Naik Kelas

Cerpen: Baitul Muttaqin Al Majid
Sembari berlari-lari kecil mengikuti seorang temannya mengontel sepeda—berputar mengelilingi halaman sebuah rumah—sekonyong-konyong benak bocah itu ingin punya sepeda, agar dapat bersepeda kemana ia suka, tidak lagi meminjam bergantian dengan temannya. Pada saat yang bersamaan, menyaksikan peristiwa itu, dari jarak tertentu tanpa terlihat oleh kedua bocah itu, seseorang sekonyong-konyong merasa nelangsa, karena bocah yang berlarian itu adalah anaknya, sementara ia, kendatipun sudah ada niat, belum ada uang untuk membelikannya sepeda.

 

Namun, demikian lanjut benak bocah itu, ia tidak berani mengutarakan keinginan tersebut pada orang tuanya, karena ia tahu bagaimana keadaan keuangan orang tuanya yang, jangankan untuk membelikannya sepeda, dalam seminggu tidak setiap hari uang saku ia dapatkan. Untunglah, jarak sekolahan dengan rumahnya berdekatan. Apabila waktu istirahat tiba, sementara sebagian temannya ke warung dekat sekolah untuk membeli jajan, ia pulang untuk minum atau makan. Kadang, ia mengajak seorang atau beberapa temannya yang sama-sama tidak punya sangu alias uang jajan, dan hal ini kian mempererat tali persahabatan.

Tidak lama kemudian, seiring ia dapat giliran mengayuh sepeda itu, sekonyong-konyong sekuntum ide merekah indah dalam benaknya, mengibarkan sehelai senyum riang di wajahnya: tidak lama lagi ujian kenaikan kelas tiba, ia akan ngomong pada orang tuanya, apabila naik kelas ia ingin dibelikan sepeda sebagai hadiah untuknya.

Namun, kegembiraan di wajahnya itu terpajang sekejap saja, sekonyong-konyong digusur raut gundah-gulana seiring benaknya mempersoalkan apakah ia bakal naik kelas, sedang tahun kemarin ia naik kelas dengan cukup banyak peringatan dan nasihat dari guru kelasnya, dan kemudian ia baru tahu bahwa dengan seorang temannya yang tidak naik kelas ia hanya selisih satu nilai raport yang berwarna merah alias berangka lima atau di bawahnya.

 

Hingga, seiring hari-hari berlalu, sembari kerap memikirkan hal itu, secercah kesadaran menimpuk benaknya, bahwa banyaknya warna merah di nilai raportnya boleh jadi karena selama ini, sepulang sekolah, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain ketimbang mengulang pelajaran, baik sendiri di rumah atau belajar kelompok dengan teman-teman; bahwa teman-teman akrabnya pun rupanya rata-rata sama dengannya, baik dalam kesukaannya menghabiskan waktu untuk bermain pun kurangnya memahami pelajaran. Bahkan, temannya yang tidak naik kelas tersebut adalah temannya yang paling akrab sepermainan.

 

Dari sini timbul keinginan untuk mengurangi waktu bermain bersama mereka, lalu mengakrabi teman-teman sekelas yang pintar, baik dalam memahami maupun mengingat suatu pelajaran.

 

Ketika telah akrab dengan seorang temannya yang pintar, ia dapati, sebagai bocah, sebetulnya temannya itu pun sama dengannya, yakni suka bermain. Hanya, temannya itu tidak menghabiskan seluruh waktunya sepulang sekolah untuk bermain. Waktu bermainnya berakhir sampai sore menjelang Ashar yang mana oleh temannya itu kemudian digunakan untuk ngaji di Madrasah Diniyah alias Madin. Saat ia bertanya apa saja yang dipelajari di Madin, temannya itu menjawab dengan menyatakan bahwa di antaranya belajar membaca Al-Qur’an yang, kata guru ngajinya, Al-Qur’anul Karim adalah petunjuk hidup umat manusia yang diturunkan oleh Gusti Allah Ta’ala Rabbul Alamin kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang diutus sebagai rahmatan lil alamin.

 

Mendengar jawaban tersebut, untuk beberapa saat ia tampak tepekur. Entah sudah berapa kali, bahkan seakan-akan tiada bosan orang tuanya telah dan sesekali masih menyuruhnya untuk ikut ngaji bareng teman-temannya di Madin atau di langgar, akan tetapi ia masih belum melaksanakannya karena keasyikannya bermain.

 

Kemudian, benaknya bertanya-tanya, apa hubungan antara kepintaran temannya itu di sekolah dengan ngajinya? Karena apa yang dipelajari oleh temannya itu di madin, yakni membaca Al-Qur’an, berbeda dengan apa yang dipelajari di sekolah, seperti misalnya Ilmu Pengetahuan Alam atau Matematika. Hal ini berbeda dengan beberapa temannya yang ikut les alias bimbingan belajar, dan wajar mereka jadi rada pintar di sekolah, karena materi pelajarannya sama. Penasaran menjadikannya melempar tanya:

 

“Apa sampean ikut bimbel?”

 

“Tidak,” jawab temannya rada bingung atas pertanyaannya, lalu balik bertanya, “Kenapa sampean ujuk-ujuk bertanya seperti itu?”

Atas pertanyaan tersebut ia menceritakan kebingungannya, dan setelah mendengar apa yang ia ceritakan, dengan nada riang temannya menjawab, “Kenapa saya pintar? Saya tidak tahu. Selain lantaran rajin belajar, mungkin Gusti Allah Ta’ala memberi kemudahan saya memahami dan menghafal pelajaran sekolah barakahnya Al-Qur’an,”

 

“Barakahnya Al-Qur’an?” sahutnya kian penasaran.

 

“Ya, mungkin. Ayah saya pernah menasihati saya, apabila ingin mudah hafalan sering-seringlah membaca Al-Qur’an. Lalu, ayah saya mengutip ungkapan yang diambil dari sebuah kitab yang, saya masih ingat namanya, kitab Nashaihul Ibad, yang intinya ada tiga hal yang dapat menguatkan daya ingat: bersiwak, puasa dan membaca Al-Qur’an. Alhamdulillah, sejak saya mulai belajar membaca ayat-ayat pendek Al-Qur’an alias Juz Amma, saya suka mengulang-ulang membacanya.”

 

Sementara ia manggut-manggut sembari coba mencerna jawaban tersebut, temannya menambahkan, “Saya jadi ingat, ayah saya juga pernah menceritakan tentang penulis kitab tadi, kisah yang lucu, sampean mau mendengarnya?”

 

“Oh, ya? Kisah lucu? Bagaimana kisahnya?”

 

Kemudian temannya itu mulai bercerita, bahwa si penulis kitab tersebut yang bernama Syekh Nawawi al-Bantani yang berasal dari Banten, Indonesia, adalah seorang ulama yang namanya kondang alias masyhur di dunia karena kepintaran alias kealimannya yang terbukti secara masal lewat mengajarnya secara langsung di Masjidil Haram–Makkah, juga lewat kitab-kitab karyanya yang banyak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan agama Islam.

Sekali waktu, terdorong rasa penasaran akan kealimannya, para ulama di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir mengundangnya mengisi suatu diskusi agama.

Syekh Nawawi yang datang bersama seorang pembantu yang juga muridnya, Muhammad Yusuf, sesampai di Kairo mereka istirahat sejenak sebelum ke tempat acara. Sekonyong-konyong secercah gagasan menthongol dalam benaknya: ia mengusulkan pergantian peran di antara mereka. Yakni, dalam acara nanti Syekh Nawawi berpura-pura sebagai murid, sementara Muhammad Yusuf berpura-pura menjadi gurunya. Kendatipun awalnya Muhammad Yusuf bingung dan enggan atas usul tersebut, akan tetapi karena itu perintah gurunya, ia hanya bisa mematuhinya sembari menduga-duga apa maksud gurunya. Ndilallah, lantaran badan Muhammad Yusuf lebih besar ketimbang gurunya, seusai mereka bertukar pakaian, kian menambah pas tukar peran mereka.

Kini tibalah mereka memasuki tempat acara, maka inilah yang terjadi: para ulama dengan penuh hormat menyalami sembari mencium tangan Muhammad Yusuf yang mereka anggap sebagai Syekh Nawawi. Sementara Syekh Nawawi yang berjalan di belakang ‘gurunya’ tidak mereka pedulikan, bahkan tidak ditawari tempat duduk alias kursi.

 

Kemudian, seusai pengatur acara membuka acara tersebut, ia mempersilakan Syekh Nawawi maju ke tempat yang telah disediakan untuk ceramah dilanjutkan diskusi dan tanya-jawab.

Dengan rada grogi Muhammad Yusuf berjalan menuju tempat tersebut dan sesampainya, seusai uluk salam dan sejenak menyapa hadirin, ia menyatakan bahwa karena masih lelah akibat perjalanan jauh, maka ia mewakilkan diskusi selanjutnya pada muridnya. Kemudian ia menyuruh “muridnya” maju menggantikannya.

Syekh Nawawi kemudian maju, memberi ceramah dengan lancar, syarat keilmuan, hingga bahkan, pertanyaan-pertanyaan dari beberapa hadirin terjawab memuaskan. Dari sini para ulama tersebut kian kagum alias heran, karena—masih dalam anggapan mereka—muridnya saja sealim itu, lantas bagaimana gurunya dalam hal kealiman?

Demikianlah cerita temannya yang dipungkasi dengan senyum-tawa dua bocah yang dari hari ke hari mereka tampak sering bersama, baik di sekolah maupun di rumah.

 

Suatu sore, dengan memakai kupluk hitam di kepala secara agak serampangan serta menyampirkan sarung di leher bocah itu menyalami tangan orang tuanya sembari menyatakan bahwa ia akan mengaji, belajar membaca Kitab Suci Al-Qur’an. Rada terkejut seakan-akan tidak percaya orang tuanya merespons dengan mengelus kepalanya penuh keridhaan.

Kemudian, seiring ia melangkah pergi, benaknya mereka-reka kalau kelak ia akan minta dibelikan sepeda tidak sekadar karena naik kelas, akan tetapi dan mudah-mudahan karena ia bakal ranking, setidaknya sepuluh besar saat kenaikan. Di luar pengetahuan bocah itu, orang tuanya sudah mulai menyisihkan sebagian uang. Kendatipun ia telah mendengar kabar dari seorang teman anaknya bahwa anaknya bakal minta dibelikan sepeda apabila naik kelas nanti, sebagai orang tua, sebetulnya ia ingin membelikannya tanpa menunggu momen itu, asalkan uang sudah terkumpulkan. Apalagi kini anaknya sudah mau mengaji, yang sudah cukup lama ia nanti-nanti, yang mana tadi saat menyalami memberi restu anaknya pergi mengaji adalah saat yang amat-sangat full kebahagiaan. Karena ia pernah mendengar seorang kiai menyatakan bahwa tiap bacaaan Al-Quran seorang anak akan menjadi pahala bagi orang tuanya yang telah mengasuh, memelihara dan membesarkan.

 

Kesugihan, 14:04, 23 Agustus 2023 

 

Baitul Muttaqin Al Majid, menulis cerita pendek dan humor. Karyanya tersebar di sejumlah media.
  

https://www.nu.or.id/cerpen/naik-kelas-VErXK

Author: Zant