Di tengah hiruk pikuk para kontestan berupaya untuk dapat menang pada pentas kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 5 tahunan, bahkan tidak sedikit bersitegang antar-tim sukses untuk mensukseskan pasangan calon (paslon) baik calon legislatif (caleg) atau pasangan calon presiden (capres) calon wakil presiden (cawapres) dukungannya. Tahun politik ini memang sangat melelahkan bagi para tim sukses, tetapi sangat dimanjakan bagi para pemilik suara sekalipun satu suara. Tidak sedikit pula untuk meraup suara apa saja dilakukan bahkan larangan yang diputuskan dalam bahstul masail mengenai politik uang, masih dapat diakali dengan hujjah dan dalil yang berbeda juga.
Masih juga ada waktu bagi Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Jateng, sekalipun di masa perpanjangan periode kepengurusan PWNU Jateng yang tinggal 2 bulanan yakni Maret 2024, dengan penuh semangat dalam kesungguhan untuk menyempurnakan khidmah 2018-2023 memulai meletakkan start untuk dapat melaju dengan kencang mengejar ketertinggalan yaitu menginisiasi berdirinya klinik dan rumah sakit di semua cabang.
At-Thibu
Di kalangan pesantren, khususnya pesantren tradisional, nama al-Zarnuji tidak asing lagi di telinga para santri. Al-Zarnuji dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam. Kitabnya yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim merupakan kitab sangat populer yang wajib dipelajari di pesantren-pesantren. Bahkan para santri wajib mengkaji dan mempelajari kitab ini sebelum membaca kitab-kitab lainnya. Pada bab-bab awal Al-Zarnuji membagi ilmu menjadi dua : ilmu fiqih (syariat) dan ilmu thib (kedokteran). Ilmu fiqih untuk kebutuhan ruhaniah dalam semua bahasan yang diterangkan tentang ubudiyah antar sah dan batal, wajib dan haram dan seterusnya. Sedangkan diketahui ilmu thibu adalah berkutat tentang kesehatan jasmani, sesuai dengan maqashid syariah.
Betapa sangat pentingnya orang belajar ilmu kesehatan, sehingga al-Zarnuji menstandarkan sama pentingnya mempelajari ilmu fiqih, tetapi di kalangan santri terjadi dikotomi antara ilmu dunia dan ilmu akhirat ini karena distorsi budaya yang sangat lama oleh para kolonial, sehingga pesantren atau santri mengesampingkan akan pentingnya ilmu kesehatan.
Kapitalisasi Kedokteran
Ulama besar yang sampai kini terkenang mempunyai nama lengkap Abu Ali Al-Hussain Ibnu Abdullah Ibnu Sina. Lahir pada tahun 980 Masehi di Bukhara yang sekarang merupakan bagian dari Uzbekistan meninggal pada bulan Juni 1037 dan dimakamkan di Hamadan, sebelah tenggara Teheran adalah orang yang pertama kali mengenalkan ilmu kedokteran modern. Selang berjalannya waktu Ilmu pengetahuan yang dulu pelatak pondasinya para ulama sekarang mulai tergeser di kuasai oleh kaum kapitalisme, sehingga betapa mahalnya dan tidak dapat menjangkau untuk pembiayaan mempelajari Ilmu tersebut.
Penulis memandang orang NU warga Nahdliyin para santri terlalu disibukkan dengan politik kekuasaan yang menjanjikan akan terpenuhi segala fasilitas kemewahan sehingga lupa akan pentingnya ilmu pengetahuan atau kedokteran. Faktor yang terpenting adalah political will dari para pemegang kekuasaan untuk memfasilitasi dan memberi ruang terhadap generasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan utamanya ilmu kesehatan masyarakat atau ilmu kedokteran yang tidak hanya dimonopoli oleh anak orang yang berduit, karena faasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan adalah hajat hidup masyarakat.
Sebenarnya, di lingkungan pesantren telah berkembang pengobatan ala tibbun nabawi yang sekarang lebih dipopulerkan dengan Ruqyah Aswaja. Para kiai pengasuh pesantren sering dimintai air putih yang berisi doa-doa khusus oleh masyarakat yang meminta obat seperti sulit melahirkan, anak rewel, dan lain-lain. Dengan penuh keyakinan bahwa doa kiai yang diwujudkan dengan segelas air putih merupakan obat yang sangat mujarab yang bisa menyembuhkan sakit tanpa harus pergi ke dokter, rumah sakit, atau puskesmas. Bahkan Rumas Sakit Islam Nahdlatul Ulama (RSINU) Demak telah bekerja sama dengan Jamiyah Ruqyah Aswaja (JRA) untuk membuka praktik pengobatan di RSINU Demak. Ini membuktikan bahwa pengobatan ala nabi (tibbun nabawi) masih dibutuhkan dan terus eksis hingga sekarang ini di tengah berkembangnya ilmu kedokteran.
Penutup
Pesantren sebagai basis pendidikan keagamaan yang digawangi oleh para kiai tentunya sangat dapat mendorong dan menginisiasi berdirinya pendidikan kesehatan (kedokteran, keperawatan, dan kebidanan) pada pondok pesantren sebagai fungsi pendidikan pelayanan dakwah di tengah-tengah keterbatasan atas tersedianya tenaga medis (dokter).
Rumah Sakit (Al-Mustasfa) tempat untuk menyehatkan patut juga diinisiasi dan difasilitasi oleh pesantren. Sudah sangat tepat ketika LKNU Jateng mengakhiri masa khidmah periode 2018-2023 menggugah para pengasuh pesantren untuk membangkitkan ketertinggalan NU pada pelayanan kesehatan masyarakat di mulai start di pesantren, karena NU berdiri dan besar karena Pesantren. Bravo LKNU Jateng semoga husnul khatimah mengakhiri hidmahnya. Wallahu a’lam bis shawab
KH Munib Abd Muchith, Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, alumni Lirboyo Kediri dan Pesantren Al-Itqon Bugen, Kota Semarang
https://jateng.nu.or.id/opini/ketika-pesantren-jadi-inisiator-rumah-sakit-nu-M8mER