Rembang, NU Online Jateng
Bulan Dzulhijjah lima tahun silam menyimpan duka mendalam mengingat wafatnya KH Maimoen Zubair di Makkah, Arab Saudi. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang,
Mengenang sosoknya, Gus Rifqil Muslim mengaku berhenti merokok atas perkataan gurunya tersebut ketika mengaji Ihya ‘Ulumiddin.
“Santri iku ngakehno perkoro sunnah, ngurangi perkoro makruh koyo toh rokok (Santri itu perbanyak perkara sunnah, kurangi perkara makruh seperti rokok),” kata Mbah Maimoen kepada Gus Rifqil, dikutip dari Youtube NU Online berjudul Kisah Menarik dan Amalan Super Warisan KH Maimoen Zubeir versi Gus Rifqil Muslim pada Kamis (13/6/2024)..
Meskipun Gus Rifqil sebelumnya sudah mendapatkan ijazah anti rokok dari beberapa kiai, tetapi ia baru bisa berhenti ketika didawuhi KH Maimoen Zubair.
“Saya sebenarnya banyak dapat mendapatkan ijazah anti rokok, tetapi tidak berhasil. Banyak kiai atau beberapa syekh dari luar yang ke Indonesia pasti rata-rata ijazahnya anti rokok, tetapi tidak berhasil. Ketika didawuhi beliau seperti itu, terketuk hati saya,” ujarnya.
Menurut Gus Rifqil, Mbah Maimoen tidak memfatwakan rokok itu haram. Sebab, anggota Ahlul Halli wal Aqdi pada Muktamar Ke-33 NU itu pernah mengaji kepada Kiai Ihsan Jampes. “Mbah Ihsan Jampes itu kalo ngaji rokoknya habis tidak bisa meneruskan mengaji, tetapi ketika rokoknya dinyalakan lagi maka ngajinya lanjut lagi,” cerita Mbah Maimoen kepada Gus Rifqil
Lebih lanjut, kiai muda asal Kaliwungu, Kendal itu menambahkan, bahwa Mbah Maimoen tidak secara langsung menjatuhkan sebuah hukum perkara yang memang itu haram atau itu makruh.
Profil KH Maimoen Zubair
KH Maimoen Zubair lahir pada 28 Oktober 1928 dan wafat dalam usia 90 tahun, tepatnya pada 6 Agustus 2019, sekitar pukul 04.17 waktu setempat. Beliau meninggal ketika hendak melaksanakan ibadah haji yang tinggal menghitung hari.
Mbah Maimoen merupakan seorang ulama besar yang lahir dari pasangan KH Zubair Dahlan dan Ibu Nyai Mahmudah. Beliau terlahir dan tumbuh di lingkungan pesantren dan agama yang kuat. Pendidikan masa kecilnya langsung diawasi langsung oleh sang ayah. Di bawah didikannya pula beliau berhasil mengkhatamkan banyak kitab dan menghafal kitab nadham karya ulama’ terkenal seperti Alfiyyah ibn Malik, Al-Imrithy, Sullamul Munnaroq, sampai Matn Jauharotut Tauhid.
Di umurnya yang ke 17 tahun atau pada tahun 1945, beliau melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke pondok pesantrn Lirboyo. Di sana beliau menimba ilmu langsung kepada KH Abdul Karim. Pada tahun 1950, beliau Bersama dengan kakeknya, KH Ahmad bin Syu’aib berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu keada para ulama’ haromain. Di antaranya adalah as-Sayyid Alawi Al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Kutbi, Syekh Yasin bi Isa al-Fadani, dan Syaikh Abdul Qodir al-Mindily.
Setelah kurang lebih dua tahun di tanah haram, beliau kembali ke tanah air dan melanjutkan perjalanan keilmuannya kepada para ulama di tanah Jawa, seperti Kiai Baidhowi (Lasem), Kiai Ma’shum Ahmad, serya Kiai Bisri Syansuri.
Bukan hanya seorang kiai yang diakui kealimannya, beliau juga merupakan sosok kiai yang mampu mengayomi dan dekat dengan berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat biasa hingga para pejabat pemerintah, itu bukan karena tanpa sebab karena memang dahulunya beliau pernah menjabat sebagai kepala pasar dan ketua tempat pelelangan ikan di Sarang. Kearifan dan kebijaksanaan beliaulah yang menjadikannya dipercaya untuk mengenmban Amanah tersebut.
Beliau juga seorang kiai yang produktif dalam mengarang kitab diantara karya beliau yang terkenal adalah Nushushul Akhyar, Tarajim Masyayikh al-Ma’ahid ad-Diniyyah bi Sara al-Qudama’, al-Ulama, al-Mujaddidun, Maslak at-Tanassuk dan masiih banyak lagi karya-karya beliau yang belum tercetak.