Assalamualaikum wr. wb.
Mohon maaf, izin bertanya, Kiai. Pada beberapa pertemuan, kami sering mendengar khatib shalat Jumat atau khatib shalat Ied membuka khutbahnya dengan bacaan ‘basmalah’. Dia membaca dengan cukup nyaring di depan microphone hingga terdengar jelas oleh jamaah yang hadir pada saat itu. Pertanyaannya, bolehkah mengawali khutbah dengan bacaan tasmiyah atau basmalah?
Jawaban:
Waalaikumsalam wr. wb.
Kami ucapkan terima kasih pada penanya yang budiman atas pertanyaanya. Secara terminologi syariat, khutbah berartikan ucapan seorang penggubah (khatib) yang mengandung nasihat atau pengingat atas sifat-sifat tertentu.
Adapun waktu-waktu yang disyariatkan melaksanakan khutbah adalah bertepatan pada shalat Jumat, shalat Idul Fitri dan Adha, shalat Gerhana Matahari dan Bulan, shalat Istisqa’ (meminta diturunkannya hujan). Semua khutbah dilakukan setelah shalat kecuali shalat Jumat dilaksanakan sebelum shalat. Begitu juga disyariatkan melaksanakan khutbah pada hari Arafah.
Dari seluruh waktu yang disyariatkan, untuk melaksanakan khutbah, melekat status hukum yang berbeda-beda. Pertama wajib saat shalat Jumat, kedua Sunnah saat shalat Idul Fitri dan Adha.
Jika merujuk pada pertanyaan, bacaan basmalah tidak termasuk rukun maupun kesunnahan khutbah di setiap waktu yang disyariatkan. Akan tetapi, tak jarang masyarakat mengawali khutbah dengan basmalah. Padahal ulama terdahulu tidak pernah mendahulukan khutbah dengan basmalah, lantaran tidak ditemukannya satu riwayat pun hadits yang menjelaskan demikian. Justru yang disyariatkan adalah mengawalinya dengan membaca hamdalah.
Di samping itu, ada pula pendapat yang menjelaskan bahwa membuka khutbah dengan bacaan basmalah justru di sunnahkan. Oleh karenanya, secara garis besar terdapat dua pendapat mengenai hukum memulai khutbah dengan membaca basmalah.
Pendapat yang Memperbolehkan
Sesuai dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat, banyak ditemukan seorang khatib mengawali khutbahnya sambil membaca basmalah. Terdapat satu pendapat yang mengatakan bahwa mengawali khutbah dengan basmalah adalah berstatus hukum sunnah. Pendapat tersebut adalah:
قوله : ( للاتباع الخ ) ما يفعله الخطباء من ترك التسمية في الخطب بدعة لا أصل لها ، فيسن فيها التسمية ، و الله أعلم
Artinya: “Redaksinya berbunyi (bagi yang mengikuti dst.) : Salah satu hal yang dilakukan pada beberapa khutbah lalu meninggalkan basmalah dalam khutbah lantas dihukumi bid’ah tidak ada dasarnya, justru mengawalinya dengan basmalah itu disunnahkan.” (Jarhazi az-Zabidi, Hasyiyah Asy-Syaikh Al-Jarhazi Az-Zabidi Ala Minhajul Qawim,[Beirut, Darul Minhaj:2012], halaman 484).
Maka, membuka khutbah sambil membaca basmalah seperti yang lazim terjadi, menurut Jarhazi az-Zabidi disunnahkan.
Pendapat yang tidak Memperbolehkan
Para ulama berpendapat, bahwa khutbah, sama halnya dengan shalat yang memiliki pembukaan khusus. Adapun khutbah, secara syariat diawali dengan ucapan hamdalah, bukan basmalah. Secara khusus, ulama setelah Jarhazi az-Zabidi membantah pendapatnya.
فالخطبة قد جعل لها الشارع مبدأ بالتحميد ، فقول العلامة عبد الله بن سليمان الجرهزي الزبيدي : ( إن ترك البسملة أول الخطبة من بدع الخطباء ) لا يصح ، و لم أقف على من وافقه ، و لم أقف على حديث صحيح ولا ضعيف أنه صلى الله عليه و سلم افتتح خطبة من خطبه بالبسملة ، فأي بدعة إذن ؟ قاله شيخنا رحمه الله
Artinya: “Pembukaan suatu khutbah disyariatkan dengan mengawali ucapan hamdalah. Adapun ucapan Al-Allamah Abdullah bin Sulaiman Jarhazi az-Zabidi yang berbunyi, ‘sesungguhnya meninggalkan permulaan khutbah dari beberapa khutbah dengan basmalah termasuk tindakan bidah’ tidaklah tepat. pun tidak ada pihak yang menyepakatinya, dan tidak selaras dengan hadits shahih maupun dhaif bahwasannya Rasulullah saw mengawali khutbah dengan bacaan basmalah, lalu bagaimana bid’ah seperti ini diizinkan? sebagaimana yang dikatakan guru kami.” (Muhammad bin Abdurrahman bin Abdal, Umdatul Mufti wal Mustafti, [Beirut, Darul Minhaj:2008], juz 1, halaman 221).
Selain tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, mengawali khutbah dengan bacaan basmalah pun menjadi bid’ah yang dipertentangkan oleh para salafus shalih. Seperti yang tercantum dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin pada bab shalat Jumat
. مَسْئلَةُ ب . لاَتَنْبَغِى البَسْمَلَةُ أَوَّلَ الخُطْبَةِ بَلْ هِيَ بِدْعَةٌ مُخَالَفَةً لِمَا عَلَيْهِ السَّلَفُ الصَّالِحِ مِنْ أئِمَّتِنَا وَمَشَايِخِنَا الذِّى يَقْتَدِى بِأَفْعَالِهِمْ وَيُسْتَضَاءُ بِأَنْوَارِهِمْ مَعَ أنَّ أَصَحَّ الرِّوَايَاتِ خَبَرٌ كُلُّ أَمْرٍ ذِى بَالٍ لاَيُبْتَدَأُ فِيْهِ بِحَمْدِ اللهِ فَسَاوَتِ البَسْمَلَةُ الحَمْدَ لَةَ
Artinya: “(Masalah B) Tidak sepantasnya membaca basmalah pada permulaan khutbah, sebab yang demikian merupakan perilaku bid’ah yang dipertentangkan oleh para salafus shalih bagian dari imam dan guru kami (dimana mereka itu diikuti segala tindakan serta diambil terang cahayanya). Terlebih lagi, riwayat-riwayat yang paling sah adalah hadits, ‘setiap perkara yang baik yang tidak dimulai dengan hamdalah….’ Maka kedudukan hamdalah menyamai kedudukan basmalah.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar Al-Masyhur , Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Kitab Al-Ilmiyah:2021], halaman 104).
Kesimpulan dari dua pendapat yang sudah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa baik yang mengawali dengan basmalah maupun tidak, sama-sama memiliki dalil. Kendatipun secara kesepakatan mayoritas (mu’tamad) tidak mengawali basmalah melainkan dengan hamdalah merupakan dalil yang paling kuat. Maka seyogyanya menggunakan pendapat mayoritas tanpa perlu menyalahkan pendapat minoritas. Wallahu A’lam .
Shofi Mustajibullah, Alumni Az-Zahirul Falah Ploso, Mahasantri Pesantren Kampus Ainul Yaqin Unisma.
Sumber: NU Online
https://jateng.nu.or.id/kiai-nu-menjawab/apa-hukum-mengawali-khutbah-dengan-basmalah-LbyoF