Jakarta, NU Online
Ketua Panitia Nasional Halaqah Fiqih Peradaban KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mengatakan bahwa salah satu tujuan dari diselenggarakannya Halaqah Fiqih Peradaban di 250 titik pesantren se-Indonesia adalah untuk melakukan kontekstualisasi kitab kuning.
“Kita tidak meninggalkan tradisi kitab kuning, tetapi kita membuat kitab kuning ini kontekstual dengan keadaan sekarang. Itu tujuan dari Halaqah Fiqih Peradaban,” ungkap Gus Ulil dalam Halaqah Fiqih Peradaban di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Sabtu (17/9/2022) kemarin.
Dikatakan Gus Ulil, sejarah panjang Nahdlatul Ulama telah melahirkan peradaban pengetahuan berupa kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren. Kitab ini disebut kitab kuning karena warna kertasnya kuning sehingga tidak menyilaukan mata.
NU saat ini punya tradisi kitab kuning yang sangat kaya, termasuk kitab kuning bidang fiqih siyasah. Hanya saja, fiqih yang dipelajari di pesantren-pesantren saat ini ditulis pada ratusan tahun lalu. Peradaban pada saat kitab-kitab kuning itu ditulis sudah jauh berbeda dengan sekarang.
Gus Ulil menyebutkan, salah satu ciri dari peradaban negara zaman dulu adalah negara atau wilayah kerajaan tidak mengenal batas. Batasnya itu bisa meluas dan menyempit, tergantung dari kekuatan pasukan militer yang dimiliki. Apabila suatu negara punya militer kuat, maka akan mencaplok negara lain. Kalau lemah, akan dicaplok.
Gus Ulil mengatakan bahwa di dalam fiqih-fiqih terdahulu terdapat bab jihad yang bermakna perang. Syekh Nawawi Al-Bantani, misalnya, menulis kitab Nihayatuz Zain sebagai syarah atau penjelasan terhadap kitab fiqih mazhab Syafi’i yang ditulis Zainuddin Al-Malibari yaitu Qurratul ‘Ain. Kitab Qurratul ‘Ain juga disyarahi sendiri oleh Imam Al-Malibari menjadi Fathul Muin. Di kitab tersebut, ada bab tentang jihad.
“Di bab kitabul jihad ada keterangan bahwa wajib atau fardhu kifayah setiap tahun minimal jihad sekali. Jihad di sini bermakna perang. Fardhu kifayah, kalau tidak ada satupun orang yang melaksanakan jihad selama satu tahun, kita semua berdosa. Karena setahu saya setahun ini belum ada jihad. Dosa semua kita,” ungkap Gus Ulil.
“Kenapa ulama kita begitu ajarannya? Karena zaman dulu negara tidak ada batasnya. Kalau tidak ada jihad, kita akan dicaplok negara lain. Jadi jihad itu wajib setiap tahun, karena untuk mempertahankan negara,” imbuhnya.
Syekh Nawawi Al-Bantani mengatakan, lanjut Gus Ulil, cara jihad yang harus wajib dilakukan itu adalah dengan mengirim pasukan untuk datang ke perbatasan-perbatasan negara. Sebab di situlah terdapat kemungkinan akan ada invasi dari negara lain.
“Setiap tahun harus jihad. Karena konteksnya pada saat itu belum ada negara bangsa, PBB (Persekutuan Bangsa-Bangsa) yang melindungi batas-batas negara. Makanya fiqih kita mengatakan, jihad wajib selama setahun dan hukumnya fardhu kifayah,” tutur Ketua Lakpesdam PBNU itu.
Bahaya membaca fiqih tanpa tahu konteks
Menurut Gus Ulil, apabila ajaran-ajaran atau doktrin jihad yang terdapat dalam kitab fiqih terdahulu itu dibaca tanpa memahami konteksnya maka akan menjadi sangat bahaya. Dengan kata lain, umat Islam akan berangkat jihad selama satu tahun sekali demi melaksanakan perintah anjuran yang terdapat dalam kitab fiqih yang ditulis pada zaman sebelum ada negara-bangsa.
Gus Ulil kemudian menjelaskan alasan santri tidak pernah jihad dalam makna perang fisik, meskipun kewajiban itu terdapat di dalam kitab Fathul Muin yang dinyatakan bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah dan harus dilakukan satu kali dalam setahun.
Begitu pula alasan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang tidak pernah mengajak santri dan para kiai untuk berjihad setiap waktu. Semasa hidupnya, Mbah Hasyim hanya sekali mengajak jihad, yakni pada saat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
Jihad yang dilakukan Mbah Hasyim itu pun karena ada pihak lain yang menyerang. Akan tetapi, jika di dalam situasi normal maka Pendiri NU itu tidak pernah meminta para santri dan kiai untuk jihad atau berperang secara fisik. Sebab Mbah Hasyim dan para kiai NU tahu bahwa membaca fiqih yang terdapat di kitab kuning perlu melihat konteks sejarah peradabannya.
“Ini (Kontekstualisasi kitab kuning) yang akan kita lakukan melalui Halaqah Fiqih Peradaban ini. Gus Yahya ingin kita kalau baca fiqih harus sadar konteksnya. Karena kalau tidak sadar, itu fiqih yang semula ajaran kebaikan, bisa menjadikan alasan untuk melakukan kekacauan,” pungkasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.