Dalam konsep spiritualisme Islam, ketaatan kepada Allah swt adalah inti dari tujuan ibadah, sedangkan maksiat adalah tindakan yang mengundang murka-Nya. Namun, dalam perspektif Akhlak Tasawuf, makna ketaatan dan maksiat tidak hanya dilihat dari aspek hukum, tetapi juga dari pengaruhnya terhadap hati dan hubungan seseorang dengan Allah swt. Ulama Tasawuf seperti Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari menekankan dimensi batin dari kedua hal ini. Beliau mengingatkan bahwa ketaatan yang disertai kesombongan dapat lebih merusak dibandingkan maksiat yang diiringi dengan penyesalan dan taubat.
Tasawuf mengajarkan bahwa tujuan utama dari setiap amal, baik berupa ketaatan maupun taubat dari dosa, adalah mendekatkan diri kepada Allah. Dalam perjalanan ini, hati menjadi elemen utama yang diperhatikan. Ketaatan yang melahirkan ujub, yakni rasa bangga terhadap diri sendiri, dapat menjauhkan seseorang dari rahmat Allah swt karena ia lupa bahwa setiap amal adalah hasil dari taufik-Nya. Sebaliknya, dosa yang menyadarkan seseorang akan kelemahannya dan mendorongnya untuk kembali kepada Allah swt dengan rendah hati dapat menjadi jalan menuju kedekatan dengan-Nya. Pendekatan ini menekankan bahwa nilai spiritual suatu perbuatan lebih penting daripada sekadar wujud lahirnya.
Definisi Hikmah
Kata hikmah berasal dari akar kata حكم yang memiliki makna dasar pencegahan. Pengertian pertama darinya adalah hukum, yang berarti mencegah kezaliman. Karena hikmah mencegah kebodohan, itu memiliki makna yang sama dengan hukum. Maka dikatakan, “حكّمت فلانا تحكيما” , yang berarti, “Saya mencegah seseorang dari apa yang dia kehendaki,” dan “حكم فلان في كذا”, yang berarti, “Dia diberi wewenang untuk memutuskan sesuatu.” Namun, seorang hakim adalah orang yang berpengalaman yang dinisbatkan kepada hikmah. Oleh karena itu, hikmah adalah kebalikan dari kebodohan (جهل), yaitu pengetahuan tentang banyak hal, dan pengetahuan tentang Allah adalah yang paling agung.
Manusia diciptakan dengan kemampuan untuk taat maupun melakukan dosa, berbeda dengan malaikat yang hanya diciptakan untuk selalu taat kepada Allah. Dalam pandangan Tasawuf, hal ini menyimpan pelajaran mendalam tentang perjalanan spiritual seorang hamba. Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari, seorang sufi terkemuka, menyampaikan pandangan yang menyeimbangkan antara ketaatan dan dosa. Beliau menekankan bahwa nilai sejati dari ketaatan maupun dosa tidak hanya terletak pada perbuatannya, tetapi pada keadaan hati yang terbentuk setelahnya.
فقد جاء في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم: (والذي نفسي بيده لو لم تذنبوا لذهب الله بكم، وجاء بقوم يذنبون، فيستغفرون الله فيغفر لهم). صحيح الإمام مسلم، كتاب: التوبة، باب: سقوط الذنوب بالاستغفار والتوبة. رقم: 2743، 4/ 106.
Artinya, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian tidak berdosa, niscaya Allah akan menggantikan kalian dengan kaum lain yang berdosa, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Allah akan mengampuni mereka.” (HR. Muslim, Kitab At-Taubah, Bab Keutamaan Istighfar dan Taubat, no. 2743)
Hadis ini mengajarkan bahwa dosa merupakan bagian dari perjalanan spiritual manusia. Yang utama bukanlah terhindar sepenuhnya dari dosa, tetapi bagaimana seseorang merespons setelah melakukannya: apakah mereka menyesal, beristighfar, dan bertaubat kepada Allah. Allah mencintai hamba-Nya yang menyadari kesalahan mereka dan kembali kepada-Nya dengan kerendahan hati.
Pelajaran ini mengingatkan kita untuk selalu berharap pada rahmat Allah swt dan senantiasa introspeksi, baik setelah melakukan ketaatan maupun saat terjatuh dalam dosa. Ibnu ‘Atha’illah menekankan bahwa ketaatan sejati adalah yang membawa rasa rendah hati, kesadaran akan kelemahan diri, dan pengakuan bahwa sebagai hamba, kita tidak pernah sempurna di hadapan Allah swt. Bahkan, para arif menyadari bahwa amal ketaatan mereka belum cukup untuk memenuhi hak penghambaan, sehingga mereka memohon ampun atas amal-amal mereka.
وخير منها، أي: من المعصية التي تورث الانكسار، الطاعة التي تورث الانكسار، فإن العارفين يتبرؤون ويتذللون عند الطاعة أكثر مما يتذلل أهل المعاصي عند المعصية، ويستغفرون الله من تلك الطاعة، لأنهم يرون أنها ليست أهلا لمقام العبودية التي يريدها الحق تعالى من العباد، ولا أدل على ذلك من خَلْق الله تعالى لنوع من الملائكة يسجدون منذ خُلقوا إلى أن تقوم الساعة، فإذا رفعوا من السجود قالوا: سبحانك ما عبدناك حق عبادتك. (أنظر المستدرك على الصحيحين للحاكم، تحقيق مصطفى عبد القادر عطا، دار الكتب العلمية – بيروت ط1/ 1411 – 1990، كتاب: معرفة الصحابة رضي الله عنهم، مناقب أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه. رقم: 4502، 3/ 93.)
Artinya, “Dan yang lebih baik daripada maksiat yang menghasilkan kehancuran hati (rasa rendah diri) adalah ketaatan yang menghasilkan kehancuran hati. Sesungguhnya, orang-orang arif (yang mengenal Allah dengan mendalam) merasa lebih rendah diri dan penuh kehinaan saat melakukan ketaatan dibandingkan dengan kehinaan yang dirasakan oleh para pelaku maksiat. Mereka bahkan memohon ampun kepada Allah atas ketaatan mereka, karena mereka merasa bahwa amal tersebut tidak layak untuk mencerminkan kedudukan penghambaan yang diinginkan oleh Allah Ta‘ala dari para hamba-Nya. Bukti nyata dari hal ini adalah penciptaan suatu kelompok malaikat oleh Allah Ta‘ala, yang sejak diciptakan hingga hari kiamat tidak henti-hentinya bersujud. Namun, ketika mereka bangkit dari sujud, mereka berkata: “Maha Suci Engkau, kami tidak menyembah-Mu sebagaimana mestinya Engkau disembah. ” (Lihat Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain karya Al-Hakim, edisi yang ditahqiq oleh Mustafa Abdul Qadir ‘Atha, penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, cetakan pertama tahun 1411 H/1990 M, Kitab: Ma‘rifat Ash-Shahabah radhiyallahu ‘anhum, Bab: Manakib Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Nomor hadis: 4502, jilid 3 hlm. 93.)
فالعارفون يرون أن الطاعة والمعصية هي حالُ المؤمن، فمرة هو في طاعة ومرة هو في معصية، فمقتضى الحق منه في حال الطاعة شهود المنة، ومقتضى الحق منه في حال المعصية اللجأ والإنابة والاستغفار. (شرح الشيخ زروق على الحكم العطائية، الباب الثاني والعشرون، ص: 188، تحقيق: رمضان بن محمد بن علي البدري، دار الكتب العلمية، بدون طبعة.)
Artinya, Syekh Zarruq di dalam syarah Al-Hikam Al-‘Aṭāiyyah mengatakan bahwa “orang-orang yang arif (mengenal Allah) memandang bahwa ketaatan dan kemaksiatan adalah kondisi seorang mukmin. Terkadang ia dalam ketaatan, dan terkadang dalam kemaksiatan. Maka, yang seharusnya dilakukan dalam keadaan taat adalah menyaksikan karunia (nikmat) Allah, dan yang seharusnya dilakukan dalam keadaan maksiat adalah berlindung kepada Allah, kembali kepada-Nya (bertaubat), dan memohon ampunan.” (Syarah Al-Hikam Al-‘Aṭāiyyah, Syaikh Zarruq . Bab ke-22, hlm. 188, tahqiq Ramadan bin Muhammad bin Ali Al-Badri, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah)
Dalam perjalanan spiritual seorang muslim, baik ketaatan maupun kemaksiatan merupakan bagian dari dinamika kehidupan yang saling melengkapi. Ketaatan membawa seseorang pada kesadaran akan nikmat dan rahmat Allah, sedangkan kemaksiatan menjadi peluang untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya dengan penuh penyesalan. Dalam pandangan Tasawuf, kedua kondisi ini mengajarkan pentingnya menjaga kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Kesadaran spiritual menjadi kunci untuk memahami bahwa setiap perbuatan, baik maupun buruk, terjadi dalam lingkup takdir dan izin Allah. Dalam ketaatan, seorang hamba merasakan anugerah-Nya, sementara dalam kemaksiatan, ia menyadari kesalahannya dan segera kembali kepada-Nya dengan taubat yang ikhlas. Hubungan yang mendalam dengan Allah memungkinkan seseorang melihat segala hal baik maupun buruk sebagai jalan untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.
Melalui taubat dan rasa syukur, seorang muslim dapat mencapai kemurnian hati dan kedekatan dengan Allah, melampaui sekadar aspek lahiriah. Baik ketaatan maupun kemaksiatan, jika disikapi dengan kesadaran mendalam dan dipahami sebagai bagian dari ujian Allah, dapat menjadi jalan untuk meraih maqam yang lebih tinggi dalam perjalanan spiritual seorang hamba.
https://jateng.nu.or.id/keislaman/hikmah-di-balik-ketaatan-dan-maksiat-dalam-tasawuf-PX6fF