Kewajiban bagi wanita yang tengah menjalani masa iddah wafat di antaranya adalah berdiam diri di rumah selama 4 bulan 10 hari. Selama masa penantian tersebut, janda yang ditinggal mati suami dilarang keluar rumah kecuali dalam kondisi darurat atau hajat.
Problematika muncul ketika ada seorang janda yang tengah menjalani masa iddah ditinggal mati oleh ibunda tercinta. Di satu sisi ia mesti menjalankan kewajibannya menetap di rumah. Di sisi lain, ia merasakan gejolak hati yang sangat dalam akibat ditinggal sang ibu untuk selama-lamanya. Belum lagi ada potensi ia dicap sebagai anak durhaka bila tidak hadir ke rumah duka. Bagaimana hukum keluar rumah untuk melayat jenazah ibu bagi wanita yang tengah menjalani masa iddah?
Berikut ini Keputusan Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP) ke-37 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur, pada 13-14 Safar 1444 H/10-11 September 2022 M tentang Batasan Hajat yang Membolehkan Wanita Keluar Rumah pada Masa Iddah.
Deskripsi Masalah
Fatma baru saja ditinggal wafat oleh suaminya beberapa hari yang lalu. Belum kering air mata yang mengiringi kepergian suami tercinta, beberapa hari kemudian hantaman duka kembali menerpa dikala sang ibunda juga tutup usia. Di tengah badai duka yang menerpa, kini Fatma dihadapkan pada sebuah dilema antara menetap di rumah suami karena tuntutan iddah wafat, atau pulang ke rumah orang tuanya untuk melayat, berhubung jarak antara kediaman suaminya dan rumah orang tuanya yang tidak bisa dikatakan dekat.
Dalam kasus lain, Zahra, santri yang menjadi janda muda yang masih cantik jelita juga mengalami kondisi yang hampir mirip dengan Fatma. Zahra yang baru ditinggal mati suaminya dipaksa pulang oleh orang tuanya yang sedang kritis. Dia memaklumi hal ini, karena orang tuanya memang tidak terlalu lama mengenyam pendidikan agama. Padahal pada saat yang sama dia juga masih menjalani masa iddah, sedangkan dalam kitab Kifayatul Akhyar (juz I halaman 434) terdapat ibarat sebagai berikut:
ولا تعذر في الخروج لأغراض تعد من الزيادات دون الأمور المهمات كالزيارة والعمارة واستنماء المال بالتجارة وتعجيل حجة الإسلام وزيارة بيت المقدس وقبور الصالحين ونحو ذلك فهي عاصية بذلك والله أعلم
Pertimbangan: Jika Fatma dan Zahra tidak pulang, khawatir akan dicap sebagai anak durhaka oleh orang-orang yang tidak memahami posisinya berkaitan dengan kewajiban iddah.
Pertanyaan
- Mempertimbangkan posisi Fatma, bolehkah dia pulang ke rumah orangtuanya untuk melayat sang ibu yang sudah wafat?
- Apakah kekhawatiran mendapat stigma negatif dapat memberikan dispensasi bagi wanita iddah untuk pindah lokasi iddah?
Jawaban a
Menurut madzhab Syafi’i, Fatma tidak diperbolehkan keluar rumah melayat ibunya kecuali memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Kegelisahan yang timbul harus nyata/muhaqqaq (benar-benar terjadi).
- Hadir di rumah duka merupakan satu-satunya cara menghibur diri untuk menghilangkan kegelisahan.
- Durasi keluar/ melayat disesuaikan dengan hajat menghilangkan kegelisahan.
- Wajib kembali di malam hari.
- Jarak rumah duka masih dalam kategori dekat.
- Tidak ada keluarga atau tetangga Fatma yang menghiburnya sebagai pelipur lara atas wafatnya sang ibu.
Catatan:
- Stigma negatif sebagai anak durhaka bila tidak melayat bukan termasuk hajat yang memperbolehkan Fatma keluar rumah. Kecuali stigma negatif tersebut menyebabkan kegelisahan di dalam dirinya.
- Menurut madzhab Maliki, dalam hal ini Fatma diperbolehkan keluar rumah untuk melayat ibunya tanpa harus mempertimbangkan syarat di atas, kecuali satu, yakni dia harus kembali ke rumah di malam hari.
Jawaban b
Tidak termasuk (hal yang memberikan dispensasi bagi wanita untuk pindah lokasi iddah).
Demikian Keputusan Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se-Jawa Madura (FMPP) ke-37 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur, pada 13-14 Safar 1444 H/10-11 September 2022 M tentang Batasan Hajat yang Membolehkan Wanita Keluar Rumah pada Masa Iddah. Referensi yang menjadi rujukan pembahasan adalah At-Tausyikh ‘ala Ibni Qasim, halaman 228; Tuhfatul Muhtaj, juz VIII halaman 261; Hasyiyatul Kharasyi, juz V halaman 141; dan selainnya.
Hadir sebagai Musahih dalam pembahasan Komisi C: K Ma’shum, K Suhairi, K Zahro Wardi, K M Su’ud; K Hadziqun Nuha, KH M Ridlwan Qayyum Said, dan K Masruchan. Bertindak sebagai Perumus dalam pembahasan Komisi C: KH M Hizbulloh al-Haq, K Arif Ridlwan Akbar Imam, K Fadil Khozin, K Lutfi Hakim, K A Yazid Fattah, K Mohammad Mubasysyarum Bih Ridlwan, SH, K. M. Bagus Aminulloh, K A Thohar dan K Alif Saifuddin. (MMB).
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.