Urgensi Belajar Agama pada Ahlinya

“Jangan kau tangisi bila agama dipegang oleh ahlinya. Tangisilah jika agama dipegang oleh bukan ahlinya” (Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, muqaddimah qanun asasi)

Kalimat tersebut menunjukkan betapa pentingnya mempelajari agama dari ahlinya atau ulamanya. Karena itu orang yang tidak ahli dalam agama tidak dibenarkan mengajarkan agama. Orang yang belum ahli dalam agama diwajibkan belajar dulu tentang agama dari ahlinya. 

Hal tersebut tidak jauh beda dengan calon dokter harus belajar terlebih dahulu kepada dokter. Mahasiswa calon insinyur belajar kepada insinyur. Mahasiswa teknik belajar ilmu teknik belajar kepada dosen ahli ilmu teknik. Kalau sudah menjadi ahlinya maka baru berkewajiban mengajarkan ilmu yang telah dikuasainya.

“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat” bukan berarti seorang yang hanya tahu satu ayat kemudian diperbolehkan mengajarkan ayat tersebut kepada lainnya. Kata ayat bisa merujuk pada satu ayat di dalam kitab suci. Bisa juga ayat tersebut berarti tanda kekuasaan Allah SWT. Karena itu seorang yang menyampaikan ayat hendaknya memahami dulu kandungan makna ayat tersebut, serta memahami maksud dan tujuannya, serta bagaimana hubungan ayat yang satu dengan ayat lainnya. Bahkan juga bagaimana situsnya ketika Nabi Muhammad Saw menerima ayat tersebut, atau terkait juga dengan hadits atau catatan kumpulan sunnah-sunnah Nabi Saw. Tentang hal ini hanya diketahui oleh ahlinya. 

Satu ayat di dalam kitab suci atau biasa disebut dengan nash atau dalil naqli, dengan ayat yang berarti tanda kekuasaan Allah SWT yang terdapat di dalam alam jagat raya ini yang ditangkap panca indera dan dipikirkan dalam akal atau biasa disebut dalil aqli, adalah sesuatu yang berbeda, meskipun dari sumber yang sama, yakni dari Allah SWT. 

Karena itu sahnya iman seseorang ditentukan pada pemahaman akal terhadap kedua dalil tersebut. Dari sinilah muncul perdebatan antara kaum Qadariyah dan Muktazilah dengan kaum Jabariyah. Bagi kaum Muktazilah, seorang yang berakal akan mampu mengenali dzat Allah SWT meskipun yang bersangkutan belum mengetahui dalil naqli. Sementara itu kaum Jabariyah berpandangan sebaliknya, seseorang tidak akan mampu mengenal dzat Allah SWT sebelum yang bersangkutan mengetahui dalil naqli. Kemudian menurut golongan ahlussunah wal jamaah berpandangan, dalil naqli harus didahulukan daripada dalil aqli. Penggunaan dalil naqli dan dalil aqli haruslah seimbang. 

Nabi Ibrahim as kekasih Allah (khalilullah) pada awalnya melihat matahari dianggap sebagai Tuhan. Namun ketika sore hari melihat matahari tenggelam, kemudian ia meyakini bahwa matahari bukan Tuhan. Pada malam hari, ia melihat rembulan yang dianggapnya Tuhan, setelah bulan itu tidak kelihatan maka ia meyakini bahwa bulan juga bukan Tuhan. Nabi Ibrahim as mengetahui dzat Allah SWT berdasarkan wahyu yang diterimanya dari Allah SWT. Namun ia meneruskannya dengan penalaran dengan akal yang sehat, sehingga ia menghancurkan berhala-berhala kecil di sekitar Ka’bah dan mengalungkan alat penghancur berhala kecil pada leher berhala besar. Dari sinilah muncul dialog antara Nabi Ibrahim dengan para pembesar penyembah berhala. 

Untuk itu perlu kesadaran bersama bahwa menyampaikan agama harus menggunakan dalil naqli dan sekaligus dalil aqli. Dan hal ini hanya bisa dikuasai oleh orang yang memang sejak awal belajar dengan sungguh-sungguh terhadap ajaran agamanya. Pada awal turunnya, agama merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat. Dan pada akhirnya nanti agama juga akan menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakatnya, karena banyaknya orang yang meninggalkan ajaran agamanya.

Karena itu agama dan masyarakat tidak boleh dipisahkan. Masyarakat hendaknya membiasakan diri dengan mempelajari agama kepada ahlinya. Insyaallah hanya para ahli agama yang suka rela yang mampu terus menerus mempererat hubungan agama dan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab

Mohamad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah 


https://jateng.nu.or.id/opini/urgensi-belajar-agama-pada-ahlinya-xTCdB

Author: Zant