Bencana lingkungan bisa menjadi pemicu kemusnahan manusia. Masalah lingkungan harus diselesaikan bersama. Khususnya terkait sampah. Hampir tak ada hasil yang signifikan dari sekian banyak solusi yang dicanangkan pemerintah. Kecuali kita merubah perilaku kita. Mau tidak mau.
Saya tidak hendak membeberkan sekian banyak data terperinci terkait sampah, dan masalah turutannya. Semua data-data itu bisa diakses oleh semua orang yang sudah menggenggam teknologi.
Oleh sebab itu, perilaku yang harus kita perhatikan adalah upaya memilah sampah. Upaya inti yang harusnya disadari bersama oleh masyarakat Indonesia untuk menanggulangi masalah sampah. Jika tidak ingin musnah.
Momentum perubahan perilaku terhadap sampah bisa digaungkan pesantren di Hari Santri yang di dalamnya memperingati Resolusi Jihad. Sebuah upaya Jihad bersama dan serentak untuk mengusir penjajah. Dan di momen ini adalah upaya bersama untuk menggebrak kesadaran untuk melawan sampah. Resolusi Jihad Lingkungan.
Kapital Gain Pesantren
Sejarah dan kuantitas memberikan fakta dan data bahwa pesantren punya kapital gain (keuntungan) yang bisa dimanfaatkan untuk menggelorakan kembali Resolusi Jihad untuk merawat lingkungan khususnya dalam pengelolaan sampah.
Dalam sejarah panjang kemerdekaan Indonesia, kaum pesantren dan santri punya andil besar dalam mengusir penjajah. Hampir seluruh pesantren berikut santri dan para kiai di wilayah Jawa dan Madura berperang melawan NICA dan Inggris yang ingin menduduki kembali Indonesia pasca Jepang kalah dari Sekutu. Dan ini fakta bahwa pesantren bisa membuat gelombang besar untuk membuat perubahan.
Selain itu, pada semester kedua tahun 2023, Kementerian Agama (Kemenag) Indonesia mencatat bahwa jumlah pesantren di Indonesia diperkirakan mencapai 39.167 unit. Dengan jumlah santri diperkirakan mencapai 4,85 juta orang. Dan ini menunjukkan data tentang kuantitas besar yang dimiliki pesantren.
Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, total penduduk Indonesia hingga semester I-2024 mencapai 282 juta. Jika dilakukan hitungan kasar, populasi santri dari seluruh penduduk Indonesia mencapai 1,72 %. Jika dihitung beserta dengan kiai dan civitas pesantren selain santri tentu persentase itu akan naik.
Belum lagi ditambah jumlah penduduk yang memiliki keterikatan dengan pesantren atau komunitas-komunitas keagamaan yang bergerak di akar rumput. Potensi kuantitasnya akan bertambah lagi.
Entitas manusia dalam Resolusi Jihad tentu tidak hanya santri. Ada entitas lain termasuk di dalamnya adalah masyarakat sipil dan penganut agama lain selain Islam. Dan sudah barang tentu bahwa jumlah manusia dalam peristiwa Resolusi Jihad dulu, tidak sebanyak sekarang karena jumlah manusia di Indonesia terus bertambah seiring berjalannya waktu.
Saya mengimajinasikan, apabila Resolusi Jihad dahulu bisa menggetarkan penjajah untuk pergi dari Indonesia, tentu dengan kuantitas yang sekarang apabila Resolusi Jihad Lingkungan ini benar-benar menjadi kesadaran dan gerakan bersama, bukan tidak mungkin sampah akan teratasi.
Jika penjajah menjadi musuh bersama yang mengancam masyarakat Indonesia lalu gerakan Resolusi Jihad bergelora serentak. Bukan tidak mungkin bahwa masalah sampah adalah masalah bersama yang dihadapi oleh manusia Indonesia sekarang. Seperti penjajah, sampah jika tidak segera diatasi bersama, efeknya akan sama dengan penjajah. Yaitu memusnahkan kita, ya kita semua.
Bank Sampah dan Upaya Memilahnya
Salah satu upaya untuk menggelorakan resolusi jihad lingkungan adalah memunculkan bank sampah di setiap pesantren di seluruh Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2023 bank sampah di Indonesia mencapai 25.540 unit. Sayang dari data itu tidak menyebutkan apakah pesantren masuk di dalam jumlah itu.
Kita anggap saja bahwa jumlah bank sampah itu tidak termasuk di dalam pesantren. Jika mengacu pada jumlah pesantren yang dirilis Kemenag di atas, ada 39.167 pesantren. Jika bank sampah kemudian dimunculkan di setiap pesantren maka akan ada total bank sampah sebanyak 64.707 unit di Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya apakah upaya bank sampah di pesantren itu akan berpengaruh pada pengolahan sampah? Jawabannya iya.
Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti mengatakan, berdasarkan kajian pada tahun 2019, kapasitas daur ulang plastik pascakonsumsi mencapai 421.000 ton per tahun. Kontribusi daur ulang plastik terbesar berasal dari pemulung (84,3 persen), tempat pembuangan sampah terpadu/pusat daur ulang (13 persen), dan bank sampah (2,7 persen).
“Kapasitas daur ulang dari bank sampah mungkin memang yang terkecil dari segi kuantitas, tetapi kualitasnya paling baik dibandingkan lainnya. Nilai bank sampah juga tidak hanya dari tonase sampah yang terkumpul, tetapi juga bagaimana perubahan perilaku yang membuat nilai pengumpulan sampah ini menjadi tinggi,” katanya.
Bank sampah tidak hanya menjadi instrumen tempat pembuangan sampah. Lebih dari itu adalah instrumen vital untuk melakukan edukasi perilaku terkait pengumpulan dan pemilahan sampah.
Mafhum, untuk mengubah perilaku manusia, kita perlu melakukan perubahan pada cara pandang atau cara berpikir (mindset) manusia itu sendiri. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan melakukan berbagai upaya edukasi. Dan edukasi itu berpusat di bank sampah.
Perilaku masyarakat Indonesia terhadap sampah berdasarkan statistik timbulan sampah mencerminkan perubahan yang cenderung negatif bahkan semakin memburuk.
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan itu. Pada tahun 2019 timbulan sampah mencapai 28,37 juta ton. Lalu pada tahun 2020 dengan 29,01 juta ton. Pada 2021 mencapai 29,45 juta ton. Dan melonjak pada 2022 hingga menyentuh 35,83 juta ton. Lonjakan tak berhenti, pada 2023 naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya yakni pada 69,9 juta ton.
Sampah akan disebut sampah jika bercampur. Namun jika terpilah, tidak menjadi sampah melainkan komoditas. Contoh, sampah kertas jika bercampur dengan sampah organik seperti sisa makanan lalu menjadi basah nilai ekonomis kertas menjadi hilang dan hanya menjadi residu. Beda cerita ketika sampah kertas terpilah dan tetap kering. Ia akan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi daripada saat tercampur.
Problem sampah yang ada di hulu (sumber timbulan sampah) yaitu manusia adalah pada tingkah laku yang tidak membuang sampah pada tempatnya. Dan kalaupun sudah dibuang di tempat sampah, pasti tidak terpilah.
Maka bank sampah di pesantren hadir sebagai upaya untuk diseminasi informasi dan sarana edukasi yang sementara ini berfokus pada membuang sampah pada tempat yang sudah dibedakan (terpilah).
Sampah adalah problem sosial, masalah bersama. Maka dalam upaya memupuk kesadaran tentang pentingnya membuang dan memilah sampah harus berbasis sukarela. Artinya semua orang atau santri berpartisipasi karena rasa peduli dan tanggung jawab. Tidak serta merta berbasis ekonomi.
Mengapa landasan sukarela itu penting, karena dari sekian banyak bank sampah yang hanya berbasis ekonomi semata tidak berumur panjang. Apalagi bank sampah di Indonesia, perputaran ekonominya tergolong kecil. Dan sampah adalah masalah sosial, bukan masalah ekonomi.
Dan pesantren dengan filosofinya yang kental dengan sukarela/khidmat pada umat, punya nilai-nilai mendasar itu. Bahwa dengan merawat sampah, kita merawat lingkungan, dan itu adalah bagian dari ibadah pada Tuhan.
Di Pesantren Tebuireng, ada Bank Sampah Tebuireng (BST) yang punya jargon “Ubah Sampah Menjadi Berkah”. Pada Agustus, 2022, BST mengelola sampah sekitar 400 kg/hari, sebulan mencapai 12 ton. Dan menghasilkan 10-12 juta rupiah. Sampah-sampah itu kemudian dipilah, didaur ulang, kompos, RDF, dan lain sebagainya.
Melalui momentum peringatan Resolusi Jihad di bulan Oktober ini, dimulai dari pesantren-pesantren kita bisa menggelorakan Resolusi Jihad Lingkungan. Dan berharap gelora itu menjadi gelombang-gelombang kecil di seluruh pesantren di Indonesia. Dan tidak menutup kemungkinan menyebar ke seluruh penduduk Indonesia.
Dan kita berharap, momen Hari Santri menjadi titik getaran bersama yang mewujud dalam aksi nyata dalam Resolusi Jihad Lingkungan. Tidak hanya perayaan penuh kata, apalagi perayaan semata. Semoga!