Hari Pendidikan Nasional bukan Sekadar Seremonial 

Selamat Hari Pendidikan Nasional untuk seluruh elemen pendidikan baik formal maupun non formal di seluruh Indonsia. Setiap tanggal 2 Mei kita diajak untuk merenungkan kembali capaian pendidikan nasional yang senantiasa mengalami dinamika. Bukan hanya sebatas seremonial saja, peringatan Hari Pendidikan Nasional harus menjadi momentum nasional untuk meningkatkan spirit masyarakat dalam proses belajar mengajar.

Sejarah Singkat Hari Pendidikan Nasional

Sebelum terlalu jauh membahas pendidikan nasional, patut kiranya kita mengingat kembali sejarah singkat Hari Pendidikan Nasional. Seperti tokoh nasional lainnya, Hari Pendidikan Nasional merupakan bentuk penghargaan pemerintah atas jasa pahlawan pendidikan yaitu Ki Hajar Dewantara sebagai  pelopor pendidikan sekaligus pendiri Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1992.

Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai tanggal hari pendidikan nasional merupakan adalah tanggal lahir Ki Hajar Dewantara. Lahirnya tokoh pendidikan ini seakan menjadi simbol lahirnya pendidikan nasional. Mengapa demikian? dengan tekad yang kuat dan penuh keberanian, Ki Hajar Dewantara menentang kebijakan Pemerintahan Belanda yang hanya memberikan akses pendidikan kepada anak-anak kelahiran Belanda dan orang-orang kaya. Berkat kegigihannya, Ki Hajar Dewantara mendapat amanat serta penghargaan menjadi Menteri Pendidikan saat kemerdekaan.    

Filosofi Semboyan Pendidikan

Ki Hajar Dewantara terkenal dengan semboyan pendidikannya yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Maknanya, seorang guru harus menjadi teladan bagi muridnya (di depan memberikan contoh atau teladan), seorang guru harus mampu memberikan semangat kepada muridnya untuk terus maju (di tengah-tengah membangun kemauan atau cita-cita, dan seorang guru mampu memberikan semangat kepada murid dalam menentukan pilihan (dari belakang memberikan dorongan moral atau semangat).   

Sampai kapanpun, seorang guru memiliki peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Memang, kemajuan teknologi semakin canggih dan moderen. Proses pembelajaran bisa dilakukan melalui berbagai media baik offline maupun online. Terlebih pascapandemi, wajah pendidikan kita mengalami banyak transformasi. Berawal dari gagap teknologi hingga berangsur menuju cakap berteknologi. Guru sudah bukan satu-satunya tempat bagi siswa untuk mendapatkan informasi. Bahkan, google lebih canggih dari itu. Apapun yang dibutuhkan, google menyediakan semuanya. 

Namun, apakah google menyediakan sosok teladan bagi murid? Inilah peran dan tugas guru yang tidak bisa digantikan oleh teknologi. Ing ngarso sung tuladha, di depan mampu memberi teladan. Lebih dari mengajar, guru memiliki tanggung jawab mendidik yang tentunya tidak bisa dilakukan oleh mesin pencari seperti google. Guru tidak hanya melakukan transfer of knowledge, melainkan juga transfer of values. 

Refleksi Perjalanan Pendidikan Nasional

Hal yang sangat identik dengan pendidikan adalah kurikulum. Lebih dari identitas, kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Kurikulum mengandung acuan pembelajaran dan penilaian bagi guru serta murid, bukan sebatas program kerja kementerian yang senantiasa mengalami perubahan setiap pergantian kepemimpinan. Saking seringnya kurikulum mengalami perubahan, sampai di lingkungan masyarakat muncul istilah ‘ganti menteri ganti kurikulum.’

Dari sudut pandang lain, perubahan kurikulum memang diperlukan sebagai wujud penyesuaian zaman. Sesuai dengan perkataan Ali bin Abi Thalib ‘Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu’. Namun, perubahan kurikulum harus tetap mempertimbangkan keberlanjutan. Artinya, tidak semua aspek kurikulum harus dirubah, melainkan mempertahankan nilai-nilai positif dan memperbaiki hal-hal yang masih kurang.

Jika setiap pergantian menteri kurikulum mengalami perubahan mayor hingga mencakup seluruh aspek, perangkat, dan tools maka yang menjadi korban adalah lembaga pendidikan dan siswa. Lima tahun bukan waktu yang cepat maupun sebentar untuk proses penyesuaian. Belum sepenuhnya menyesuaikan sudah ganti lagi dan diminta untuk kembali menyesuaikan. Hal tersebut sangat melelahkan bagi elemen pendidikan. 

Merdeka Belajar

Secara konsep, merdeka belajar merujuk pada pendekatan pendidikan yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu humanisme. Memanusiakan manusia menjadi kunci dalam proses pendidikan. Siswa adalah seorang manusia yang utuh dengan segala fitrahnya mulai dari kemampuan berpikir hingga merasakan.

Pendidikan bukan untuk mencetak generasi emas, melainkan untuk memfasilitasi fitrahnya untuk berkembang secara maksimal. Istilah mencetak seakan-akan menilai siswa adalah objek yang bisa diatur dan dikendalikan sepenuhnya oleh guru. Siswa adalah subjek utama pendidikan yang membutuhkan pendampingan untuk menemukan jatidirinya sebagai seorang hamba. Karena sejatinya pendidikan untuk menyiapkan seseorang menjadi hamba yang mampu beribadah serta menjalankan perannya sebagai khalifatullah fil ardh, bukan mengajarinya untuk menjadi yang maha (menyombongkan diri). 

Pendidikan bukan lahan komersial. Pendidikan merupakan ruhnya peradaban. Kejayaan suatu peradaban tidak pernah mengabaikan pendidikan. Seperti halnya pada masa Dinasti Umayyah dan Abasiyyah yang menjadi kawah candradimuka peradaban serta yang melahirkan banyak ulama terkemuka. Para pemimpin dinasti Umayyah dan Abasiyyah sangat menghormati ilmu dan orang yang berilmu. Kesejahteraan orang yang berilmu tidak akan terabaikan. Bahkan, karya mereka dibayar dengan emas sesuai dengan berat fisik karya tersebut. Maka tidak heran, pada masa itu perpustakaan ramai, buku-buku banyak bermunculan. Selamat Hari Pendidikan Nasional, bergerak bersama lanjutkan merdeka belajar. Wallahu a’lam bis shawab (*)

Siti Nisrofah, mahasiswi pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) KH Abdurrahman Wahid Pekalongan 


https://jateng.nu.or.id/opini/hari-pendidikan-nasional-bukan-sekadar-seremonial-SILxO

Author: Zant