Benarkah Diperbolehkah Makan Sahur sampai Azan Subuh Selesai?

Bulan Ramadhan memang selalu ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Selain penuh berkah, bulan itu juga penuh dengan ciri khas dan serba-serbi yang tidak bisa ditemui di lain waktu. Salah satunya adalah tradisi sahur, alias sarapan sebelum puasa. Masalahnya, benarkah diperbolehkan makan sahur sampai azan Subuh selesai?

Pertanyaan itu muncul setelah beredarnya sebuah postingan di medsos yang menyatakan bahwa diperbolehkan makan sahur ketika azan Subuh telah berkumadang hingga azan itu selesai.

Berikut ini jawaban atas pernyataan di atas.

Sahur sangat dianjurkan bagi orang yang hendak berpuasa meski bukan termasuk syarat dan kewajiban puasa,  sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

تَسَحَّرُوْا، فَإِنَّ فِي السّحُوْرِ بَرَكَةٌ

Artinya: “Sahurlah kamu sekalian, karena di dalamnya terdapat berkah.”(HR. Al-Bukhari)

Tentu saja, tidak nyaman rasanya jika di tengah-tengah sahur harus mendadak berhenti gara-gara azan subuh. Sebab, jika azan subuh sudah terdengar atau fajar telah terbit, maka semua kegiatan sahur harus dihentikan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah al-Baqarah ayat 187:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Artinya: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” [QS. Al-Baqarah: 187]

Oleh sebab itu, kita mengenal istilah imsak. Kata imsak sendiri bermakna “menahan”, oleh masyarakat kita, imsak digunakan sebagai pengumuman untuk segera menyelesaikan sahur, karena waktu subuh sudah dekat.

Tradisi imsak bukan tanpa dasar. Di masa Nabi pun sudah ada anjuran untuk menghentikan makan sahur dengan kadar membaca 50 ayat sebelum waktu subuh. Jika dikonversi dalam bentuk waktu, kurang lebihnya adalah sekitar 10 menit.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه: أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم وزيدَ بنَ ثابتٍ تَسَحَّرَا، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُوْرِهِمَا قَامَ نبيُّ الله إلى الصلاةِ، فَصَلَّى، فَقُلْنَا لِأَنَسٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلَاةِ؟ قال: كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً.

Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Saw dan Zaid bin Tsabit makan sahur bersama. Setelah keduanya selesai makan sahur, beliau lalu bangkit dan melaksanakan shalat. Kami bertanya kepada Anas, ‘Berapa rentang waktu antara selesainya makan sahur hingga keduanya melakukan shalat?’ Anas menjawab; ‘Kira-kira waktu seseorang membaca lima puluh ayat.’”(HR. Al-Bukhari)

Namun baru-baru ini, tidak sedikit postingan di media sosial menyebarkan pemahaman bahwa: bagi seseorang yang berpuasa, hukumnya masih diperbolehkan makan dan minum selama azan subuh masih berkumandang. Bukan hanya sekedar perspektif personal semata, munculnya pemahaman ini didasari sebuah hadits riwayat Abu Daud:

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ، وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ.

Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian mendengar panggilan, sementara wadah makanan masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan hajatnya (makan).” (HR. Abu Daud)

Benarkah pemahaman seperti ini sesuai dengan yang dikehendaki oleh hadits Nabi?

Tentu saja tidak. Alasannya, hadits yang diriwayat Abu Daud di atas, sebenarnya dimaksudkan pada azan yang dilantunkan oleh Bilal sebelum terbit fajar, bukan azan subuh sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan. Dengan kata lain, kita boleh menelan makanan yang terlanjur kita makan saat azan pertama, seperti yang dikutip dalam al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab (VI/312).

Sebagai informasi, di era Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat dua azan pada dini hari menjelang terbitnya matahari. Azan pertama dikumandangkan oleh Bilal, sebagai penanda bagi orang-orang untuk beristirahat setelah melakukan qiyamullail, dan membangunkan orang-orang yang masih terlelap. Disusul azan kedua, yakni azan subuh yang dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum. (Urf as-Syadzi Syarh Sunan Tirmidzi: I/396)

Kemudian, bukti bahwa hadits yang diriwayatkan Abu Daud sebenarnya dimaksudkan pada azan yang dilantunkan oleh Bilal sebelum terbit fajar, adalah hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُوْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أو يُنَادِيْ بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمُكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمُكُمْ.

Artinya: “Jangan sampai azan Bilal menghentikan sahur kalian. Karena ia azan di malam hari untuk mengistirahatkan orang-orang setelah qiyamullail, dan membangunkan orang yang tidur.” (HR. Al-Bukhari)

Hal ini juga diperjelas oleh riwayat:

أنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ، فّإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ.

Artinya: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di waktu malam, lalu Rasulullah bersabda: Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum azan. Karena dia tidak mengumandangkannya kecuali setelah fajar terbit.” (HR. Al-Bukhari)

Juga dipertegas oleh Dr. Wahbah az-Zuhailyyang menukil komentar Imam Ibnu Abdil Barr dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (II/566):

قال ابن عبد البر في قول النبي صلى الله عليه وسلم: (( إنَّ بلالًا يُؤَذِّنُ لَيْلًا، فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ )) دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ هُوَ الصَّبَاحُ، وَأَنَّ السَّحُوْرَ لَا يَكُوْن إِلَّا قَبْلَ الْفَجْرِ، بِالْإِجْمَاعِ.

Artinya: “Berkata Ibnu Abdil Barr tentang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Sesungguhnya Bilal azan pada malam hari,maka makan dan minumlah sampai azannya Ibnu Ummi Maktum.’: Ini adalah dalil bahwa makna kataal-khayth al-abyadh (benang putih) adalah pagi hari (fajar). Dan sahur hanya bisa dilakukan sebelum terbitnya fajar,menurut ijma’ (konsensus ulama).” 

Berangkat dari sini, maka bisa disimpulkan bahwa pemahaman yang mengatakan diperbolehkan makan sampai selesai azan subuh merupakan pemahaman yang salah dan tidak boleh diamalkan. Bahkan, apabila tetap menyelesaikan makan dan minum saat adzan subuh dikumandangkan, maka puasanya tidak sah dan wajib qadla’. (lihat: al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i (II/86). Wallahu A’lam Bisshawab

Irham Muktafi, mahasantri Ma’had Aly Faidhu Dzil Jalal Ngangkruk Grobogan.


https://jateng.nu.or.id/keislaman/benarkah-diperbolehkah-makan-sahur-sampai-azan-subuh-selesai-q0lGR

Author: Zant