Calon Pejabat dan Busi Mati

Panggung politik praktis sekarang ini sedang diramaikan migrasi anggota koalisi dan bubarnya koalisi menghadapi pilpres 2024. Trigernya, posisi cawapres. Pertimbangannya pragmatis – politis. Bagi sebagian orang, hal-hal seperti itu dianggap kejadian luar biasa, problematik dan destruktif. Tapi, sebagian lainnya menganggap wajar wajar saja dalam panggung politik, sebagai dinamika yang sedang berproses. Dalam dunia politik praktis, tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan. Sedangkan kepentingan sifatnya bisa subyektif-transaksional, bisa juga strategis-rasional.

Busi Mati

Beberapa tahun yang lalu, saya didatangi seorang teman yang berprofesi sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) level nasional. Dia marah dan menumpahkan segala kekesalannya, kekecewaannya, dan dendamnya kepada partai politik yang menyatakan siap menjadikan dirinya sebagai calon wakil bupati, dalam kontestasi pilbup. Dalam perjalanannya ada dinamika politik di luar ekspektasinya. Secara sepihak dia dipentalkan dari posisi calon wakil bupati dan diganti dengan kandidat lain. Padahal dia sudah membayar mahar politik dan sudah teken kontrak politik.

Sebagai seorang aktivis LSM dia merasa dirugikan dan dipermalukan. Lebih-lebih dia sudah mendeklir pencalonannya di lembaganya sekaligus meminta support finansial dan spiritual. Dia merasa harga dirinya hilang di lembaga yang dipimpinnya. Dengan santai, saya katakan kepadanya tidak usah marah dan dendam ketika terjun ke panggung dunia politik praktis. Perlu diketahui bahwa panggung politik itu panggung depan dan ada panggung belakang.

Lalu, saya bercerita tentang busi sepeda motor yang dibuang, karena dianggap mati.
Ada seseorang yang membeli sepeda motor baru. Dia pikir, dengan sepeda motor baru tidak akan kesulitan menghidupkan mesin motornya. Pasti tokcer. Sehingga dia bisa berangkat kerja tanpa dihadapkan kemungkinan mesin motornya ngambek. Suatu saat, ketika dia akan berangkat kerja, mendadak sepeda motornya trobel. Ternyata businya mati, padahal dia harus berangkat pagi, sementara belum ada toko sparepart motor yang buka. Di saat itu, dia teringat merasa pernah punya busi yang dibuang di gudang rumahnya. Lalu dia cari dan ketemu.

Busi yang tampak kotor itu lalu dibersihkan dan digosok gosok pemantiknya, lalu dipasang dan dicobanya. Alhamdulillah, motor hidup dan busi yang semula dibuang dipasang lagi di motor yang baru. “Kemungkinan kamu memiliki cerita seperti busi tersebut, nasibmu seperti busi,” kata saya. Beberapa pekan kemudian, dia datang lagi menemuiku. Saat itu dia tidak marah dan dendam lagi, tapi riang gembira. Dia katakan, akhirnya dia diajukan lagi sebagai calon wakil bupati oleh parpol yang dulu sanggup mengusungnya. Dia dipasangkan dengan mantan wakil bupati, yang juga sebagai pemuka agama. “Benar, kata sampeyan,” ungkapnya bangga.

Saya katakan, maaf tidak disiki kersane sing maha kuasa, berdasarkan kalkulasi politik dan feeling politik, kemungkinan sampeyan tidak terpilih menjadi pasangan yang memenangkan kontestasi pilbup. Sampeyan tidak perlu membayangkan yang aneh aneh. Sampeyan berhasil menjadi calon sudah merupakan kemenangan dan keberhasilan. Sepertinya parpol yang mengusung sampeyan juga punya kalkulasi akan kalah. Ternyata teman  tadi “sarujuk” dengan ungkapan saya. “Dengan posisi resmi sebagai calon wakil bupati, nama baik saya sudah pulih, bahkan menjadi lebih baik karena berhasil menjadi calon, walau akhirnya kalah. Target saya, sebagai calon sudah tercapai,” ucapnya serius.

Bukan Vote Getter  

Apa yang dialami teman saya tadi, jamak terjadi di panggung politik praktis, baik jabatan legislatif maupun eksekutif. Seorang politisi atau seorang aktivis bisa saja maju sebagai calon eksekutif maupun legislatif tanpa beban moral, politik, dan finansial yang memadai. Modal utamanya percaya diri sebagai calon/kandidat, karena yang menjadi tujuan primernya adalah aktualisasi diri dan atau sisi lain dari kontestasinya. Bentuknya bisa apresiasi finansial, jabatan, relasi/akses dan rating/popularitas. Dan yang hampir pasti, mereka juga melakukan penggalangan dana, mencari sponsorship dan konsesi-konsesi lainnya.

Bahkan, ada yang lebih ekstrim lagi, kalah menang yang penting untung. Terkait dengan banyaknya figur yang berebut bursa calon wakil presiden, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, saya menduga tidak semua yang berambisi menjadi calon wakil presiden memiliki keyakinan penuh bakal tampil sebagai Winner. Bagi politisi struktural partai, tampil sebagai calon adalah prioritas utama. Dibuatnya dalil-dalil naratif-heroik, seperti demi menjaga marwah partai, melawan oligarki, agen perubahan sampai pada perhitungan pengaruh ekor jas (Coat tail effect) nyaris tanpa mempertimbangkan hasil survei tentang elektabilitas.

Cara pandang dan tindakan politik seperti itu jelas kurang mendidik dan kontra produktif. Nyaris tidak ada manfaat yang diperoleh konstituen, kecuali hanya pepesan kosong. Karena itu akan lebih baik jika panggung politik praktis tidak dijejali dengan konten agama, dihiasi dengan pernik-pernik religi dan dibingkai dengan background ormas keagamaan dan simbol-simbol agama. Karena, bagi yang belum memahami panggung politik depan dan belakang bisa terkecoh dan menjadi korban. Wallahu a’lam bis shawab

H Mufid Rahmat, aktivis NU tinggal di Boyolali


https://jateng.nu.or.id/opini/calon-pejabat-dan-busi-mati-Zo6Fi

Author: Zant