Kisah Kiai Wahab dan Kiai Bisri, Tetap Bersahabat Kendati Sering Berbeda Pendapat

Sepanjang perjalanan Nahdlatul Ulama, kita tahu persis bahwa dua tokoh pendiri NU yakni KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syansuri hampir tidak pernah sama pendapatnya. Bahkan bisa dikatakan hampir berlawanan.

 

Dalam dokumen hasil-hasil muktamar, banyak sekali putusan-putusan yang berbeda di antara keduanya. Misalnya, dalam persoalan bank ada halal, haram dan syubhat yang menjadi jalan tengah. Keharaman bank adalah bentuk kehati-hatian Kiai Bisri. Dan yang halal adalah kelenturan Kiai Wahab. Hal itu kerap terjadi berulangkali dalam berbagai muktamar NU. 

 

Contoh lain saat Bung Karno mengangkat banyak orang untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Perbedaan keduanya sangat tajam. Kiai Wahab memperbolehkan DPR-GR. Jika nanti dirasa tidak cocok, maka bisa keluar dan tidak ikut model sistem tersebut. Namun, bagi Kiai Bisri hal itu tetap tidak bisa karena haram hukumnya. 

 

Sehingga pada waktu itu Kiai Bisri tidak setuju dengan DPR-GR, sedangkan Kiai Wahab setuju. Kiai Wahab berujar ke Kiai Bisri “Saya kok kangen dengan kita saat masak-masak seperti dulu itu ya. Bagaimana kalau kita masak-masakan seperti dulu lagi? Nostalgia zaman itu” 

 

Kiai Bisri pun menyetujui acara masak-masak tersebut. Usai masak-masak, Kiai Bisri berkata: “Saya teringat zaman dulu itu, masakan sampean kok masih persis sama seperti dulu, tapi kalo soal DPR-GR saya tetap nggak bisa (tidak setuju)”. Itulah gambaran kekukuhan Kiai Bisri dalam memegang prinsip.

 

Cerita yang lebih menarik, saat Bahtsul Masail Kiai Wahab dan Kiai Bisri seringkali berbeda pendapat, bahkan itu hingga saling gedor-gedoran dampar. Anehnya, jika tiba waktu ishoma, kedua dua tokoh ini berebut timba sumur.

 

Drama perebutan timba tersebut dilandasi keinginan kuat dan semangat untuk memberikan air wudlu pada sahabatnya. Jika Kiai Bisri yang terlebih dahulu mendapatkan timba, maka Kiai Bisri membantu Kiai Wahab mengucurkan air untuk berwudlu, dan sebaliknya. Subhanallah, itu perilaku yang sangat luar biasa. Usai gebrak-gebrakan di forum bahtsul masa’il, namun di luar forum seperti tidak terjadi apa-apa. 

 

Jika dieksplor lebih dalam, kita bisa menneladani kedua tokoh ini dari berbagai hal. Mengenai ketawadlu‘an Kiai Bisri, saat pemilihan Rais ‘Aam, tidak ada rivalitas perebutan jabatan antara keduanya. Waktu itu, Kiai Wahab sudah udzur, hampir tidak bisa apa–apa. Maka kiai-kiai dalam muktamar kasihan dengan Kiai Wahab jika masih diberi tanggung jawab. 

 

Tapi, sebagian kiai tidak sepakat dan masih menginginkan Kiai Wahab menjadi Rais ‘Aam dengan alasan beliau masih hidup. Kiai-kiai yang merasa kasihan dengan Kiai Wahab yang sudah sepuh dan udzur, mencalonkan Kiai Bisri untuk menjadi Rais ‘Aam. 

 

Lantas Mbah Bisri meraih microphone dan menyatakan “Selama Kiai Wahab masih hidup, saya hanya siap untuk menjadi wakilnya”. Hal itu menunjukkan tiadanya rivalitas antara keduanya. Mereka saling bersahabat, mereka memiliki ikatan saudara ipar. Kiai Wahab sangat jelas cinta dan menghormati Kiai Bisri. Jika tidak, mana mungkin Kiai Wahab rela menyerahkan adiknya untuk menikah dengan Kiai Bisri. 

 

Keduanya saling mencintai dan saling menghormati. Hal ini yang sulit dipahami oleh orang-orang masa kini. Perjuangan beliau bukan diawali dari saat pendirian NU, melainkan jauh sebelum itu. 

 

Penulis: M. Rufait Balya Barlaman


https://jatim.nu.or.id/rehat/kisah-kiai-wahab-dan-kiai-bisri-tetap-bersahabat-kendati-sering-berbeda-pendapat-oA7Om

Author: Zant