Politik Aksara dan Bahasa dalam Kolonialisme

Aksara dan bahasa suatu komunitas saling terkait, tetapi tidak secara otomatis. Bahasa Jawa misalnya, pernah ditulis dengan aksara Kawi (biasa disebut sebagian ahli dengan Jawa kuno), caraka Jawa, Pegon Jawi, dan latin. Kini, aksara Pegon Jawi dan caraka Jawa, seiring dengan pergumulan perjalanan sejarah, tidak menjadi aksara nasional, tetapi tetap hidup di dalam komunitasnya masing-masing. Meski dalam UU 1945 hanya disebutkan soal bahasa Indonesia (pasal 36), dan tidak tentang aksara, tetapi secara tidak tertulis aksara nasional menggunakan aksara latin, seperti tampak dalam penulisan UUD 1945 dan UU lainnya. 

Aksara Pegon Jawi digunakan dalam komunitas dan lingkungan pesantren-pesantren yang hingga kini terus dipelihara, melalui ngaji-ngaji  mereka dan sebagian karya dari generasi pesantren; dan caraka Jawa digunakan secara terbatas di lingkungan sisa-sisa kraton Jawa dan sebagian tulisan-tulisan simbolik di pemerintah lokal dari sisa-sisa wilayah kekuasaan Mataram Islam (di Yogyakarta dan Solo). Hal ini tidak terlepas dari politik bahasa dan aksara yang diterapkan oleh penjajah Belanda kepada bangsa-bangsa di Nusantara, sikap mereka terhadap aktivitas antikolonial kalangan masyarakat pribumi; dan dinamika sejarah menjelang kemerdekaan yang berpengaruh terhadap eksistensi caraka Jawa dan Pegon Jawi.

Aksara dan Bahasa Caraka di Nusantara
Sebelum datangnya para penjajah (VOC, Inggris, dan Hindia Belanda) ke pulau-pulau Nusantara, khususnya ke pulau Jawa (termasuk di Jawa Barat dan Banten), aksara dan bahasa masyarakat di pulau ini, digunakan dua jenis aksara, yaitu caraka Jawa dan Pegon Jawi (dan sebagian kecil menggunakan aksara Arab, seperti tampak dalam jejak penulisan Al-Qur’an). Caraka Jawa menggunakan huruf dalam tradisi hanacaraka; dan Pegon Jawi menggunakan tradisi aksara Arab dengan bunyi bahasa Jawa, Sunda, Osing, Melayu, dan varian lainnya. Caraka Jawa dan Pegon Jawi menggantikan caraka Kawi, yang telah dimulai dan diketahui, menurut sebagian penelitian soal ini, dari abad ke-8 sampai ke-16, sejak munculnya Prasasti Plumpungan (Salatiga, Jawa Tengah) bertahun 750 M, dan menurut Marsono (2012: 26) didasarkan pada Parasasti Sukabumi (726 Saka/804 M). Aksara Kawi dengan berbagai variasinya juga ditemukan di berbagai pulau di Nusantara. 

Ketika tatanan masyarakat Nusantara (khususnya di pulau Jawa) berubah menjadi Islam-Muslim, caraka Kawi telah diubah dan diganti menjadi Pegon Jawi dan caraka Jawa. Maka, dapat diduga caraka Jawa dan Pegon Jawi itu adalah hasil dari kreativitas para wali dan murid-murid beliau dalam meletakkan tatanan baru di Jawa, menggantikan tradisi caraka Kawi. Adanya upaya untuk mendampingkan antara caraka Jawa dan Pegon Jawi, atau pemeliharaan aksara Arab dan Jawa dapat diketahui, setidaknya dari pengakuan naskah Panitibaya yang dihubungkan dengan Bathara Kathong, yang menyebutkan pada wejangan ke-154, yaitu:

[154] Satus seket papat, aja, tinggal sastra Jawa Arab tan becik, peksanen kudu sinau, mari-mari yen bisa, aja wedi kangelan anywa katungkul, isin lawan eman sungkan, iku blai niwasi//Keseratus lima puluh empat, janganlah, meninggalkan tulisan Jawa dan Arab, itu tidak baik; paksakan dirimu harus belajar, syukurlah bila dapat, jangan takut menghadapi kesukaran dan jangan terpengaruh, oleh rasa malu serasa ogah-ogahan, jelas itu kurang baik, membuat aib saja.”

Sementara kalau melihat naskah wejangan Syekh Ibrahim yang disebut dengan Kropak Ferrara, yang ditransliterasi GJW. Dewes (1978), dan menurutnya termasuk tertua di Jawa, ditulis dengan menggunakan caraka Jawa, dan bukan caraka Kawi, meski ada kata-kata Jawa kuno digunakan. Sedangkan penggunaan dalam surat menyurat di dalam lingkungan kraton, sebagian diketahui menggunakan aksara Pegon Jawi-Melayu. Misalnya, apa yang dikaji Titik Pudjiastuti (2004: 80-94) tentang surat-surat Sultan Banten, menunjukkan penggunaan aksara Pegon Jawi dalam bahasa Melayu. Hanya saja, Titik Pudjiastuti di sini membedakan aksara Melayu dan aksara Pegon, yaitu: aksara Jawi untuk merekam bahasa Melayu dan aksara Pegon untuk merekam bahasa Jawa. Saya memasukkan keduanya dalam Pegon Jawi, yang variasinya menggunakan berbagai bahasa lokal masing-masing daerah.

Surat-surat di kraton di Mataram Islam, digunakan menggunakan aksara caraka Jawa, sebagaimana dikaji dan diterjemah oleh S Margana (2010). Sementara babad-babad di lingkungan pewaris kraton Mataram Islam ditulis dengan menggunakan aksara caraka Jawa dan Pegon Jawi. Demikian pula di lingkungan Kraton Cirebon, banyak karya babad, serat, dan wawacan, dengan menggunakan bahasa lokal masing-masing, beraksara Pegon Jawi dan caraka Jawa (dengan aksentuasi lokal masing-masing).

Penggunaan aksara caraka Jawa juga digunakan misalnya, dalam karya Sunan Bonang, Primbon Bonang yang dikaji BJO. Schriecke dalam Het Boek van Bonang (Belanda, 1916: 92-30); juga, sebagian karya Sunan Bonang lainnya menggunakan aksara caraka Jawa; sementara dalam kitab Tafsir Sunan Bonang juz 15-30 menggunakan aksara Pegon Jawi, yang manuskripnya tersimpan di Masjid Agung Demak. Sayang kajian soal Tafsir Sunan Bonang ini, atau tafsir beliau itu belum banyak dilakukan, tetapi kepastian aksara Pegon Jawi telah diketahui dari beberapa lembar tafsir ini yang  ada di masjid Agung Demak ketika dibuka, dan telah banyak di-posting di media sosial.

Penggunaan bahasa Arab dapat diketahui dari khutbah-khutbah Sunan Giri, dan penggunaan Kitaab Sittiin di Kesultanan Demak dan Giri. Kumpulan khutbah-khutbah Sunan Giri di antaranya diterbitkan menjadi Majmu`atu Khutbatil Jum`ah li Sunan Giri bi Masjid Ainul Yaqin (di-tahqiq Fathan Mahmud Bakhri, Jakarta: Kemenag, 2010). Dapat disimpulkan bahwa sebelum penjajahan VOC (diikuti  Inggris dan Hindia Belanda)datang, aksara yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa adalah caraka Jawa dan Pegon Jawi (dan sebagian kecil Arab). Sementara caraka Kawi saat itu hanya tinggal di prasasti-prasasti batu tertulis dan kitab sastra kuno sebelum Islam, seperti dibahas dalam Sastra Jawa Kuno (2012) atau Kalangwan Sastra Jawa Kuno (1983), dan masa itu sudah tidak dipakai lagi.

Politik Aksara dan Bahasa dalam Kolonialisme
Pada masa VOC (1602-1799) penggunaan aksara caraka Jawa dan Pegon Jawi masih terus berjalan di kalangan masyarakat Jawa dengan pusatnya di kraton dan pesantren-pesantren yang ada, tetapi kalangan VOC telah memperkenalkan aksara latin ke dalam lingkup pegawainya, dan terhadap kontrak-kontrak yang dilakukan dengan pihak kraton pribumi. Perjanjian VOC dengan penguasa-penguasa Cirebon pada tahun 1699 adalah contohnya, menggunakan aksara latin. Sementara di lingkungan pesantren-pesantren yang menjadi orbit masyarakat pribumi, tetap menggunakan Pegon Jawi dan sebagian mengakses caraka Jawa. VOC tidak memperluas latinisasi ke dalam dunia pendidikan karena tidak berminat membuat pendidikan untuk kaum pribumi, dan hanya bertujuan mengeksploitasi Nusantara untuk tujuan terbesarnya keuntungan kolonialisme ekonomi-politik.

Latinisasi aksara meluas di bidang pendidikan, seperti disebut Edi S. Ekadjati (dkk.) dalam Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (1988: 49 dan 51), dimulai  sejak Raja Belanda mengeluarkan surat keputusan tahun 1848 untuk membuat sekolah kaum pribumi. Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda akhirnya menjadi agen latinisasi aksara, meskipun sebagian bahasanya tetap menggunakan bahasa daerah di Nusantara. Pendidikan yang dibuat Belanda ini, banyak jenjang dan namanya berbeda-beda, misalnya HIS, HBS, dan lain-lain, yang kemudian menjadi agen dari pemantapan aksara latin dan bahasa Belanda.

Akan tetapi, latinisasi yang paling awal sebenarnya melalui pembuatan kamus-kamus Belanda-Jawa, Belanda-Sunda, dan Belanda-Melayu. Kamus-kamus ini, di antaranya: Frederick de Houtman menulis kamus Melayu-Belanda dan Belanda-Melayu berjudul Spraeckende Woord-boek, Inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Tursche Woorden (1603); Casper Wiltens dan Sabastianus Danckerts menyusun Vocabularium ofte Woordboek near order vanden Alphabet in’t Duytch-Maleysch ende Maleysche-Duytsch (1623); dilanjutkan anonim berjudul Lexicon Javanum (1706) yang terkenal; dilanjutkan A. de Wilde menulis Kamus Sunda-Belanda dan Melayu-Belanda, berjudul Nederduitsch-Maleisch en Sundasch Woordenboek (1841).

Para orientalis yang bekerja untuk penjajah, kemudian menuntaskan dengan menyusun kamus-kamus yang lebih belakangan, seperti: Philiphus Peter Roorda van Eysinga (1845), yang disebut Rob Nieuwenhuys (1979: 45) menulis Kamus Belanda-Melayu setebal 500 halaman, dan didahului pada tahun 1828 menerbitkan tatabahasa Jawa. Kamus-kamus ini diteruskan: Taco Roorda (1847), CF Winter (1858, Javaansche Zamenspraaken), JA Wilkens (1859), Taco Rorda bersama JJ Meinsma (1862), Jonathan Rigg (1862, A Dictionary of The Sunda Language of Java), AC Vreede (1875, Javaansch-Nederduitsch Handwooedenboek), dan THG. Pigeaud (1938, Nederlands-Javaans Handwoordenboek).

Para Orientalis yang bekerja di BG/KBG (Masyarakat Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan) melengkapi politik latinisasi aksara dengan menerbitkan jurnal Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI), yang menurut Rob Nieuwenhuys (1979: 64) didirikan tahun 1838. Pada tahun 1840 mereka menerbitkan almanak (setahun sekali) bernama Lakscmi (tiga tahun), Warnasarie (sejak 1848). Tahun 1852 LJA. Tollens dan WL Ritter menerbitkan majalah Java-Bode (Utusan Jawa), yang terbit 2 kali per minggu, tetapi sejak tanggal  1 Desember 1869 terbit setiap hari, dan  sejak bulan Maret 1942-1949 tidak lagi terbit karena ada penjajahan Jepang. 

Latinisasi aksara yang paling luas selain melalui pendidikan, adalah melalui Institut Budaya Jawa (IBJ) yang diorganisir JFC. Gericke dan para orientalis lainnya (CF Winter, JA Wilkens, dan lain-lain). IBJ berfungsi untuk mendidik para pegawai-birokrat Belanda agar mengenal bahasa Jawa dan kebudayaan pribumi, untuk kepentingan mereka: mendidik pegawai yang loyal, dan memisahkan Jawa dengan Islam. Para Orientalis ini kemudian menyusun banyak karya untuk meletakkan politik pengetahuan tentang Jawa. 

JFC. Gericke misalnya, disebut P.C. Molhuysen dan P.J. Blok (eds.) dalam Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek (jilid I: pada artikel “JFC. Gericke”), menulis cukup banyak  karya, yaitu: Eerste Gronden der Javaansche taal, benevens Javaansch leer-en Leesboek, met eene Woordenlijst (Batavia, 1831); Schoolboekje ten behoeve van de Javaansche jeugd (Haarl. 1839); Javaansche tabellen (Haarlem, z.j. fol.); Leesboek voor de Javanen; Zamengesteld uit stukken des Ouden en Nieuwen Verbonds (Haarleem, 1841); Leesboek ter oefening in de Javaansche taal (Amsterdam, 1843); dan bersama Taco Roorda menerbitkan Javaansch-Nederduitsch Woordenboek (Amsterdam, 1847).

Pada tahun 1800-an mulai muncul percetakan di Jawa dan tumbuh karya-karya sastra yang diterbitkan-ditulis oleh pribumi yang dididik dalam IBJ atau terikat dengan latinisasi aksara, atau lulusan Belanda. Tulisan-tulisan mereka ditulis dalam aksara latin dan membicarakan tentang kebudayaan Jawa dan Sunda. Perluasan latinisasi aksara di masyarakat, menurut J Stroomberg (2015: 89) dilakukan pada tahun 1908, ketika pemerintah kolonial mendirikan Komisi untuk Perpustakaan Populer, dikepalai Penasehat untuk Urusan Pribumi. Tindak lanjut aktivitas ini, pada tanggal 22 September 1917 dibentuk Balai Pustaka yang bergerak di bidang penerbitan dan percetakan di zaman kolonial Belanda (dalam “Pengantar” buku Balai Pustaka 50 Tahun, 1995: 5), dan sebagian para sastrawan pribumi saat itu dibesarkan melalui Balai Pustaka.

Dalam hal politik bahasa-aksara ini, Kees Groeneboer (1999: 34 dst) menyebut bahwa berdasarkan Keputusan Raja tahun 1868 pendidikan pribumi yang dibuat pemerintah Hindia Belanda, akan diberi bahasa daerah, tetapi kalau sarananya tidak memungkinkan akan diberi bahasa Melayu (sebagai bahasa pergaulan masa itu) kecuali untuk wilayah Nias. Sejak 1877-1900 sudah digunakan 13 bahasa daerah, dan tahun 1928 digunakan 24 bahasa, dan tahun 1940 digunakan 30 bahasa daerah, sebagai bahasa pengantar pendidikan. Sementara Bahasa Belanda (dan aksara latinnya) tetap menjadi “bahasa sumber” ilmu pengetahuan Barat ke dalam masyarakat pribumi, karena bahasa daerah dianggap mereka, seperti disebut Kees Groeneboer: “Terlalu miskin dan dianggap kurang cocok untuk pengalihan bahasa pengetahuan ilmiah,” dan ini adalah pandangan bertendensi seorang kolonilais.

Pada saat yang sama, kaum pribumi yang terkesan dengan ilmu Barat dan pendidikan Belanda mulai merasakan keharusan untuk belajar bahasa Belanda, dan akhirnya diberikan pendidikan Belanda untuk sekolah pribumi, dan tentu dengan aksara latinnya. Kongres Pendidikan Kolonial yang diadakan di Den Hag (1916), Batavia (1918), dan Den Hag (1919) memperbincangkan soal bahasa Belanda dan daerah. Kees Groeneboer (1999: 38) menyebutkan bahwa saat itu, justru banyak orang pribumi terdidik (pendidikan barat Belanda maksudnya) saat itu hanya sedikit yang mendukung bahasa daerah. 

Kesimpulan dari Kongres Pendidikan Kolonial justru menyebutkan: “Bahasa Belanda untuk sementara harus menjadi bahasa pengantar pendidikan Barat, tetapi sekaligus harus diperhatikan pendidikan pribumi sehingga lambat laun bahasa-bahasa daerah dapat menggantikan posisi bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar” (Kees Groeneboer, 1999: 41). Salah satu kebutuhan soal bahasa Belanda diberikan di sekolah pribumi adalah disebut: “…kebutuhan akan tenaga kerja berbahasa Belanda di pasar kerja” (Kees Groeneboer, 1999: 141). Jadi, pendidikan Barat dan pemberian bahasa Belanda pribumi, menurut sudut pandang Kolonial tujuannya lebih pada tujuan eksploitasi ekonomi, agar mudah mencari buruh kerja Penjajah Belanda.

Politik aksara-bahasa dengan eksploitasi ekonomi-politik itu, diperkuat dengan kerja-kerja para intelektual dan Orientalis yang menghamba kepada penjajah, khususnya di Jawa. Mereka mulai melihat pentingnya memunculkan bahasa dan kebudayaan Jawa-Sunda (meski tetap dengan aksara latin) untuk mendesak Islam di wilayah kantong-kantong perlawanan anti kolonial. Para Missionaris-lah yang paling getol di awalnya, dan menemukan cara untuk membagi masyarakat Jawa dengan abangan dan putihan, atau santri, pasek, dan priyayi (sebelum ada abangan, santri, dan priyayi dari taksonomi Clifford Geertz), seperti disebut MC. Ricklefs dalam Polarizing Javanese Society (2007).

Para Orientalis yang bekerja kepada Belanda atau di institusi pendidikan mereka, menarasikan pengetahuan melalui karya-karya, dan disusul para pribumi yang dididik dengan bahasa Belanda dan aksara latin, mulai memunculkan narasi-narasi Jawa sebagai suatu kebudayaan tersendiri yang terlepas dari Islam atau memisahkan Islam dari Jawa, dan bahkan sebagian menyerang Islam. Munculnya Serat Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serat Darmagandhul, merupakan manifestasi dari nuansa yang  demikian. 

Sementara sebagian Orientalis lain memperkuat kajian-kajian Jawa untuk menemukan keagungan Jawa sebelum Islam, meskipun terbentur-bentur hanya menemukan sebagian kecil saja: Negarakretagama, Pararaton, prasasti-prasasti, dan sebagian sastra Jawa sebelum Islam. Sementara pemerintah kolonial, mengejar dan menarget masyarakat pesantren  yang dikaitkan dengan perlawanan-perlawanan antikolonial, agar tidak tumbuh, sejak perang-perang anti kolonial zaman Sultan Agung (Mataram) dan Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), dilanjutkan Perang Kedongdong di Cirebon (1802 dan seterusnya), Perang Jawa (1825-1830), Perlawanan Banten (1888), dan perlawanan-perlawanan antikolonial di sejumlah daerah Jawa yang lebih kecil.

Merawat Ketangguhan Pegon Jawi
Menjadi jelas bahwa di tengah penghancuran politik perlawanan anti kolonial yang masif sepanjang sejarah Jawa masa kolonial, pengetahuan kaum pribumi juga dikuasai Belanda dengan memunculkan penerimaan bahasa Belanda dan aksara latin di dunia pendidikan, birokrasi sipil dan militer, pendirian Balai Pustaka, BG/KBG, dan munculnya percetakan-percetakan masa 1800-an. Menghadapi hal demikian, masyarakat pesantren yang luas di Jawa tetap mempertahankan bahasa Pegon Jawi dan caraka Jawa secara bersama, tidak melepaskan Jawa-Sunda dari Islam, atau sebagian hanya mempertahankan Pegon Jawi, karena keadaan-keadaan tertentu. Para mujahid fisik dan pengetahuan yang antikolonial memperkuat pertahanan ini untuk peperangan jangka panjang (dan hanya pertempuran satu front) dilakukan oleh para pejuang di lingkungan kraton dan pesantren.

Mereka yang ada di dalam Kraton, misalnya diwakili dalam sosok Ronggowarsito yang tetap anti kolonial hingga tua, menulis topik-topik Jawa dengan aksara caraka Jawa, tetapi pengetahuannya tetap bersumber dari khazanah tarekat yang berkembang pada masa itu, termasuk menulis Tafsir Al-Quran dalam bercaraka Jawa. Juga sebagian tulisan-tulisan di kraton, yang telah banyak dikatalogisasi kini, tetap ada yang menggunakan Pegon Jawi dan caraka Jawa. Sementara di kalangan masyarakat pesantren, mereka tetap membuat pertahanan tangguh dengan mengembangkan Pegon Jawi. Misalnya, KH. Saleh Darat (1820-1903) putra dari kyai veteran perang Jawa, yang kini karya-karyanya telah ditemukan, banyak menulis dengan aksara Pegon Jawi. Demikian juga kyai-kyai lain dan penerus generasi pesantren, juga menulis dengan Pegon Jawi. Bahkan Pangeran Diponegara, yang dibuang ke luar Jawa, juga menulis dengan aksara Pegon Jawi dalam Babad Diponegoro yang kini telah diterbitkan secara luas.

Seiring dengan meluasnya lapisan kaum pribumi terdidik Belanda, dan pergaulan yang semakin luas di kalangan bangsa-bangsa pribumi terjajah, sebagian elit pribumi telah banyak terserap menerima kebudayaan Belanda dan aksara latin. Sebagian mereka bahkan dengan aksentuasi kuat mencari keagungan Jawa sebelum Islam. Akan tetapi sebagiannya tetap kritis mengembangkan Nasionalisme, Marxisme, Komunisme, Sosialisme, dan terbanyak tetap berpijak pada Islam, untuk kebangkitan bangsa-bangsa Nusantara. 

Di tengah hal-hal seperti itu, sebagian besar masyarakat pesantren dan murid-murid mereka yang dikejar-kejar penjajah karena antikolonial mereka, tetap mengembangkan peradaban Pegon Jawi, meskipun sebagian mereka bisa bahasa Belanda. Bahkan sebagian mereka ada yang sekolah di sekolah-sekolah pribumi dengan pengantara bahasa Belanda, tetapi tetap mengembangkan Pegon Jawi di komunitas pesantren dan di kampung-kampung mereka: menjadi Jawa, Sunda, Madura, Osing, dan lain-lain daerah, sekaligus sebagai Muslim.

Situasi kebahasaan-keaksaraan di tengah politik penjajah yang tidak sederhana itu, mulai mendapatkan katalisasi bentuk penerimaan secara nasional atas anjuran Soewardi Soerjaningrat/Ki Hadar Dewantoro. Pada tahun 1916 beliau membela bahasa Melayu sebagai bahasa untuk seluruh jenjang pendidikan, karena lebih sederhana dan demokratis (Kees Groeneboer, 1999: 43). Tentu saja pandangan Ki Hajar ini tidak menyenangkan bagi mereka yang menginginkan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional pergaulan, tetapi secara politik kebudayaan dan bahasa, saat itu memang guru-guru Jawa telah diambil alih oleh para intelektual Belanda dengan jejak konstruksi IBJ dan Balai Pustaka, kamus-kamus dan tatabahasa Jawa yang disusun para Orientalis Belanda, yang telah berusaha menemukan Jawa lama sebelum Islam dan berusaha meromantisasi keagungan peradaban Jawa sebelum Islam, untuk memisahkan Jawa dan Islam. Mungkin ini juga tidak menyenangkan bagi Ki Hajar, yang juga menjadi murid kiai Tarekat di Prambanan itu.

Akhirnya bahasa Melayu pada tahun 1928 M dalam Kongres Pemuda dijadikan sebagai bahasa pemersatu bangsa-bangsa di Nusantara, dan disebut sebagai bahasa Indonesia, tetapi sekaligus menerima aksara latin dalam berbagai tulisan pergaulan: satu sisi mereka menyatakan lepas dari bahasa Belanda dan bangsa Belanda, tetapi pada sisi lain menerima aksara latin karena aksara ini sudah meluas di kalangan kaum terdidik pendidikan Belanda dan sekolah-sekolah pribumi yang dibuat Belanda. Hal ini diperkuat dengan Proklamasi Indonesia, oleh Bung Karno-Hatta tahun 1945 yang teksnya ditulis dalam kertas beraksara latin dan berbahasa Indonesia. Sampai terbentuknya Negara Indonesia, bahkan bahasa Indonesia dimasukkan ke dalam UU 1945, dan aksara latin diakui secara tidak tertulis secara nasional.

Hanya  saja, aksara Pegon Jawi dan caraka Jawa tetap berkembang di komunitas masing-masing, dan tetap berjalan hingga kini. Masyarakat pesantren tetap merawat dan menjadikannya sarana untuk menggumuli ilmu di pesantren dan merawat nilai-nilainya, tetapi kini juga berdampingan dengan caraka Jawa dan latin. Dalam hal inilah, Pegon Jawi terus dirawat oleh masyarakat pesantren, karena ia menjadi simbol dan nilai dari seorang Jawa Islam (Jawi-Nusantara), kekuatan perlawanan dan kekuatan sinergi dalam sepanjang sejarah bangsa-bangsa Nusantara (pada masa anti kolonial atau setelah kemerdekaan), dan memiliki kekuatan berinteraksi dengan peradaban-peradaban lain. 

Akhirnya, kini kita lihat Pegon Jawi pun tetap mau dan bisa hidup berdampingan di pesantren-pesantren yang ada, dengan tidak mencerabut dasar-dasar dan nilai-nilai keilmuan Pegon Jawi yang bernuansa Islam, dan pada sisi lain tetap menerima secara terbatas aksara latin dan caraka Jawa (dalam kadar yang lain). Dengan kata lain, komunitas masyarakat pesantren itu, kini menggunakan Pegon Jawi di dalam komunitasnya yang menggambarkan nilai-nilai yang dianutnya, meskipun zaman telah berubah. Dan, sementara di tengah masyarakat, mereka menerima interaksi dengan aksara latin dan caraka Jawa; dan sebagian kini bahkan telah menekuni kembali caraka Jawa. 

Orang-orang pesantren dengan Pegon Jawi-nya itu dengan jelas menegaskan bahwa mereka adalah Jawa (juga Sunda, Osing, Madura, dan lain-lain), sekaligus juga Islam, dan Islam juga Jawa, serta Islam dan Jawa adalah masa depan. Tidak lain, masa depan bagi orang pesantren adalah dengan tetap merawat Pegon Jawi, dengan tanpa kehilangan dinamika untuk menggumuli masa depan dan modernitas sekaligus mengerti paradoks-pradoknya, dan tidak terjebak pada sekularisasi dan ektremisme keagamaan, menjadi gerak-nilainya dalam perbuatan. Pegon Jawi berarti mendampingkan Islam dengan tradisi lokal, masa depan, dan kreativitas yang berjalan bersama. []

Nur Khalik Rdiwan menulis beberapa karya tentang Jawa dan Islam.

 

https://www.nu.or.id/opini/politik-aksara-dan-bahasa-dalam-kolonialisme-CBWuq

Author: Zant