Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengisahkan peran para ulama dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gus Yahya menceritakan sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 oleh para ulama Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Nahdlatul Ulama didirikan oleh para ulama Indonesia saat itu yang menyaksikan dinamika global dan perubahan peradaban yang akan terjadi,” kata Gus Yahya.
Hal itu diungkapkan Gus Yahya di depan para delegasi dari Sekolah Tinggi Pertahanan Kerajaan Inggris atau Royal College of Defense Studies For Global Strategy Program yang berkunjung ke Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Senin (20/5/2024).
Gus Yahya mengungkapkan, para ulama NU memiliki visi masa depan untuk mengantisipasi tantangan peradaban dan berusaha mengembangkan kapasitas mereka untuk dapat berkontribusi pada konstruksi peradaban baru. Mereka terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pembentukan NKRI pada 1945.
“Mereka sepakat untuk membentuk negara bangsa dan bukan negara Islam atau teokrasi. Ini adalah model yang unik dan belum pernah terjadi sebelumnya di negara-negara mayoritas Muslim lainnya yang muncul setelah Perang Dunia II,” jelas Gus Yahya.
Gus Yahya juga menekankan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang tidak membawa label agama, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang mendeklarasikan diri sebagai negara Islam atau republik Islam.
“Anda dapat melihat bahwa hampir semuanya telah ditetapkan sebagai negara Islam. Mungkin republik demokratis, tapi republik Islam atau kerajaan Islam. Namun, Indonesia adalah negara kesatuan bangsa Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada label agama apa pun di dalamnya,” jabarnya.
Ia melanjutkan, visi para ulama NU adalah memiliki peradaban global yang tidak lagi terancam oleh konflik dan persaingan militer yang berkepanjangan. Mereka menginginkan dunia yang lebih stabil dan aman bagi semua orang, meninggalkan sejarah persaingan identitas di masa lalu.
“Jadi, jika kita ditanya pertahanan seperti apa yang kita pikirkan, model strategi pertahanan seperti apa yang kita pikirkan, kita akan lebih memikirkan tatanan internasional daripada sekadar militer kita, kapasitas militer kita sendiri,” bebernya.
Steve Dainton, Deputy Commandant Royal College of Defense Studies menjelaskan bahwa pihaknya tidak hanya fokus pada isu pertahanan, tetapi juga berbagai masalah lainnya.
Mereka mengumpulkan kelompok-kelompok militer senior, anggota pemerintah senior, industri, sektor amal untuk bertukar pikiran, ide, dan pendapat serta memahami ancaman yang dihadapi sebagai komunitas global.
Belasan delegasi dari Royal College disambut langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya yang didampingi oleh Wakil Ketua Umum PBNU H Amin Said Husni, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Sidrotun Naim, Wasekjen PBNU Mas’ud Saleh, Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor Adin Jauharuddin, dan Kepala Satkornas Banser Hasan Basri Sagala.
Para delegasi Royal College itu juga disambut oleh pasukan Banser sejak pintu gerbang dan halaman PBNU. Hal inilah yang membuat Steve Dainton beserta rombongan merasa terkesan saat baru saja tiba di Kantor PBNU untuk melangsungkan pertemuan dengan Gus Yahya dan jajaran PBNU lainnya.