Tiba-tiba insting yang menjadi kebiasaan menulis entah benar atau salah ingin menyoroti makna kemandirian yang menjadi slogan Nahdlatul Ulama. Meski hal ini tidak salah, karena bagi penulis kebenaran itu nisbi (relatif) tinggal dari perspektif mana orang akan menilai. Atau bahkan obyektivitas penilaian itu yang menjadi standarnya untuk menilai itulah jawabannya.
Dalam rapat di kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng muncul ke permukaan pertanyaan tentang jarangnya bahkan terlihat tidak pernah mengadakan halaqah atau seminar yang dibiayai oleh Pemprov atau kerja sama saling menguntungkan kepada pihak lain (baik institusi pemerintah atau pihak swasta lain). Dari rapat itu menjadikan penulis terdorang menggoreskan pena untuk menuangkan gagasan, setelah ada peserta rapat yang ‘ngudo roso’ tentang minimnya kegiatan kajian yang melibatkan sponsor pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Forum-forum seperti halaqah adalah forum yang sangat strategis, sehingga bisa menyelam sambil minum air, bahkan-ruang ruang itu bisa di jadikan konsolidasi keluar ataupun ke dalam dan perkumpulan ini dapat menjalankan semua program nya dengan baik, tanpa banyak mengeluarkan biaya bahkan dapat diambil keuntungan, seperti MUI, FKUB atau ormas lain.
PWNU Jateng itu sebuah organisasi besar dan organnya menyeluruh sampai ke tingkat ranting (desa) bahkan ada beberapa ranting yang memiliki organ anak ranting. NU ormas yang sangat strategis apabila solitlditas dijaga, bahkan dapat melebihi kekuatan negara, karena pemimpin tertinggi atau otoritas penggeraknya ulama/kiai.
Meneguhkan Kemandirian
Kemandirian berasal dari kata ‘Autonomy’ yaitu sebagai sesuatu yang mandiri, atau kesanggupan untuk berdiri sendiri dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah laku sebagai manusia dewasa dalam melaksanakan kewajibannya guna memenuhi kebutuhannya sendiri. NU yang berdiri sejak tahun 1926 yang telah berusia satu abad, bukan lagi organisasi yang masih membutuhkan asupan atau sandaran untuk berdiri tegak, maka sudah seharusnya kemandirian itu lebih ditekankan atau lebih diteguhkan kembali agar tidak lagi cengeng, tetapi lebih matang. Namun demikian kemandirian itu tidak lantas mengabaikan yang lain atau tidak membutuhkan sama sekali, tetapi ta’awun itu masih layak berlaku pada makhluk hidup di muka bumi ini yang layak tidak membutuhkan yang lain hanya kekuasaan Allah SWT. Sikap tidak membutuhkan pada yang lain atau bantuan pemerintah sebuah arogansi organisasi sehingga keangkuhan untuk tidak mau kerja sama itu bagian dari bughat.
Menjalin Kerja Sama
NU sebagai ormas keagamaan yang anggotanya sangat besar bahkan menurut survei yang ada melebihi separo dari penduduk Indonesia. Dengan berbagai lembaga atau divisi yang membidangi berbagai macam kebutuhan warganya tentunya sangatlah urgens apabila programnya dapat disinergikan dengan institusi negara sehingga dapat kerja sama (ta’awun) saling menguntungkan, sehingga kemandirian tidak diartikan antipati.
Lembaga yang ada pada NU itu ada karena kebutuhan untuk membantu dan mengkoordinir warga seperti Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) karena kebutuhan untuk menghimpun, mengadvokasi, dan menyuluh para petani warga NU sehingga fungsi advokasi yang berati dapat mensinergikan dengan Dinas Pertanian di semua tingkatan, di samping menginovasi para petani untuk dikenalkan dengan sains dan teknologi. Masih banyak Lembaga lainya yang diharapkan untuk dapat bekerja sama dengan instansi negara sesuai dengan kebutuhan yang ada, bukan melawan tapi mensinergikan dengan kepentingan negara.
Dalam hal ini sangat dibutuhkan kepiawaian petinggi NU pada masing-masing level atau tingkatan, untuk dapat berkomunikasi pada pemangku kebijakan, kepiawaian ini sangat di butuhkan bukan berarti NU berada di ketiaknya tetapi mengambil kebutuhan yang menjadi haknya warga negara, karena uang negara itu diambil dari kekayaan negara dan pajak dari rakyatnya, lalu akan dikembalikan lagi pada rakyatnya.
Penutup
Sikap antipati ini sebuah pilihan sikap mengkerdilkan diri sendiri, bisa jatuh pada sikap ta’sub yang tentunya menjadi intoleran karena fanatik dan merasa dirinya paling benar menganggap yang lainnya salah, sikap ini sangat madhmumah karena dampaknya akan menjadikan organisasi bukan saja oposisi, tetapi menjadi organisasi yang tidak lagi tawazun dan tasamuh, lebih cenderung terkesan sebagai organisasi yang radikal.
Terjalinnya kerja sama antar-semua pihak baik institusi pemerintah atau pun swasta lewat program yang disenergikan sangat membutuhkan komunikasi yang luwes dan kepiawaian tersendiri, sehingga dibutuhkan saling membutuhkan satu dengan yang lain, bukan saling merasa kuat dan benar yang menumbuhkan sifat egoisme yang kuat, maka kerja sama tidak akan terjalin dengan bagus. Sampai pada akhirnya biarkan bumi berputar atau matahari selalu bersinar toh akhirnya akan selesai juga tanpa harus menunggu atau berburu. Wallahu a’lam bis shawab.
KH Munif Abdul Muchit, Katib PWNU Jateng, alumi Lirboyo 92 dan PP Al-Itqon Semarang
https://jateng.nu.or.id/opini/makna-kemandirian-bukan-berarti-antipati-GCC8n