Sebelum ajaran Islam datang, yang ditandai dengan diutusnya Nabi Muhammad saw kemudian meneriman Al-Qur’an sebagai mukjizat sekaligus pedoman dalam menjalankan syariat-syariat Islam, jauh sebelum itu sudah ada tiga kitab samawi yang Allah turunkan kepada para nabi sebelum Rasulullah.
Pada masa diutusnya Nabi Musa as, Allah memberinya kitab suci Taurat untuk dijadikan pedoman dan sumber hidayah bagi kaumnya. Kitab ini menjadi satu-satunya referensi pada masa itu yang terus dibaca dan dipedomani. Ini terus berlanjut hingga sampai pada masa Nabi Daud as. Sebab, pada masa itu, Allah memberinya kitab suci Zabur, yang tujuannya tidak jauh berbeda dengan kitab yang diterima Nabi Musa.
Kitab Zabur juga menjadi satu-satunya referensi yang memiliki otoritas mutlak untuk dijadikan pedoman hingga datangnya Nabi Isa as. Pada masa kenabian Isa, Allah memberinya kitab suci Injil yang tujuannya juga sama dengan dua kitab sebelumnya, yaitu sebagai pedoman dalam beragama dan sumber hidayah.
Tiga kitab suci di atas terus dijadikan pegangan oleh para pengikutnya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, tidak sedikit dari mereka yang berani memodifikasi tiga kitab suci ini hanya untuk kepentingan duniawi saja, sebagaimana firman Allah swt, yaitu:
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
Artinya, “Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tanga mereka (sendiri), kemudian berkata, ‘Ini dari Allah,’ (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (QS Al-Baqarah [2]: 79).
Menurut Syekh Wahbah bin Musṭafa az-Zuhaili, ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa mengubah kitab-kitab suci (Taurat, Zabur, Injil) sangat haram. Selain itu, ayat ini juga mengisahkan ulama-ulama Yahudi pada masa Nabi Musa yang berani merubah kitab Taurat. Misalnya, yang awalnya haram dirubah menjadi halal, yang halal menjadi haram. Hal ini mereka lakukan tidak lain selain untuk kepentingan duniawi saja. (Syekh Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Aqidati was Syari’ati wal Aqidati wal Manhaji, [Damaskus, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua: 1418 H), juz I, halaman 201).
Dengan inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa Nabi Muhammad melarang untuk langsung meriwayatkan kisah (riwayat israiliyat), yang diceritakan oleh ahli kitab, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:
لا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلا تُكَذِّبُوهُمْ وَ: قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا
Artinya, “Janganlah kalian membenarkan ahli kitab, dan jangan (pula) kalian menyalahkan mereka. Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.’” (HR Abu Hurairah).
Hadits di atas menjadi sebuah representasi mutlak untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam menceritakan kisah para nabi sebelum Nabi Muhammad. Selain itu, hadits ini untuk menjadi alternatif agar terhindar dari kesalahan riwayat, bahwa jalan terbaiknya adalah tidak berkomentar tentang kisah-kisah yang disampaikan ahli kitab, memilih diam dan mengatakan bahwa kita hanya iman kepada Allah dan apa yang turun dari-Nya.
Selain penjelasan di atas, penting bagi penulis untuk menjelaskan tentang beberapa sebab yang melatar belakangi masuknya riwayat tersebut dalam diskursus kajian ilmu tafsir, agar kita tahu awal mula kisah-kisah tersebut.
Munculnya Kisah Israiliyat
Imam Allamah Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad yang kemudian lebih populer (popular) dengan sebutan Imam Ibnu Khaldun (wafat 808 H), dalam kitab muqaddimahnya menjelaskan bahwa penyebab itu tidak lain karena Al-Qur’an diturunkan kepada suku Arab padang pasir yang mayoritas penduduknya bukan ahli membaca dan menulis.
Sementara Al-Qur’an sebagai kitab samawi terakhir, yang mengisahkan kehidupan para nabi dan umat terdahulu melalui lisan Rasulullah yang mulia. Hanya saja, Al-Qur’an tidak menyebutkan kisah mereka dengan terperinci dan mendetail. Misalnya, keberadaan surga, jenis pohon yang buahnya tidak boleh dimakan Nabi Adam dan Siti Hawa, kisah-kisah yang ada dalam Kitab Taurat, serta kisah para nabi sebelum Nabi Muhammad.
Menurut Imam Ibnu Khaldun, keadaan seperti itu secara alami membuat para sahabat, misalnya Ibnu Abbas dan Abu Hurairah memiliki keinginan yang sangat tinggi untuk tahu lebih mendalam tentang kisah-kisah yang diceritakan dalam Al-Qur’an tentang israiliyat tersebut. Dan, yang menjadi sasaran pertanyaan para sahabat saat itu adalah orang-orang ahlu kitab yang saat itu belum masuk Islam, misalnya Abdullah bin Salam, Ka’bul Akhbar, dan Wahab bin Munabbih.
Kendati pun cerita itu dari orang-orang yang mulanya menjadi ahlu kitab, para sahabat tidak langsung menerima kisah-kisah da nisi Kitab Taurat yang mereka sampaikan. Bahkan, para sahabat tidak segan-segan menegur mereka ketika tidak sesuai dengan hadits Rasulullah kemudian menjelaskan yang benar, seperti yang dilakukan oleh sahabat Abu Hurairah kepada Ka’b al-Akhbar dan Abdullah bin Salam.
Hal ini para sahabat lakukan tidak lain selain bentuk kehati-hatian mereka dalam menerima kabar-kabar umat terdahulu, sebagaimana hadits riwayat Abu Hurairah di atas, bahwa Nabi Muhammad tidak sepenuhnya membenarkan tidak pula menolak secara keseluruhan. Kisah-kisah yang sesuai dengan wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah mereka terima dan tidak ditolak sedikit pun, begitu juga kisah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Rasulullah mereka tolak.
Sedangkan alasan tidak langsung membenarkan adalah khawatir apa yang mereka sampaikan merupakan kisah-kisah yang sudah terdistorsi, begitu juga tidak langsung menolak karena bisa saja ada kemungkinan kisah itu masih utuh dan benar. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, [Damaskus, Dar Ya’rab, cetakan keempat belas: 2004, tahqiq: Syekh Abdullah Muhammad], juz I, halaman 490, dan Syekh Abul Hasan al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, 4/427).
Demikian riwayat perihal awal mula tersebarnya kisah-kisah israiliyat. Secara umum, kisah ini sebenarnya sahih dan benar sesuai dengan apa yang terjadi pada masa dahulu, akan tetapi, peradaban yang terus berkembang, dengan asimilasi yang semakin plural, kisah ini terdistori dengan beragam alasan dan keperluan ahli kitab, baik secara personal maupun internal. Dengan keperluan itu, mereka berani mengubah beberapa kisah yang mereka dapati.
Dengan alasan inilah, Rasulullah dan para sahabat tidak langsung membenarkan apa yang mereka sampaikan. Beberapa kisah dan riwayat dari mereka menjadi kajian yang intens di antara para sahabat saat itu. Wallahu A’lam bisshawab.
Ustadż Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/kisah-israiliyat-sejarah-dan-kemunculannya-ii-oeSXZ