Pekalongan, NU Online Jateng
Lopis raksasa seberat 2.352 kg tinggi 198 cm dan diameter 85 cm siap dipotong pada acara yang berlangsung di Krapyak, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan di momentum syawalan pada tanggal 8 syawal 1445 Hijriah atau Rabu (17/4/2024) besok pagi oleh wali kota.
Masyarakat Kota Pekalongan, khususnya di daerah Krapyak memiliki tradisi Syawalan yang unik, yaitu tradisi Lopisan atau Lopis Raksasa. Tradisi ini dihelat pada tanggal 8 Syawal, atau seminggu setelah jatuhnya Hari Raya Idul Fitri.
Tradisi Lopisan atau lopis raksasa adalah tradisi khas dari Kelurahan Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan pada setiap hari ke-8 di bulan Syawal. Pada hari istimewa ini, ribuan orang akan berkumpul untuk bisa silaturahmi dan saling berkunjung untuk menikmati segala hidangan yang disediakan warga Kota Pekalongan secara gratis.
Ciri khas pelaksanaan tradisi ini adalah kemunculan lopis raksasa yang sangat besar, maka proses memasak lopis raksasa ini biasanya membutuhkan waktu 4-5 hari dengan menggunakan dandang berukuran besar. Setelah matang, untuk memindahkannya juga tidak mudah karena harus memakai katrol.
Setelah acara doa bersama, Lopis Raksasa ini akan dipotong oleh Walikota Pekalongan dan dibagi-bagikan kepada warga. Masyarakat Krapyak juga biasanya turut menyediakan makanan ringan dan minuman secara gratis untuk para pengunjung yang berasal dari Kota Pekalongan dan sekitarnya.
Setelah pembagian lopis selesai, pengunjung biasanya akan menuju ke obyek wisata Pantai Slamaran Indah untuk berlibur bersama keluarga.
Sejarah Tradisi Lopis Raksasa di Kota Pekalongan
Menurut sejarah, sosok yang pertama kali memelopori tradisi Syawalan ini adalah seorang adalah ulama Krapyak yaitu KH Abdullah Sirodj yang masih keturunan Tumenggung Bahurekso (Senopati Mataram). Mulanya KH Abdullah Sirodj rutin melaksanakan puasa Syawal yang kemudian diikuti masyarakat sekitar Krapyak dan Pekalongan.
Sehingga meski masih dalam suasana hari raya, warga tidak bersilaturahmi demi menghormati yang masih melanjutkan ibadah puasa Syawal. Baru pada hari ke-8 Syawal, suasana Lebaran di wilayah ini mulai benar-benar terasa.
KH Abdullah Sirodj kemudian memilih suguhan lopis sebagai simbol Syawalan di Pekalongan karena panganan yang terbuat dari beras ketan yang memiliki daya rekat yang kuat, sehingga menyimbolkan persatuan. Meski konon tradisi ini sudah ada sejak tahun 1885, namun perayaannya mulai dilakukan secara besar-besaran pada tahun 1950 dengan memotong lopis berukuran besar oleh kepala daerah setempat.
Makna Tradisi Lopis Raksasa di Kota Pekalongan KH Tubagus Surur mengungkap bahwa makna tradisi ini memang berkaitan dengan filosofi dari lopis. Menurutnya, ketan yang menjadi bahan dasar lopis memiliki makna persatuan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan kraket berarti erat.
“Hal ini karena ketan yang sudah direbus memiliki daya rekat yang kuat dibanding nasi yang terbuat dari beras. Tak hanya itu, di dalamnya terkandung pesan yaitu sebagai sesama Muslim harus memiliki rasa saling peduli dan saling mengingatkan satu sama lain,” ucapnya.
Beras ketan yang putih bersih lanjutnya, juga memiliki makna kesucian atau kembali fitri yang terkait dengan suasana Lebaran. Selanjutnya, bungkus lopis dari daun pisang memiliki arti yaitu perlambang Islam dan kemakmuran, bahwa agama Islam selalu menumbuhkan kebaikan dan menjaga karunia Tuhan.
“Selain itu ikatan atau tali pembungkus lopis dari serat pelepah pisang, melambangkan kekuatan. Hal ini berhubungan dengan pesan bahwa sesuatu yang sudah dicapai (kembali fitri) harus dijaga agar tidak luntur ataupun berkurang, dan akan lebih baik jika semakin bertambah atau ditingkatkan,” terangnya.
Pengikat lopis sambungnya, juga memiliki makna hubungan antar manusia terutama sesama muslim untuk selalu menjalin silaturahim.
Penulis: M Ngisom Al-Barony
https://jateng.nu.or.id/regional/lopis-raksasa-siap-dipotong-pada-syawalan-di-pekalongan-besok-VH2Kz