Hud-hudi, Syarah Al-Hud-hudi, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 54-55).
Syekh Nawawi Banten lebih lanjut menjelaskan sifat wajib qiyamuhu bi nafsihi bagi Allah swt sebagai kemandirian atau kecukupan Allah swt dari segala sesuatu selain-Nya. Sifat wajib qiyamuhu bi nafsihi, kata Syekh Nawawi Banten, sekaligus mengandung kebutuhan segala sesuatu selain Allah swt kepada-Nya.
أن معنى قيام الله تعالى بنفسه استغناءه عن كل ما سواه وافتقار ما سواه إليه ولذلك يعبر عن القيام بالنفس بالاستغناء المطلق قال الله تعالى وَعَنَتِ الْوُجُوهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّومِ أي خضعت
Artinya, “Makna qiyamullah ta’ala bi nafsihi adalah independensi/mandiri/kaya dari segala sesuatu selain Allah dan berhajat selain-Nya kepada Allah. Oleh karena itu, istilah al-qiyamu bin nafsi diungkapkan dengan istilah lain, yaitu al-istighna’ul muthlaq atau kemandirian absolut. Allah berfirman, ‘Tunduklah semua muka kepada Zat yang maha hidup dan maha mengurus (makhluk-Nya),’ maksud tunduk ialah berendah diri. (Surat Thaha ayat 111),’” (Syekh Nawawi Banten, Syarah Nuruz Zhalam, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 8).
Sifat wajib qiyamuhu bi nafsihi bagi Allah swt didasarkan pada dalil naqli dan dalil ‘aqli. Syekh Muhammad bin Yusuf As-Sanusi menyebut dalil naqli sifat wajib qiyamuhu bi nafsihi bagi Allah swt dalam karyanya berikut ini yang bersumber dari Al-Quran.
فإذا القيام بالنفس هو عبارة عن الغنى المطلق وذلك لا يمكن أن يكون إلا لمولانا جل وعز قال جل من قائل يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ وقال تعالى اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ فأثبت تعالى بقوله اللَّهُ الصَّمَدُ افتقار كل ما سواه إليه جل وعز إذ الصمد هو الذي يصمد إليه في الحوائج أي يقصد فيها ومنه تسئل ولا شك أن كل ما سواه تعالى صامد له أى مفتقر إليه ابتداء ودواما
Artinya, “Dengan demikian, al-qiyamu bin nafsi merupakan ungkapan dari independensi/kemandirian/kekayaan absolut. Itu tidak mungkin terjadi kecuali pada Allah jalla wa azza. Allah berfirman, ‘Wahai manusia, kalian berhajat kepada Allah. Sedangkan Allah maha kaya lagi maha terpuji.’ Allah berfirman, ‘Allah tempat bergantung, tidak melahirkan, tidak dilahirkan, dan tidak satupun yang menyamai-Nya.’ Dengan ‘Allahus shamad,’ Allah mengafirmasi keperluan segala sesuatu selain-Nya kepada-Nya karena Allah sebagai zat tempat bergantung menjadi tujuan bagi sebagai hajat. Hanya kepada-Nya hajat itu dimohonkan. Tidak ragu lagi bahwa segala sesuatu selain Allah swt bergantung, yaitu berhajat kepada-Nya baik sejak awal maupun untuk keberlanjutan,” (Syekh Muhammad bin Yusuf As-Sanusi, Syarah Ummul Barahin, [Semarang, Maktabah Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 87).
Argumentasi logis atau dalil ‘aqli ulama perihal sifat wajib qiyamuhu bi nafsihi dibangun atas dasar hukum dasar benda. Menurut ulama, Allah bukan sifat yang memerlukan zat tempat-Nya melekat sebagaimana warna, bentuk, dan sifat lainnya melekat pada zat atau benda. Sedangkan hukum dasar benda menyatakan bahwa sifat tidak akan melekat pada sifat. Jadi, Allah swt bukan tuhan yang dibayangkan oleh sebagian kepercayaan atau agama tertentu dapat menitis ke zat lain atau bersemayam di gunung, laut, batu, manusia misalnya. Semuanya itu mustahil bagi Allah swt.
والدليل على أنه تعالى قائم بنفسه أن تقول لو كان تعالى محتاجا إلى محلّ أى ذات يقوم بها كما افتقر البياض للذات التى يقوم بها لكان صفة كما أن البياض الذي افتقر إلى الذات صفة، والله تعالى لا يصح أن يكون صفة لأنه تعالى متصف بالصفات والصفة لا تتصف بالصفات فليس الله صفة
Artinya, “Argumentasi bahwa Allah berdiri pada zat-Nya dapat kamu asumsikan, jika Allah berhajat kepada tempat, maksudnya zat tempat-Nya berdiri sebagaimana warna putih melekat pada zat yang ditempati, niscaya Allah adalah sifat sebagaimana warna putih yang membutuhkan zat tempat melekatnya berstatus sifat. Allah tidak boleh dikatakan sebagai sifat karena Allah sendiri zat yang memiliki sifat. Sedangkan diktum benda mengatakan, sifat tidak melekat pada sifat. Jadi, tetaplah konklusi bahwa Allah swt bukan sifat,” (Syekh Ahmad An-Nahrawi, Ad-Durrul Farid pada hamisy Fathul Majid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 15).
Allah swt sama sekali tidak memerlukan zat tempat melekat karena Allah swt bukan sifat. Allah swt berdiri pada zat-Nya sendiri. Allah sama sekali mandiri, tidak memerlukan apapun sama sekali. Allah swt juga tidak memerlukan pencipta karena dia sendiri adalah pencipta.
Sedangkan kemandirian makhluk bersifat terbatas dalam arti bisa saja sebagian orang memiliki kecukupan harta, tetapi saat yang bersamaan memerlukan tenaga atau jasa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya bahkan memerlukan pencipta untuk memenuhi keberadaan dirinya.
فثبت أنه تعالى هو الغني غنى المطلق أي غنى عن كل شيء وأما غنى الخلق فهو غنى مقيد أي عن شيء دون شيء
Artinya, “Sebuah konklusi menyebutkan bahwa Allah swt maha kaya dengan independensi/kemandirian/kekayaan absolut, yaitu tidak memerlukan apapun. Sedangkan kemandirian/kekayaan makhluk bersifat terbatas, artinya boleh jadi tidak memerlukan sesuatu tetapi berhajat pada sesuatu yang lain,” (Syekh Muhammad Fudhali, Kifayatul Awam, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladuh], halaman 39).
Lalu bagaimana dengan sifat Allah swt yang berdiri pada zat-Nya? Syekh Al-Baijuri mengingatkan kita dalam memahami hubungan sifat dan zat Allah. Ia menjelaskan bahwa sifat Allah swt sebagaimana zat-Nya tidak membutuhkan pencipta. Sifat Allah swt berdiri pada zat-Nya, tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa sifat Allah berhajat pada zat-Nya karena itu dapat melahirkan wasangka bahwa sifat Allah swt tidak independen, mandiri, atau kaya secara mutlak.
تنبيه علم من ذلك أنه مستغن عن المحل والمخصِّص معًا وأما صفاته فهي مستغنية عن المخصِّص وقائمة بذاته تعالى ولا يعبر فيها بالافتقار إلى الذات لما فيه من الإيهام
Artinya, “Peringatan, telah maklum dari sini bahwa Allah tidak berhajat pada tempat (zat) dan pencipta sekaligus. Sedangkan sifat-sifat-Nya tidak berhajat pada pencipta, tetapi berdiri pada zat-Nya. Hanya saja kita tidak dapat berkata bahwa sifat-Nya berhajat pada zat karena dapat melahirkan waham,” (Syekh Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 35).
Penyebutan sifat Allah yang berhajat pada zat-Nya merupakan suatu kekurangan yang mustahil bagi Allah swt. Kita tidak boleh menggunakan diksi “berhajat” selain keliru tetapi juga bentuk su’ul adab kepada Allah swt. Tetapi kita dapat mengatakan, sifat Allah swt berdiri atau melekat pada zat-Nya. Wallahu a‘lam.
Allah swt juga tidak memerlukan apapun. Allah swt maha kaya dari segalanya. Allah tidak membutuhkan pencipta. Allah juga tidak akan menitis ke benda lain (makhluk-Nya) karena Allah swt bukan sifat sebagaimana penjelasan ulama pada sifat wajib qiyamuhu ta’ala bi nafsihi. Wallahu a‘lam.
Ustadz Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU
Sumber : NU Online