Asy’ariyah: Teologi Moderat tentang Sifat Allah SWT

Pada masa awal, akidah Islam memiliki karakter yang sederhana dan lugas, tanpa melibatkan unsur-unsur filosofis atau spekulatif. Prinsip-prinsip dasar seperti keesaan Allah (tauhid), sifat-sifat-Nya, kenabian, hari kiamat, dan rukun iman lainnya dijelaskan dengan cara yang mudah dimengerti. Hal ini disebabkan oleh fokus umat Islam saat itu yang lebih pada pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga diskusi teologis yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah atau konsep-konsep filosofis belum menjadi perhatian utama.

Di periode awal Islam ini, belum muncul mazhab akidah tertentu, termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah. Rasulullah Saw secara langsung mengatur semua aspek keagamaan, termasuk masalah akidah, berdasarkan wahyu yang diterimanya. Selama masa sahabat, tabi’in, dan tabi’in tabi’in, tidak ada aliran pemikiran akidah yang terbentuk, karena para ulama salafuna shalih berhasil menjaga akidah Islam tetap murni tanpa perlu mendirikan mazhab akidah yang terpisah.

Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah dalam akidah baru berkembang pada akhir abad ketiga hingga awal abad keempat hijriah. Dua tokoh utama yang mendirikan mazhab ini adalah Imam Abul Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) dari Baghdad, Irak, dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H) dari kota Maturid, dekat Samarkand, Uzbekistan. Aliran ini kemudian dikenal sebagai “akidah Asy’ariyah” dan “aqidah Maturidiyah.” Kelahiran mazhab ini dipicu oleh munculnya pemikiran ekstrim pada masa itu.

Kelompok ekstrem kanan diwakili oleh aliran Muhadditsin, yang menolak penggunaan akal dalam memahami wahyu, sementara kelompok kiri, yaitu Mu’tazilah, lebih mengutamakan akal daripada teks wahyu. Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang dikenal sebagai moderat dan beraliran Ahlussunnah wal Jama’ah, hadir untuk menyeimbangkan antara wahyu dan nalar secara proporsional. Sikap moderat dan seimbang ini dalam memahami tauhid menjadi ciri khas dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Sikap Moderat Asya’irah dalam Memandang Sifat Allah

Mu’tazilah dikenal sebagai salah satu aliran teologi Islam yang paling rasional. Mereka cenderung menolak gagasan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang terpisah dari zat-Nya. Menurut mereka, menyatakan adanya sifat-sifat yang berdiri sendiri di samping zat Allah akan menimbulkan pluralitas (ta’addud al-qudama), yakni keberadaan unsur-unsur yang berbilang dalam diri Allah, yang mereka anggap bertentangan dengan konsep keesaan Allah. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Al-Syahrastani.

ويري الشهراستاني أن القول بنفي الصفات الذي قال به واصل بن عطاء لم يبلغ مرحلة الاكتمال بشبهاته وحججه حتى يكون مقالة خاصة بالمعتزلة يقول : “وقد كانت تلك المقالة في بدئها …… غير نضيجة، وكان واصل يشرع فيها على قول ظاهر، وهو الاتفاق على استحالة وجود إلهين، حيث قال: من أثبت معني وصفة قديمة فقد أثبت إلهين”.  (الملل والنحل، تأليف أبو الفتح محمد بن عبد الكريم الشهرستاني. ط: 1، ج:1، ص:  46)

Artinya: Al-Syahrastani berpendapat bahwa meskipun Wasil bin ‘Atha’ memulai ide tentang penafian sifat-sifat Allah, ide tersebut belum berkembang menjadi doktrin utama Mu’tazilah hingga saat itu. Setelah itu, para penerus Mu’tazilah mengadopsi dan memperbaiki konsep ini, menjadikannya bagian dari teologi mereka. Dia berpendapat bahwa dengan menempatkan sifat-sifat yang qadim (kekal) bersama dengan zat Allah, sifat-sifat tersebut akan menjadi entitas independen yang berdiri sendiri, yang menciptakan kesan bahwa ada dua Tuhan zat Allah swt dan sifat-sifat-Nya. (Abu al-Fath Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani (w. 548 H), al-Milal wa al-Nihal. Ninawa Publishing. Cet. 1, Juz 1, Hal. 46). 

Sebaliknya, aliran Musyabbihah berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang berbeda dari zat-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa sifat-sifat Allah tidak terpisah dari eksistensi-Nya, sehingga hal ini mengakibatkan Allah tidak lagi bersifat tunggal. Selain itu, Musyabbihah juga menganggap bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang serupa dengan makhluk-Nya. Mereka berpendapat bahwa dengan memiliki sifat-sifat tersebut, Allah memiliki bentuk fisik seperti halnya makhluk, terdiri dari berbagai elemen yang membuat-Nya tidak lagi bersifat tunggal.

Sementara itu, mazhab Asy’ariyah dalam Ahlussunnah wal Jama’ah mengambil jalan moderat. Mereka berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang hanya sesuai dengan keagungan-Nya dan tidak dapat disamakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

ذكر الأشاعرة أقل ما يجب من الصفات التي دل عليها النقل والعقل وهي عشرون صفة، حتى يخرج بها المؤمن من ربقة التقليد في الاعتقاد. وجعلوها أربعة أنواع: نفسية وسلبية ومعاني ومعنوية وهذا إنما هو تحديد تعريف توقيفي تقريري، وليس تحديد توصيف توقيفي نهائي. (العقيدة الأشعرية هي عقيدة أهل السنة والجماعة، تأليف عبد الله بن الطاهر السوسي التنائي، الطبعة الثانية 2018 ، دار الأمان الرباط، ص 39)

Artinya, “Kelompok Asy’ariyah menyebutkan sifat-sifat minimum yang wajib diyakini, yang didukung oleh dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal). Jumlahnya adalah dua puluh sifat. Sifat-sifat ini cukup bagi seorang mukmin untuk keluar dari ikatan taqlid (mengikuti tanpa memahami) dalam hal keyakinan. Mereka membaginya menjadi empat jenis: sifat nafsiyah (diri), sifat salbiyah (negasi), sifat ma’ani (makna), dan sifat ma’nawiyah (penegasan makna). Pembagian ini merupakan suatu batasan dan definisi yang bersifat deskriptif (taufiqi taqriri) dan bukan batasan sifat yang definitif atau final (tawsifi tauqifi nihai).” (Akidah Asy’ariyah adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Abdullah bin al-Thahir al-Soussi al-Tana’i. Diterbitkan oleh Dar al-Aman, Rabat – Edisi kedua, 2018, H. 39).

Menurut Asy’ariyah, pembagian dua puluh sifat wajib bagi Allah swt merupakan metode yang digunakan untuk membantu umat Islam memahami sifat-sifat Allah swt secara tepat, tanpa terjerumus dalam taqlid. Tujuan dari pembagian ini adalah untuk menjelaskan dan menyajikan konsep-konsep tersebut dengan cara yang mudah dipahami oleh akal, sehingga setiap muslim dapat memiliki keyakinan yang kokoh berdasarkan dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal).

Dengan demikian, jelas bahwa sifat-sifat Allah swt melekat pada zat-Nya, membentuk kesatuan yang sempurna antara sifat dan zat. Karena sifat-sifat tersebut menyatu dengan dzat-Nya, Allah swt bersifat kekal (baqa’), tidak memiliki permulaan (qidam), dan sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya. Karena kesatuan ini, wujud Allah swt berbeda dari wujud makhluk yang memiliki bentuk fisik dan terikat oleh ruang serta waktu.

“هُوَ ٱلْأَوَّلُ وَٱلْـَٔاخِرُ وَٱلظَّـٰهِرُ وَٱلْبَاطِنُۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ” 

Artinya : “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Surah Al-Hadid (57:3)

وقال ابن عاشر:  لو لم يك القدم وصفه لزم # حدوثه دور تسلسل حتم. (منظومة ابن عاشر البيت 24)

Artinya : “Jika bukan sifat qidam yang menjadi sifat-Nya, maka pasti ada kebaruan (hadits) pada-Nya, dan hal itu akan menyebabkan terjadinya daur dan tasalsul secara pasti.”

Dalam mendefinisikan dan memahami sifat-sifat Allah, Qidam adalah sifat yang menandakan bahwa keberadaan Allah tidak memiliki permulaan. Dengan kata lain, Allah swt telah ada sejak azali, tanpa bergantung pada sebab atau pencipta lain. Sifat ini menegaskan bahwa Allah swt tidak diciptakan dan tidak mengalami perubahan.

 

Dari sini, dapat dipahami bahwa Asya’irah menjaga keseimbangan antara dalil aqli (logika) dan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadis) dalam menetapkan sifat Qidam Allah, mencerminkan pendekatan moderat (tawassuth) yang diambil oleh aliran Asy’ariyah dalam menetapkan sifat-sifat wajib bagi Allah swt.

https://jateng.nu.or.id/keislaman/asy-ariyah-teologi-moderat-tentang-sifat-allah-swt-RbZ0N

Author: Zant