Kita tahu bahwa yatim adalah sebutan bagi anak yang kehilangan ayahnya sebelum mencapai usia dewasa (baca: baligh). Begitu anak ini telah baligh, maka sebutan yatim tidak lagi berlaku baginya, tetapi masih bisa digunakan sejauh sebagai kiasan pascabaligh, sebagaimana orang-orang Arab menyebut Nabi Muhammad saw sebagai ‘yatim Abu Thalib’. Hal tersebut mengingat Abu Thalib yang membesarkannya setelah ayahnya wafat (Lihat: Lisan al-‘Arab, Juz 12, hlm. 646).
Asal kata yatim adalah al-yutm dan al-yatm yang berarti keterasingan. Ada juga yang mengartikannya sebagai kelalaian. Bentuk feminim dari yatim adalah yatimah. Yatim yang digunakan sebagai sebutan untuk manusia berbeda dengan yatim yang digunakan sebagai sebutan untuk hewan; yatim untuk hewan adalah yang kehilangan induknya, tetapi yatim untuk manusia adalah yang kehilangan ayahnya.
Seorang ayah memiliki peran dan tanggung jawab yang besar untuk menghidupi keluarga kecilnya. Begitu ayah ini meninggal sedang anaknya belum baligh, maka anak telah kehilangan kasih sayang ayahnya yang seharusnya ia dapatkan sebagaimana anak kecil lainnya. Di sini lah perhatian Islam kepada anak yatim agar dirawat dan diberikan kasih sayang serta hak-haknya.
Syekh Asy-Sya’rawi dalam Tafsir as-Sya’rawi-nya mengatakan bahwa pemberian harta kepada anak yatim merupakan bentuk kasih dan cinta kepada mereka.
واليتيم لا يكون له وصي إلا إذا كان عنده شيء من مال، عندئذ يكون هناك وصي لإدارة أمور اليتيم. ولذلك جاء الحق بالأمر بإعطاء المال على حبه لليتامى، ولم يقل: لذوي اليتامى. فربما كان هناك يتيم ضاع لا يتقدم أحد للوصاية عليه، وليس عنده ما يستحق الوصاية؛ لذلك فعلينا أن نؤتي اليتيم من مال الله حتى ندخل في صفات البر، أو نعطي للوصي على اليتيم لينفق عليه إن كان له وصي.
Anak yatim tidak memiliki wali kecuali jika ia memiliki harta, maka akan ada wali untuk mengelola urusan anak yatim. Oleh karena itu, Allah memerintahkan untuk memberikan harta kepada anak yatim (bukan kepada kerabatnya) sebagai bentuk rasa cinta kepada mereka. Mungkin ada anak yatim yang terlantar tanpa seorang yang mengajukan diri menjadi wali atasnya, dan ia tidak memiliki sesuatu yang layak untuk dijaga oleh wali; justru karena itu kita harus memberikan harta (titipan) Allah (baca: bersedekah) kepada anak yatim sehingga tergolong orang-orang yang berbuat kebajikan, atau memberikan kepada walinya (bila memiliki wali) agar ia dapat menafkahi anak yatim tersebut. (Lihat: Tafsir asy-Sya’rawi, Juz 2, hlm. 736).
Melengkapi tafsir di atas, Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam kitab Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir menjelaskan bahwa Allah swt mengingatkan Nabi Muhammad saw, termasuk juga umatnya, untuk melindungi mereka, tidak malah menghinakan atau memperlakukan mereka dengan kasar.
قال تعالى: {فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ} أَيْ كَمَا كُنْتَ يَتِيمًا فَآوَاكَ اللَّهُ، فَلَا تَقْهَرِ الْيَتِيمَ، أَيْ لَا تُذِلَّهُ وَتَنْهَرْهُ وَتُهِنْهُ، وَلَكِنْ أَحْسِنْ إِلَيْهِ وتلطف به، وقال قَتَادَةُ: كُنْ لِلْيَتِيمِ كَالْأَبِ الرَّحِيمِ.
Allah Swt. berfirman, faamma al-yatima falaa taqhar. Maksudnya, sebagaimana engkau (Muhammad) pernah menjadi yatim dan Allah melindungimu, maka janganlah engkau menindas anak yatim, yakni jangan merendahkannya, menghardiknya, dan memperlakukannya dengan kasar. Namun, perlakukanlah ia dengan baik dan lemah lembut. Qatadah berkata: Jadilah bagi anak yatim seperti ayah yang penyayang (Lihat: Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Juz 2, hlm. 651).
Abu al-Laits Nasr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim as-Samarqandi (Abu al-Laits as-Samarqandi) dalam kitab tafsirnya, Bahr al-‘Ulum, juga mengungkapkan:
ثم قال تعالى: فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ يعني: لا تظلمه، وادفع إليه حقه. ويقال: معناه واذكر يُتْمك، وارحم اليتيم. وقال مجاهد: فَلا تَقْهَرْ يعني: فلا تقهره. وروي عن ابن مسعود، أنه كان يقرأ فَأَمَّا اليتيم فَلاَ تكهر يعني: لا تعبس في وجهه. وروي عن أنس بن مالك- رضي الله عنه، عن النبيّ صلّى الله عليه وسلم قال: مَنْ ضَمَّ يَتِيماً وَكَانَ مُحْسِناً فِي نَفَقَتِهِ، كَانَ لَهُ حِجَاباً مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَمَنْ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah engkau menghardiknya.” Ini berarti: janganlah engkau menzaliminya, dan berikan haknya kepadanya. Dikatakan, ayat ini mengartikan: ingatlah masa kecilmu (Muhammad) yang yatim, dan kasihilah anak yatim. Mujahid berkata: “Janganlah engkau menghardik,” berarti: janganlah menghardik anak yatim. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia membaca, faamma al-yatima falaa takhar, yakni janganlah engkau bermuka masam di hadapan anak yatim. Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik ra., dari Nabi Muhammad Saw., beliau bersabda: “Barang siapa merawat anak yatim dan memberikan nafkah yang baik, maka itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka pada hari kiamat. Dan barang siapa yang mengusap kepala anak yatim, maka setiap helai rambut yang diusap akan mendapatkan pahala kebaikan (Lihat: Bahr al-‘Ulum, Juz 3, hlm. 592).
Ketiga mufassir di atas (Asy-Sya’rawi, Muhammad Ali ash-Shabuni, dan Abu al-Laits as-Samarqandi) telah menyebutkan hak-hak anak yatim, yaitu memberikan harta dengan cara bersedekah kepadanya. Hal lain adalah memberikan wali yang dapat mengelola urusannya dengan baik dan tidak menzaliminya dengan menindas, merendahkan, menghardik, berlaku kasar, atau bermuka masam kepadanya. Justru, kita harus memperlakukannya dengan baik dan lemah lembut, mengasihinya, merawatnya, dan mengusap kepalanya.
Kutipan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam Bahr al-’Ulum di atas menunjukkan, merawat dan memberikan nafkah yang baik kepada anak yatim menjadi pelindung baginya dari api neraka pada hari kiamat kelak, karena perilaku orang-orang Arab terdahulu adalah merusak harta dan hak-hak anak yatim, sebagaimana Al-Farra’ dan az-Zajjaj dalam Mukhtashar Tafsir al-Baghawi menyebutkan hal ini sebagai berikut:
وَقَالَ الْفَرَّاءُ وَالزَّجَّاجُ: لَا تَقْهَرْهُ عَلَى مَالِهِ فَتَذْهَبَ بِحَقِّهِ لِضَعْفِهِ، وَكَذَا كَانَتِ الْعَرَبُ تَفْعَلُ فِي أَمْرِ الْيَتَامَى، تَأْخُذُ أَمْوَالَهُمْ وَتَظْلِمُهُمْ حُقُوقَهُمْ.
Al-Farra’ dan Az-Zajjaj berkata: janganlah mengambil alih hartanya sehingga menghilangkan haknya. (Sebab,) demikianlah yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab terhadap anak-anak yatim; mengambil harta anak yatim dan menzalimi hak-hak anak yatim (Lihat: Mukhtashar Tafsir al-Baghawi, hlm. 1023).
Demikian, perhatian Islam kepada anak-anak yatim begitu besar. Uraian ini memberikan pesan kepada kita untuk menjaga dan memperjuangkan hak-haknya. Banyak keberkahan dalam diri mereka. Surat adh-Dhuha ayat ke-9 menjadi salah satu ayat tuntunan, bagaimana sikap dan hak yang seyogianya anak yatim terima. Wallahu a’lam.
Ustadz Abdullah Muhammad Alfatih, Alumnus Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin, Brabo, Grobogan, Jawa Tengah.
https://jateng.nu.or.id/keislaman/hak-hak-anak-yatim-menurut-para-mufassir-fal3T