Seorang suami hendaknya berhati-hati menjaga perkataan kepada istri. Bisa jadi, perkataan yang semula diniatkan senda gurau atau menggoda, jika tidak tepat malah menjadi sebab percekcokan, atau lebih parahnya perceraian tak lagi bisa dihindari. Akhirnya hanya menyisakan penyesalan, penderitaan, dan kebingungan.
Alkisah, Isa bin Musa al-Hasyimi (104-167 H), cucu keempat Abdullah bin Abbas yang sangat mencintai istrinya. Suatu ketika ia berkata kepada istri:
“Kamu tertalak tiga, jika kamu tidak lebih indah dari rembulan untukku.”
“Kamu telah menceraiku,” respons Si Istri sambil bangkit beranjak pergi.
Kejadian itu membuat Isa tak bisa tidur semalam suntuk. Pagi pun tiba, ia berjalan bergegas menuju rumah Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (94-158 H), khalifah kedua dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Sesampai di sana, dengan penuh kecemasan dan kegundahan, ia ceritakan kejadian yang tengah dialaminya dan yang sangat membuatnya galau.
Tak berselang lama, Al-Mansur menghadirkan para ahli fiqih dan meminta fatwa kepada mereka atas kejadian yang dialami Isa, kandidat suksesor kedua dinasti Abbasiyah setelah Al-Mahdi, putra Al-Manshur sendiri.
Setelah menelaah dan menganalisa secara seksama kasus yang terjadi, seluruh fuqaha yang hadir serentak memfatwakan bahwa Si Istri telah tertalak lantaran ucapan Isa, kecuali seorang ulama bermazhab Hanafi yang masih memilih diam.
“Kenapa engkau terdiam tanpa kata?” tanya Al-Manshur.
Ulama tersebut menimpalinya dengan membacakan surat At-Tin ayat 1-4:
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1) وَطُورِ سِينِينَ (2) وَهذَا الْبَلَدِ الْأَمِين (3) لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)
Artinya, “(1) Demi buah tin dan buah zaitun; (2) demi Gunung Sinai; dan negeri (Makkah) yang aman ini. (4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
“Wahai Amirul Mukminin, manusia adalah makhluk paling indah tak ada satupun yang melebihinya,” lanjut ulama mazhab Hanafi menjelaskan.
Al-Manshur pun menerima pendapat ulama itu, kemudian berkata memastikan hukumnya kepada Isa bin Musa:
“Hukum sesungguhnya adalah seperti yang dikatakan ulama itu. Kembalilah kepada istrimu.”
Kemudian Abu Ja’far Al-Manshur mengirimkan surat nasehat untuk istri Isa, “Taatilah suamimu dan jangan engkau mendurhakainya. Suamimu tidak menceraikanmu.”
Kisah tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang paling baik, luar dan dalamnya; elok penampilannya, mengagumkan susunan kepala beserta isinya, dada dengan apa yang dikumpulkannya, perut dengan apa yang terkumpul di dalamnya, kelamin atau farji dan apa yang tersembunyikan di baliknya, kedua tangan dan apa yang dipukulnya, kedua kaki dan apa yang yang dipikulnya.
Saking mengagumkannya, begitu baik dan sempurna penciptaan manusia, para filsuf berkata:
إِنَّهُ الْعَالَمُ الْأَصْغَرُ، إِذْ كُلُّ مَا فِي الْمَخْلُوقَاتِ جُمِعَ فِيهِ
Artinya, “Sesungguhnya manusia ibarat alam kecil, karena dalam diri manusia terkumpul segala sesuatu yang ada pada seluruh mahluk.” Wallahu a’lam. (Syamsudin al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Mesir, Darul Kutub al-Mishriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 114).
Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.