KH Abdussalam: Kiai Mandiri dan Pelopor Pesantren Kajen

KH Abdussalam atau Mbah Salam adalah sosok ulama mandiri yang menjadi cikal bakal berdirinya pesantren di Kajen, Pati, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra KH Abdullah bin Ismail dan keturunan KH Ahmad Mutamakkin, seorang wali besar dari Kajen. Nasabnya menghubungkan beliau dengan tokoh besar dalam sejarah keilmuan Islam. Mbah Salam lahir dan wafat di Kajen, meski tanggal lahir dan wafatnya tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan penuturan cucunya, KH Zaky Abdillah, beliau hidup sezaman dengan Kiai Kholil Bangkalan.

Mbah Salam memiliki dua saudara kandung yaitu KH Nawawi dan KH Fadlil. Beliau dikaruniai banyak putra dan putri, putri pertama Nyai A’isyah kemudian KH Mahfudz Salam dan mbah Suja’i. Mbah Suja’i meninggal di usia yang belum menginjak dewasa. Kemudian KH Abdullah Zein Salam, KH Ali Mukhtar Salam, kemudian seorang putri yang meninggal saat usianya empat tahun, dan yang terakhir Nyai Sa’udah. (Buletin Ukhuwwah-HISMAWATI | Edisi XXXV-2021/2022 M. hlm. 53)

Semasa hidupnya, Mbah Salam dikenal sebagai figur yang mendalam dalam ilmu agama dan aktif menyebarkan Islam melalui pengajian di langgar setempat. Pengajian “Kamisan” yang beliau adakan menjadi sarana pembelajaran syariat Islam, meskipun saat itu masyarakat menghadapi tantangan besar akibat penjajahan Belanda. Beliau juga dikenal gigih dalam perjuangan melawan penjajah bersama adiknya, KH Nawawi. Selain itu, beliau memiliki semangat belajar yang tinggi, bahkan menghafal Al-Qur’an di usia yang tidak lagi muda.

Menurut KH Zaky Abdillah, Mbah Salam selain mengajar tentu saja beliau membela negaranya dengan berjuang melawan Belanda. Beliau sebagai otak intelektual dari forum pejuang melawan Belanda. Adapun adiknya KH Nawawi memimpin di garda depan karena darah muda masih mengalir ditubuhnya. Semangat juang beliau membuat Belanda terancam, alhasil beberapa kali beliau dan adiknya ditangkap.

Di usianya yang tidak lagi muda mbah Salam masih memiliki ghirroh untuk memperdalam ilmu agama. Setelah memperdalam ilmu syari’at beliau juga ingin menghafalkan Al-Qur’an. Di Kajen hanya ada satu guru yang hafal Al-Qur’an yakni KH Hasbullah. Beliau adalah seorang guru yang alim sekaligus hafal Al-Qur’an. Cara mengajar beliau terkenal keras, jika beliau mendapati santri yang sulit dalam membaca Al-Qur’an beliau meludahi mulut santri tersebut. (Jamal Ma’mur, dkk. Mempersiapkan Insan Sholih Akrom Potret Sejarah…. hlm. 72) 

Menurut versi lain, akhirnya mbah Salam menghafalkan Al-Qur’an sendiri dan hanya untuk dirinya sendiri, dengan kata lain beliau tidak mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain 

Mbah Salam mendapat julukan “Sarno” dari istri Kiai Nawawi, yang artinya angger pasaran ono (setiap hari rabu dan sabtu pasti ada di pasar). Beliau datang kepasar setiap hari rabu dan sabtu, kebiasaan itu beliau lakukan untuk nderes Al-Qur’an. Tempat yang beliau pilih adalah tempat yang sangat ramai pengunjungnya. Hal itu beliau lakukan agar hafalannya benar-benar lancar. Setelah nderes hafalannya beliau tidak langsung pulang tetapi beliau mampir ke toko untuk membeli permen (mut mutan) dan membagikannya kepada anak-anak kecil dijalan.

Kealiman dan kedalaman ilmu agama Mbah Salam tidak dapat diragukan lagi, sebagaimana terlihat pada kealiman dzurriyah-dzurriyah beliau KH Mahfudz Salam. Menurut KH Zaky Abdillah, KH Mahfudz Salam menghafalkan Al-Qur’an seperti ayahandanya yakni diusia yang tidak lagi muda. Beliau menghafalkan Al-Qur’an disaat beliau mengantarkan adiknya (KH Abdullah Zein Salam) ke pesantren. Hal ini juga dirasakan oleh para murid-murid beliau. Guru yang besar dan alim pasti melahirkan murid yang besar dan alim pula. Selain alim mbah Salam juga merupakan sosok yang mandiri. Sikap kemandirian beliau menjadi cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Kajen.

Inovasi dan Kemandirian Kiai Abdussalam 

Salah satu warisan besar Mbah Salam adalah kontribusinya dalam mendirikan pesantren dan lembaga pendidikan formal di Kajen. Pada tahun 1910, beliau mendirikan Pesantren Mathali’ul Huda yang menjadi pusat penyebaran ilmu agama di Polgarut Selatan. Dua tahun kemudian, pada 1912, beliau mendirikan Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) untuk membentuk kader Islam yang mendalami ilmu agama secara mendalam sekaligus berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Didirikannya sekolah ini bertujuan untuk mempersiapkan kader masa depan Islam yang mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin), baik secara teori maupun praktek, sehingga dapat berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (shalih) dalam semangat ketuhanan yang luhur dan terpuji sebagaimana yang telah dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW(akrom). (Album fatwa mutakhorrijat PIM 2022/2023. hal. 3)

Mbah Salam juga menurunkan semangat kemandirian kepada anak-anaknya, seperti KH Mahfudz Salam, KH Abdullah Zein Salam, dan KH Ali Mukhtar Salam, yang masing-masing mendirikan pesantren-pesantren di sekitar Kajen. Kemandirian dan kealiman mereka menjadi bukti keberhasilan Mbah Salam dalam membangun generasi yang berpegang teguh pada syariat dan semangat inovasi.

Sebelum mendirikan PIM beliau mendirikan pesantren di Polgarut Selatan pada tahun 1910, yaitu Pesantren Mathali’ul Huda (sebut PMH Pusat), yang mulanya tempat tersebut adalah musholla gebyok yang beliau tempati untuk mengajarkan materi agama. Hal ini menjadi cikal-bakal berdirinya pondok-pondok pesantren yang berada di komplek Polgarut melalui putra-putra dan cucu-cucunya. 

Seperti KH Mahfudz Salam pendiri pesantren Maslakul Huda, KH Abdullah Zin Salam pendiri pesantren  Mathali’ul Huda Pusat dan PP. Al-Husna, KH.Ali Mukhtar pendiri pesantren Masyithah, yang mana ketiga-tiganya adalah putra beliau yang menurunkan sikap kemandirian ayahandanya yaitu merintis pondok pesantren dan aktif dalam penyebaran agama Islam, memperjuangkan kemerdekaan dan memberdayakan masyarakat, baik dalam sektor pendidikan maupun ekonomi. Usaha beliau menyebarkan agama Islam di Kajen membuahkan hasil yang dapat dirasakan sampai sekarang. Banyak murid atau santri beliau yang saat ini telah mendirikan pondok pesantren untuk memajukan dan mencerdaskan masyarakat di berbagai penjuru daerah di Indonesia. (Jamal Ma’mur, dkk. Mempersiapkan Insan Sholih Akrom Potret Sejarah…. hlm. 70-71)

Gagasan Mbah Salam tentang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat tetap relevan hingga kini. Prinsip beliau, yakni mempertahankan tradisi yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik (al-muhafadhah ‘ala al-qadim as-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah), menjadi pedoman bagi pesantren-pesantren di era modern untuk terus berinovasi, termasuk dalam pendidikan berbasis digital.

Oleh: Syifa Nur Aulia

https://jateng.nu.or.id/tokoh/kh-abdussalam-kiai-mandiri-dan-pelopor-pesantren-kajen-izNLv

Author: Zant