Sabar tanpa Batas

Cerpen Muhammad Azhar Aufaqut Tijany

“Hei, Watu Kali, sini! Ngopi!” teriak seorang lelaki yang sedang duduk bersantai di pelataran gazebo bersama rekan-rekannya. Sontak ketika lelaki itu menyebut “Watu Kali”, manusia-manusia di sebelahnya cekikikan mengejek.

Laki-laki yang dipanggil “Watu Kali” berperawakan gempal nan hitam legam itu menoleh, tersenyum kecut. Kemudian melangkah mendekat ke segerombol orang itu. Ia sudah terbiasa dihina dan dicela oleh teman-temanya karena ‘warna’ kulitnya. Terlebih lagi rambutnya botak plontos membikin seseorang yang melihatnya ingin tergelak.

“Mau ke mana? Mutar-muter saja kau ini. Lungguh kene (duduk sini).” Lelaki itu menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Apakah pantat kau ada durinya? Heh?”

Watu Kali tertawa getir, menyesap kopi, menyambar rokok lantas menyalakan korek api, “Tidak ke mana-mana, hanya ingin jalan-jalan.” Ia duduk di sebelah lelaki itu. Lalu mencopot songkok hitam yang dikenakannya.

“Pffftt….” Seketika orang-orang menutup mulutnya—menahan tawa—tak kuat melihat kepala Watu Kali tatkaka sinar mentari siang menyiram. Cling—bagai ada bintang yang berpendar-pendar mengerubuti.

Watu Kali—bernama asli Alfaina—meladeni seloroh rekannya itu, malah menggosok-gosok botaknya. Terkekeh kecil. Seakan-akan hatinya terbuat dari baja dan telinganya terbuat dari dinding kedap suara—tahan cemoohan. 

Tetapi, bukankah tidak ada yang tahu gejolak nurani seseorang bagaimana? Kadang, di balik tawa seseorang, ada sepercik api yang tercekat dalam kerongkongan. Dikunci rapat-rapat di antara deru jantung. Entah sampai kapan gembok itu bertahan. 

Mereka lanjut berbincang-bincang hangat, ngalor-ngidul. Lagi-lagi Alfaina hanya menganggap mereka bercanda ketika dirinya dijadikan ‘bahan’. 

Mungkin, apabila aku—sebagai seseorang yang menuliskannya—tak akan bisa tegar dan kokoh ketika berada di posisinya. 

*

 

“Apakah kesabaran itu ada jendelanya, Zaighun?” 

Gazebo berdinding anyaman itu lengang sejenak, menyisakan jam dinding yang berdetak, tepat di atas rak kitab dan buku-buku. Kepulan asap memenuhi gazebo. Zaighun tersenyum takzim, entah apa yang ada di pikiran Alfaina. “Jendela? Kesabaran tidak bertempat di dalam ruangan, Alfaina. Tidak ada jendela. Kesabaran itu terletak di samudera yang terbentang luas, bahkan garis horizon cakrawala tak dapat membendung dan membatasi.” Zaighun menyesap rokok sesaat, “Kenapa kau bertanya seperti itu, Alfaina?”

Alfaina menunduk, menatap kosong kopi hitam pekat yang masih mengepul. Kedua bola matanya berkaca-kaca. “Dari kecil, mungkin bahkan dari lahir aku sudah dihina, Zaighun,” Alfaina terisak pelan, “warna kulitku yang—”

Alfaina terdiam, bibirnya bergetar resah, tak kuat. Air mata tiba-tiba mengalir di permukaan epidermisnya. “Ada yang memanggilku dengan “Kecap Bango”, “Afrika Nugini”, bahkan sekarang di pondok ini, mereka menyebutku “Watu Kali”. Memang benar di depan mereka aku terlihat “baik-baik saja”. Namun, setiap malam, saat akan tidur, aku selalu menangis. Mencaci-maki, merutuki, mengumpati diriku sendiri. Akankah kesabaran ini bisa runtuh? Aku takut bila kesabaran ini runtuh akan menyakiti hati mereka.” 

Zaighun menghela napas panjang, kedua bola mata hazel-nya menutup sejenak, ia tak kuasa jika bulir bening di sudut matanya juga harus menetes. Kini, palung sukmanya seakan dirobek-robek. Syukur menggema dalam sudut-sudut belantara sanubarinya.

Hening sesaat, tiba-tiba dalam kepalanya seolah ada setitik cahaya. Tangan kanannya mengambil secangkir kopi hitam pekat yang sudah mendingin di depannya itu, lantas tangan kirinya menyambar gelas berisi air mineral yang tersisa setengah.

Zaighun menyodorkan cangkir kopi lebih dekat pada Alfaina, “Kau tahu ini apa?”

“Kopi,” jawab Alfaina pendek. Isaknya sudah mereda. 

“Kalau ini?” Zaighun balik menyodorkan gelas yang ada di tangan kirinya.

“Air putih,” sergah Alfaina lagi.

Dengan cepat Zaighun berbinar, menumpahkan sedikit kopi ke dalam gelas berisi air mineral. “Kenapa air ini menghitam, padahal hanya sedikit kopi yang kutuangkan?” 

 

Jeda dua detik, Alfaina mengernyit, menautkan kedua alisnya. 

 

“Tidak usah dijawab terlebih dahulu, ikut aku sekarang!” Zaighun beranjak, meletakkan gelas air mineral, hanya membawa secangkir kopi.

Alfaina mengangguk pasrah, mengekori dari belakang—masih menampakkan raut muka keheranan. 

 

Mereka berdua berjalan ke belakang pondok, sekitar dua ratus meter. Berhenti tepat di pinggir kolam bundar—cekungan kecil—berdiameter dua puluh. Kolam itu dikelilingi oleh persawahan hijau yang terbentang luas. Jingga-kemerahan semburat di kaki barat—seolah melambaikan perpisahan. Burung-burung kecil terbang rendah muncul-sembunyi di antara padi-padi.

Zaighun dan Alfaina berdiri berjejer, sama-sama memandangi air kolam.

Pyorrr. Semua kopi yang berada dalam cangkir ditumpahkan Zaighun, “Kenapa kolam ini tidak menghitam?” 

“Mana mungkin bisa hitam, kolam ini terlalu luas dibandingkan kopi itu.” 

“Lantas kenapa air putih dalam gelas tadi menghitam?” Zaighun melengkungkan bibir.

“Kan—”

 

“Tidak usah dijawab,” potong Zaighun. “Sepekat, sehitam, dan sekental apa pun secangkir kopi ini.” Zaighun mengangkat cangkir yang sudah kosong, “Maka tak ada artinya jika ditumpahkan dalam kolam seluas ini, Alfaina….”

“Kau tak bisa mengendalikan ucapan, perspektif, dan perilaku orang terhadapmu. Maka hanya dengan membentangkan hatimu seluas-luasnya kau bisa menerima semua itu. Ibaratkan jika hatimu selebar kolam ini—bukan sesempit gelas tadi—maka bukankah secangkir kopi tak akan pernah bisa mencemari? Apalagi mengotori?” Zaighun tersenyum takzim.

Muhammad Azhar Aufaqut Tijany, Ketua Literasi Pondok Assalam Fathul Ulum Kwagean dan penulis aktif di malam hari.
 

Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

https://www.nu.or.id/cerpen/sabar-tanpa-batas-OVO0d

Author: Zant