Nahdlatul Ulama For All (Jangan Ada yang GR)

Nahdlatul ulama ( NU) selalu menjadi lakon setiap kontestasi pemilihan presiden ( pilpres). Juga seperti dilanda badai besar yang seolah-olah akan menggerus ukhuwah nahdliyyah yang semula solid. Seolah-olah pula berhadap-hadapan antarsesama tokoh, antara struktural dan kultural, bahkan ada yang menghakimi PBNU melalui pengadilan jalanan yang destruktif. Trigernya bermacam macam, seiring dinamika yang berkembang. Tapi, ironisnya triger munculnya badai justru berkisar pada tokoh NU atau kader NU yang terlibat dalam kontestasi pilpres, seperti menjadi bakal calon wakil presiden Indonesia.

Banyak studi yang menyebutkan bahwa tampilnya NU sebagai lakon dalam kontestasi pilpres, sekaligus terjadinya badai yang menggoyangnya, karena dia merupakan entitas ormas Islam terbesar. Juga adanya patron klin, yang memungkinkan terjadinya mobilisasi suara dengan biaya murah (low cost). Tetapi menurut saya, selain dua hal tersebut, ada hal lain, yaitu demokratisasi internal NU yang berkualitas yang memberikan ruang kepada semuanya untuk riang gembira dalam menentukan aspirasi politiknya, meski harus berhadapan bahkan bertabrakan dengan PBNU. Meski demikian, NU tetap selamat dari badai, pasca-pilpres NU tetap utuh, tidak ada NU tandingan dan tidak ada gelombang mufaraqah.

Suara Mayoritas

Populasi warga NU merupakan terbesar dari entitas ormas keagamaan lainnya. Karena itu suara NU adalah suara mayoritas muslim Indonesia. Besarnya populasi warga NU atau yang merasa dekat dengan NU, setidaknya didasarkan pada dua lembaga survei nasional, yaitu Alvara Researct dan Denny JA. Menurut Alvara Research, mereka yang mengaku dekat dengan NU sebesar 59,2 persen dan yang mengaku warga NU sebanyak 39,6 persen. Sedangkan menurut Denny JA yang mengaku dekat dengan NU sebesar 56,9 persen (2023).

Jumlah itu tentunya jauh lebih besar dibandingkan dengan populasi partai politik, di mana rating tertingginya di bawah 23 persen. Apalagi jika dibandingkan dengan parpol berbasis/berlabel Islam, yang semuanya di bawah 8 persen. Suara nahdliyyah atau simpatisan NU terdistribusikan ke semua parpol, nyaris melampaui batas teologis dan primordial. Karena di parpol yang sekuler, bahkan yang bukan bernafas Islam, suara NU sampai juga di sana. NU ibarat lumbung suara dan pemiliknya orang yang baik dan dermawan. Tidak perlu mencuri, menipu, apalagi merampoknya, Insyaallah semuanya akan dapat, lebih-lebih jika menggunakan cara-cara yang terhormat.

Sikap netralitas NU dimaksudkan agar NU ada di mana mana dengan cara menyerahkan urusan afiliasi politik kepada warganya secara individu. Ditegaskan, NU bukan milik parpol tertentu, tetapi untuk semuanya (for all) demi maslahah ammah. Soal aspek kesejarahan NU dalam politik, tentunya juga dengan partai politik itu merupakan bagian masa lalu yang dijadikan sejarah sekaligus pengalaman. NU terlibat politik praktis tidak hanya baru baru ini saja, tetapi jauh sebelum Indonesia merdeka. Peranannya di bidang politik telah dicatat dengan tinta emas sejarah kebangsaan Indonesia, ditandai dengan banyaknya para tokohnya yang menjadi pahlawan nasional dan sebagainya.

Begitu pula manuvernya pada awal kemerdekaan Indonesia, NU tampil perkasa dengan menggunakan politik kooperatif – nonkooperatif. Pada tahun 1926-1942 melalui sejumlah tokohnya bersama tokoh Muhammadiyah mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia. Tahun 1942 – 1945 membentuk Hizbullah. Tahun 2945 -1952 mengeluarkan fatwa jihad yang dikenal dengan revolusi jihad Nahdlatul ulama. Tahun 2952-1973 NU menjadi partai politik dan tahun 1984-1998 kembali ke khittah, lalu tahun 1998 memfasilitasi lahirnya PKB.

Jangan ada yang ‘GR’

Tidak bisa dipungkiri, bahwa NU secara konstitusional pernah memiliki sejarah khusus dengan PPP. Pada masa itu PPP merupakan parpol yang mengelaborasi kebijakan NU sekaligus yang mengamankan tradisi tradisi NU, seperti pembacaan rotibul Hadad, istighotsah, mujahadah, dan amaliah Amaliah lainnya. Bisa juga dikatakan NU adalah PPP dan PPP adalah NU. NU juga secara konstitusional memiliki sejarah khusus dengan PKB. Pada waktu itu bisa dikatakan NU adalah PKB dan PKB adalah NU. Bahkan relasi NU dengan PPP didistorsi dengan narasi absurd, yaitu ibarat ayam, PPP adalah ‘telek’ (kotoran) sedangkan PKB adalah telor.

Seiring dengan dinamika yang terjadi, terutama PBNU pada masa kepemimpinan KH Miftahul Akhyar – KH Yahya Cholil Staquf ada keinginan kuat untuk mengamalkan netralitas secara murni dan konsekuen. NU mengambil sikap jarak yang sama ( equa distance) dengan semua parpol. Sikap yang diambil oleh Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf terasa sangat realistis. Dalam kurun waktu yang relatif panjang, parpol yang memiliki aspek kesejarahan dengan NU yang lahirnya diprakarsai sekaligus dihendors oleh NU ternyata tumbuh kerdil. Padahal, NU selain memberi keleluasaan dan kebebasan juga memberikan dukungan riil. Dan nyatanya, pertumbuhan parpol masih seperti itu. Artinya, mayoritas warga NU kurang respek terhadap partai yang beririsan dengan NU.

Dengan sikap politik yang seperti itu, di era ini tidak perlu ada parpol yang merasa ‘gede rumongso’ (GR),  bahwa parpolnya yang merasa paling berhak memiliki NU. Hanya parpolnya yang paling dekat dengan NU, karenanya merasa berhak mengklaim sebagai partainya NU sekaligus berhak membawa atribut NU.

Tidak dipungkiri bahwa sampai saat ini ada sebagian kader dan tokoh NU yang merasa PKB bagian integral dari NU, tapi perasaan seperti itu perlu dipendam dalam dalam. NU secara tegas telah mentasbihkan dirinya sebagai jamiyah yang tidak terkait dengan politik praktis. Sesuai dengan kapasitasnya sebagai entitas ormas keagamaan terbesar, dia menempatkan dirinya sebagai milik bersama dan berkontribusi terhadap Indonesia dan peradaban dunia. Bisa jadi, PKB bukan merupakan parpol terakhir yang dihendors NU, tetapi bisa jadi relasi antara PKB dan NU bisa berakhir. Kemungkinan ini setidaknya bila di dasarkan pada pengalaman berakhirnya NU terhadap PPP.

Rasanya sekarang ini sudah kurang relevan lagi mempersoalkan relasi NU dengan parpol, terutama dengan PKB, apalagi memperolok PBNU. Sebab dilihat dari sudut mana saja, mayoritas nahdliyah tidak berafiliasi dengan parpol yang mengklaim sebagai parpolnya NU. Bahkan hasil survei Kompas terkini menyebutkan, PKB merupakan parpol ketiga yang dipilih nahdliyyah. Posisi pertama parpol pilihan Nahdliyyin adalah PDIP, kedua Gerindra, dan ketiga PKB, ( Kompas.com, 06/09/2023).

Mufid Rahmat, aktivis NU, mantan Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah tinggal di Boyolali


https://jateng.nu.or.id/opini/nahdlatul-ulama-for-all-jangan-ada-yang-gr-XZOei

Author: Zant