Jakarta, NU Online
Lembaga Pengembangan Pertanian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPP PBNU) resmi meluncurkan Program Sawit Goes to Pesantren di Hotel Acacia Jakarta, Jumat (25/10/2024).
Peluncuran ini bersamaan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) LPP PBNU yang dihadiri oleh para pengurus dari berbagai wilayah dan cabang di Indonesia.
Sekretaris LPP PBNU Tri Chandra Aprianto menyampaikan bahwa tema besar dalam program ini adalah sawit rakyat yang mencakup berbagai persoalan dari hulu ke hilir kelapa sawit.
“Tema ini diangkat karena kompleksitas permasalahan yang muncul. Banyak pengaduan dari LPP PWNU wilayah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, hingga Riau, yang selama ini aktif mendampingi para petani sawit,” ungkap Chandra dalam sambutannya.
Beberapa isu krusial yang disoroti adalah Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang belum selesai hingga kini, serta tumpang tindih lahan masih menjadi masalah.
Lebih lanjut, Chandra juga menyoroti kompleksitas kelembagaan sawit, di mana terdapat 37 kementerian dan badan yang terlibat dalam pengurusan sektor ini. “Jadi sangat kompleks dan komplit permasalahannya,” kata Chandra.
Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan semua program NU harus tetap berpijak pada tujuan dasar NU yakni menjaga dan memelihara agama (himayatuddin) dan membimbing umat (riayatul ummah).
“NU didirikan untuk menjadi wahana bagi pelaksanaan tanggung jawab ulama. Maka yang pertama harus dipahami tanggung jawab ulama itu sendiri. Para ulama adalah pengemban ilmu agama, maka ulama mengemban dua tanggung jawab dasar yakni menjaga dan memelihara agama,” ujarnya.
Dalam rangka menjaga dan memelihara agama selain dengan ilmu, ulama juga dituntut untuk bertanggungjawab pada riayatul umat (mengasuh, membimbing umat) sehingga pengetahuan tentang agama tak berhenti menjadi wacana, tetapi juga praktik nyata yang diterapkan umat.
“Ini yang pertama kali harus kita pahami. Semua yang dikerjakan NU harus bisa dicantolkan kepada dua tujuan dasar ini. Baik dalam bentuk programnya maupun dalam spirit dari agenda itu sendiri,” imbuhnya.
“Kalau sekarang LPP PBNU kerja sama dengan Ditjen Perkebunan, Ditjen PSKL, dan Gapki mengurus sawit hubungan dengan ulama, harus ketemu dengan tanggung jawab ulama,” kata dia.
Pengenalan pesantren dengan urusan sawit, menurut Gus Yahya, bukanlah semata-mata agar pesantren mencari keuntungan finansial. Menurutnya, yang lebih penting bahwa pesantren ini sebagai representasi dari kehadiran peran ulama di masyarakat mampu menjalankan perannya dengan lebih baik.
Ia menjelaskan, lebih dari sekadar mengajarkan pesantren untuk mengelola dan mengakumulasi sumber daya, yang lebih diperlukan adalah kontribusinya dalam mendukung kesejahteraan umat. Melalui program-program yang terkait dengan sawit ini, pesantren diharapkan dapat memperkuat perannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Gus Yahya mengingatkan bahwa dalam merancang program, semua harus sesuai dengan tujuan keberadaan NU dan memiliki kaitan logis dengan misi tujuan didirikannya NU. Ini terkait erat dengan peran setiap aktivis NU, termasuk pengurus LPPNU di wilayah dan cabang, yang bukan sebagai pengusaha sawit.
Para aktivis NU secara sukarela mengambil peran untuk menjalankan tugas ke-NU-an, khususnya dalam membantu masyarakat petani sawit di sekitar mereka. Bukan hanya untuk warga NU, tetapi karena masyarakat ini paling mudah dijangkau oleh instrumen NU. Sejatinya, tanggung jawab NU lebih luas dari itu.
“Saya minta itu dijadikan prinsip sejak sekarang, kalau kita berkhidmat ini untuk masyarakat. Jadi teman-teman LPPNU kalau mau membantu urusan sawit masyarakat, enggak usah ditanya dulu orangnya NU atau enggak. Pokoknya kalau mau dibantu iya bantu aja,” tegas Gus Yahya.