Oleh Ilham Abdul Jabar
Waktu saya mengisi materi tentang hukum Islam di Mapaba PMII Kampus STISIP Kota Tasikmalaya, sedikit saya paparkan empat pilar hukum Islam yang lahir dari penafsiran Surat An-Nisa Ayat 59.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Mayoritas ulama usul fiqih sepakat bahwa ayat ini memerintahkan umat Muslim agar menaati putusan hukum secara hirarki agar tercipta kemaslahatan umum.
1. Ta’at kepada Allah = Al Qur’an
2. Ta’at kepada Rasullullah = Sunnah
3. Ta’at kepada Ulul Amri = Ijma’ (shohabat)
4. Jika berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasulnya = Qiyas (Ulama Mujtahid)
Ini adalah urutan hukum islam dari yang tertinggi hingga pilihan terakhir. Artinya, selama ada dalil secara eksplisit dalam Al Qur’an atau Sunnah, maka tidak diperkenankan mengambil hukumnya dari Ijma’.
Setelah pemaparan ini, saya mencoba menganalisis paradigma peserta, apa mindset-nya sudah sesuai faham Ahlussunnah wal Jama’ah atau kah belum.
Satu pertanyaan saya lontarkan. “Misalkan, anda menemukan Hadits Rasul ataupun ayat Al Qur’an di media sosial beserta terjemahnya yang bertentangan dengan pendapat para Ajengan dan Kiai kalian, apa yang akan kalian pegang ? Pendapat Kiai atau Al Qur’an dan Hadits yang kalian temukan?”
Serentak dengan hati yang mantap, mereka memilih berpegang teguh kepada Al Qur’an atau Sunnah. Dengan alasan karena itu hukum Islam tertinggi.
Ternyata tebakan saya tidak meleset, pola pikir seperti ini sangat rentan terpapar faham ekstrimis dan tekstualis. sebab, latar belakang lahirnya faham gerakan ekstrimis di tubuh islam ini, berawal dari mindset yang salah mengenai hukum islam.
Dengan cara membalikkan pertanyaan, saya rubah dan perbaiki mindset mereka. “Jika kalian menemukan Ayat Al Qur’an atau Hadits Rasul beserta terjemahnya di Medsos, supaya kalian faham makna sebenarnya, akan bertanya apa percaya saja dengan terjemahan tersebut ?”
Tak ku sangka mereka merubah jawabannya, serempak mereka menjawab “Ya tanya sama kiai lah a,” tanya saya. “Apa alasan mu mau tanya sama kiai?” Salah satu dari mereka menjawab “Ilmu kami masih kurang untuk bisa memahami arti yang sebenarnya.” Mereka tidak sadar otaknya sedang saya cuci.. ha.. ha… ha..
Pertanyaan pamungkas pun saya keluarkan, “Kalau kalian percaya bahwa Kiai lebih faham isi kandungan Al-Quran dan Hadits, kenapa kamu tadi memilih hadits terjemahan daripada pendapat Kiai ?”. Mereka pun terdiam sebentar mengerutkan dahi… satu persatu ketawa sendiri, hingga ruangannya riuh dengan tawaan tanda mereka faham…
Penulis adalah Pengajar Kelas Mahasiswa Pondok Pesantren Al Hikmah Mugarsari Kota Tasikmalaya
https://jabar.nu.or.id/opini/kesalahpahaman-memahami-hukum-islam-yvBVJ