Tasawuf amali melahirkan anak kandung yang bernama tarekat. Secara harfiah, tarekat berarti ‘cara’, ‘jalan’, atau ‘metode’, guna mencapai tujuan bertasawuf, yakni meraih kesucian jiwa, kedekatan diri dengan Sang Pencipta dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap keadaan. Tasawuf amali bersifat praktis, aplikatif, dan berorientasi kuat pada amaliah.
Sebagai metode khusus yang dipakai seorang penempuh laku spiritual (salik) menuju Allah, tarekat memiliki tujuh komponen utama, seagaimana yang diungkap oleh Prof. Asep Usman Ismail, Guru Besar Tasawuf UIN Jakarta. Ketujuh komponen tersebut adalah:
Mursyid
Secara bahasa, mursyid berarti ‘pembimbing’, ‘pemandu’, atau ‘guru’. Dalam tarekat, mursyid adalah dokter ruhani yang mengenal berbagai penyakit kalbu, memiliki kemampuan untuk mengobati dan memperbaikinya menjadi lebih sempurna.
Lebih popularnya, mursyid adalah guru tarekat atau pembimbing spiritual yang sering disebut dengan syaikh, murad, atau pir. Peranannya sangat penting, bahkan mutlak dalam tarekat. Sebab, menurut Abu Yazid al-Busthami, seorang ulama tasawuf (wafat 874 M),
من لم يكن له أستاذ فإمامه الشيطان
Artinya, “Siapa saja yang tidak memiliki guru, maka imamnya adalah setan.”
Dalam Tafsir Ruhul-Bayan, karya Ismail Haqqi al-Hanafi, disebutkan:
من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان
Artinya, “Siapa saja yang tidak memiliki syaikh (mursyid), maka syaikhnya adalah setan.”
Jika ulama fiqih, tafsir, dan hadis sebagai pewaris Nabi saw. yang mengajarkan ilmu zahir, maka mursyid adalah pewaris Nabi saw. yang mengajarkan penghayatan agama yang bersifat batin. Oleh karena itu, kriteria syaikh atau mursyid tentunya harus menguasai ilmu syariat dan ilmu hakikat secara mendalam dan lengkap. Pemikiran, perkataan, dan tingkah lakunya harus mencerminkan budi pekerti yang luhur.
Murid
Istilah murid berasal dari isim fail kata arada, yang berarti seorang yang berkehendak atau menginginkan sesuatu. Dalam tasawuf, para penempuh jalan ruhani adalah murid, yakni orang yang menghendaki perjumpaan dengan Allah melalui ibadah, riyadhah, mujahadah, dan munajat, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya, “Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya hendaklah melakukan amal saleh dan tidak menjadikan apa dan siapa pun sebagai sekutu dalam beribadah kepada Tuhannya,” (QS. al-Kahfi [18]: 110).
Dalam tarekat, meski seseorang sudah berada dalam posisi mursyid, pada hakikatnya tetaplah ia seorang murid, artinya seorang penempuh ruhani yang menghendaki perjumpaan dengan Allah. Karenanya, mursyid bersama-sama murid berusaha membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela agar bisa merasakan bagaimana persahabatan dengan-Nya, mencintai dan dicintai-Nya, meridhai dan diridhai-Nya.
Jika seorang mursyid saja masih berstatus murid, bagaimana dengan keadaan murid yang masih mencari jalan dan cara guna memperbaiki kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada Allah? Tentu ia harus menyadari jati dirinya serta berupaya lebih keras lagi demi mencapai tingkatan yang tertinggi, yakni makrifat kepada Allah.
Baiat
Secara bahasa, baiat adalah transaksi atau janji setia antara dua pihak. Di tengah masyaraat Islam klasik pra-Islam, baiat juga merupakan pranata sosial. Biasanya terjadi di antara anggota suku dengan kepala suku sebagai bentuk penguhuhan kepemimpinan untuk dipatuhi dan ditaati perintahnya.
Dalam Islam, pelaksanaan baiat menggambarkan tradisi saling menumpuk tangan yang mengakar dalam budaya Arab sebelum Islam, sebagaimana yang tercermin dalam ayat:
إِنَّ الَّذِينَ يُبايِعُونَكَ إِنَّما يُبايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّما يَنْكُثُ عَلى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفى بِما عاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad), (pada hakikatnya) mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Oleh sebab itu, siapa yang melanggar janji (setia itu), maka sesungguhnya (akibat buruk dari) pelanggaran itu hanya akan menimpa dirinya sendiri. Siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan menganugerahinya pahala yang besar,” (QS. al-Fath [48]: 10).
Dalam tarekat, baiat merupakan kontrak belajar antara murid dengan mursyid. Murid berjanji terhadap dirinya untuk mengamalkan ajaran yang diajarkan guru dengan sebaik-baiknya. Namun, janji itu pada hakikatnya adalah janji kepada Allah, bukan kepada mursyid, sebagaimana para sahabat berjanji kepada Rasulullah saw. Karena itu, seorang calon pengamal tarekat disyaratkan harus berbaiat atau ikrar setia di hadapan mursyid bahwa dirinya akan mengamalkan segala bentuk tuntunan dan amalan yang diajarkan.
Selanjutnya, dalam tarekat juga dikenal dengan dua bentuk baiat, yakni baiat shuwariyah dan baiat ma’nawiyah. Baiat pertama adalah baiat calon pengamal tarekat dalam mengakui bahwa mursyid yang membaiatnya adalah gurunya, tempat ia berkonsultasi tentang beragai masalah ruhani. Di sisi lain, sang mursyid juga mengakui bahwa orang tersebut adalah muridnya. Pada baiat ini, seorang pengamal tidak perlu meninggalkan keluarganya untuk bersuluk dan berzikir bersama guru. Ia tetap tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan sehari-hari sesuai dengan profesinya. Adapun wirid atau amalan dikerjakan pada waktu tertentu sesuai dengan petunjuk mursyid.
Semantara baiat kedua adalah baiat calon pengamal tarekat dalam rangka mengakui dan menyatakan bahwa dirinya bersedia dididik dan dilatih menjadi murid tarekat serta mengikuti pendidikan serta pelatihan ruhani sesuai bimbingan sang murysid. Murid yang menyatakan baiat demikian sebaiknya sesekali meluangkan waktu, bahkan meninggalkan keluarga dan pekerjaan keduniaan guna mengikuti suluk, khalwat (menyendiri), uzlah (menjauh dari keramaian), atau riyadhah di zawiyah (tempat khusus) atau berupa surau, sesuai dengan petunjuk mursyid.
Setelah baiat itulah seorang murid ditangani dan dibimbing oleh mursyid untuk dibukakan kalbunya yang semula tertutup oleh noda, kotoran dosa-dosa, dan perangai tercela. Kemudian, hatinya diisi dengan berbagai muatan positif, sifat-sifat terpuji, termasuk ilmu-ilmu ruhani yang mengantarkannya kepada Sang Pencipta. Tujuannya agar jaringan kalbu sang murid selalu terhubung dengan Allah sehingga bisa merasakan kesadaran, kedekatan, dan kehadiran-Nya Nya.
Silsilah
Secara bahasa, silsilah adalah mata rantai yang menghubungkan butiran-butiran anak rantai sehingga membentuk satu kesatuan. Dalam tarekat, silsilah ialah mata rantai yang menghubungkan kesinambungan ruhani di antara mursyid yang satu dengan mursyid sebelumnya hingga sampai kepada Rasulullah saw.
Silsilah dalam tarekat sama dengan sanad dalam hadis. Sebuah hadis dikatakan sahih, apabila sanad hadis itu tersambung kepada Rasulullah saw. Demikian juga sebuah tarekat dinamakan mu’tabarah, salah satu kriterianya apabila tarekat tersebut memiliki silsilah yang berkesinambungan hingga Rasulullah saw. Jadi, fungsi silsilah dalam tarekat sama dengan fungsi sanad dalam hadis, yakmi untuk menjaga dan membuktikan keotentikan amaliah tarekat. Sebuah tarekat yang tidak memiliki sisilah yang benar, maka tarekat tersebut disebut tarekat tidak absah, ghair mu’tabarah, dan tidak mendapat legitimasi dari Rasulullah saw.
Wirid
Istilah wirid merupakan kosa kata dari bahasa Arab. Berasal dari kata warada, yang berarti datang berulang-ulang. Jadi, wirid secara bahasa adalah sesuatu yang rutin dan dilakukan berulang-ulang. Sementara menurut istilah wirid adalah zikir, bacaan, amalan, yang dilakukan secara rutin. Setiap tarekat memiliki ragam wirid dan ketentuannya masing-masing. Biasanya ada zikir harian, mingguan, dan bulanan.
Dasar amaliah wirid sendiri dapat ditemui langsung dalam sejumlah ayat Al-Quran, di antaranya:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram,” (QS. ar-Ra’d [13]: 28).
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Artinya, “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku,” (QS. al-Baqarah [2]: 152).
Tempat
Dalam sejarah perkembangan tasawuf dan tarekat, dikenal berbagai istilah yang mengacu kepada tempat pendidikan dan pelatihan rohani. Ada yang mengistilahkannya sebagai zawiyah, yang secara harfiah berarti ‘pojok’. Penamaan ini ada hubungannya dengan cikal bakal kehidupan tasawuf dalam Islam, yakni para sahabat yang menempati salah satu pojok masjid Nabawi di Madinah. Mereka dikenal sebagai Ahlus-Shuffah.
Ada pula yang menyebut ribath, yang secara harfiah berarti tempat mengikat. Para sufi menempati ribath seakan-akan sedang mengikatkan jiwanya agar tidak liar, tetap jinak dan berserah kepada Allah. Dalam perkembangannya, majelis tempat para salik mengamalkan suluk, zikir, khalwat, dan berbagai wirid tarekat dinamakan dengan surau, sebagaimana yang akrab di kalangan tarekat Naqasyabandiyah al-Khalidiyah yang ada korelasinya dengan kebudayaan Melayu yang menjadi basis kultural mursyid tarekat ini.
Ada lagi yang mengistilahkan tempat pelatihan ruhani para murid dan syaikhnya sebagai pondok. Di sana mereka berkumpul guna mengadakan kegiatan-kegiatan keruhanian dan latihan-latihan spiritual. Dalam istilah lain, pondok juga merupakan nama lain dari pesantren.
Adab
Adab adalah etika hubungan salik dengan syaikh atau gurunya. Menurut Ibnu ‘Arabi, seorang salik di hadapan gurunya harus bersikap bagaikan mayat yang berada di tangan orang yang memandikannya. Selain itu, salah satu adab salik kepada guru adalah tidak boleh berburuk sangka. Tidak boleh duduk di tempat yang biasa dipakai oleh guru. Tidak boleh memakai barang yang biasa dipakai oleh gurunya. Ia harus turut dan patuh terhadap perintah guru. Dan masih banyak lagi adab dan akhlak lainnya.
Penghormatan dan ketaatan seorang murid kepada syekh terekat merupakan komponen penting dalam tarekat. Bahkan, menurut Ibnu Arabi, seorang salik yang tidak hormat dan tidak taat terhadap guru, maka rusaklah adabnya kepada Rasulullah saw. Sebab, syekh adalah wakil Rasulullah saw. dalam kepemimpinan rohani sampai ke hadirat Allah.
Walhasil, dalam tarekat apa pun, para salik harus menjaga adab kepada guru yang membimbing mereka. Mereka dianjurkan tidak banyak berdiskusi, menyanggah, atau mempertanyakan pesan-pesan guru. Hal itu dimaksudkan agar sang salik senantiasa mendapat rida dan berkah dalam rangka meningkatkan maqam atau kedudukannya. Karena limpahan berkah terjadi atas izin Allah yang hanya dikaruniakan kepada murid yang taat dan khidmah kepada gurunya. (Lihat: Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, 2012 (Jakarta: Transpustaka), hal. 144-160).
Demikian tujuh komponen utama tarekat yang diungkap dalam tulisan ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam.
Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/kenali-7-komponen-utama-tarekat-qJo25