Riwayat Perjuangan Abah Ruhiat Cipasung

Oleh KH Abun Bunyamin Ruhiat

KH Ruhiat bin Abdul Gafur, semasa hidupnya biasa disapa Abah Ruhiat, lahir pada 11 November 1911. Setelah mengaji ke berbagai pesantren, ia mendirikan Pesantren Cipasung pada akhir tahun 1931. Ia menjadi pengasuh utama Cipasung sampai pada hari wafatnya tanggal 28 November 1977 (17 Dzulhijah 1397 H). Dalam waktu 46 tahun tersebut tidaklah sedikit suka duka yang beliau alami dalam membina pesantren ini terutama dalam masa Penjajahan Belanda dan Jepang, juga setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya.

 

Masa Penjajahan Belanda
Pondok Pesantren yang didirikan pada akhir tahun 1931, dalam keadaan negara masih di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Tidaklah mengherankan apabila keadaan masa itu banyak sekali halangan dan rintangan yang dihadapi, baik dari sisi keadaan masyarakat sendiri yang masih kurang dalam memahami ajaran agama maupun gangguan dari pihak Belanda, yang menyebabkan beliau harus mengalami keluar masuk penjara.

 

Namun, beliau dengan penuh kesabaran dan ketekunan disertai penuh tawakal kepada Allah, terus istiqamah membina pesantren, dengan ikhlas memberikan pendidikan dan pengajaran kepada santrinya siang  dan malam tanpa mengenal lelah. Di samping membina masyarakat di sekitarnya dengan menyelenggarakan majelis taklim bagi kaum ibu serta kaum bapak yang berupa pengajian mingguan dan bulanan, ada pula pengajian khusus para alim ulama dan alumni yang diadakan setiap hari Kamis.

 

Pada mulanya santri yang menetap di Pondok Pesantren ini berjumlah kurang lebih 40 orang yang sebagian besar adalah mereka yang ikut dari Pesantren Cilenga, tempat beliau mondok. Tak sedikit santri yang mengikuti pengajiannya di malam hari saja, sedangkan di siang harinya mereka kembali ke rumahnya masing-masing, mereka itu adalah para santri yang berasal dari sekitar komplek Pesantren Cipasung.

Sebagai Pembinaan agama terhadap anak-anak usia muda, pada tahun 1935 didirikan Sekolah Agama (Madrasah Diniyah). sekolah inilah yang pertama kali didirikan di Pondok Pesantren Cipasung.

 

Mengingat telah banyak santri yang dewasa, untuk mencetak kader-kader mubaligh Islam, pada tahun 1937 didirikan Kursus Kader Mubaligin wal Musyawwirin (KKMN), sebagai suatu arena latihan berpidato dan bermusyawarah yang diadakan setiap malam Kamis.

 

Dan melihat kuatnya aqidah serta jiwa patriotisme yang dilahirkan dari pesantren, Belanda menaruh curiga dan beranggapan bahwa pesantren membahayakan kedudukan mereka. Hal ini dapat dibuktikan, tidak sedikit para kiai dan para dai di tangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Pada tahun 1941, KH Ruhiat beserta KH Zainal Musthafa ditangkap dan dipenjarakan di Sukamiskin selama 53 hari. Sselama itu pengajian diwakilkan kepada KH Saepulmillah dan Ajengan Abdul Jabar.

 

Baru beberapa bulan saja dikeluarkan dari penjara Sukamiskin, tepatnya pada tanggal 6 Maret 1942, beliau bersama puluhan kiai lainnya ditangkap lagi dan dipenjarakan di Ciamis. Namun berkat pertolongan Allah SWT, pada tanggal 9 Maret 1942 Belanda dapat dipukul mundur oleh Jepang. Abah Ruhiat bersama kiai lainnya dibebaskan kembali setelah menjalani hukuman penjara selama 3 hari. 

 

Masa Penjajahan Jepang
Pada masa ini pendidikan di Pondok Pesantren Cipasung dapat dikatakan melangkah lebih maju, yaitu dengan diizinkannya para santri putri mengikuti pengajian kitab besar bersama santri putra. Sebelumnya santri putri hanya mengikuti pengajian kitab-kitab menengah seperti Alfiyyah, Fathul Mu’in, dan lain sebagainya. Yang menjadi angkatan pelopornya adalah Ibu Hj. Sua, yang berasal dari Cilampung Leuwisari. Beliau kemudian menjadi pengajar tetap di Cipasung.

 

Dengan mulai adanya para santri putri dewasa, tahun 1943 didirikan Kursus Kader Mubalighah, sebagai arena latihan berpidato khusus bagi santri putri. Tidaklah sedikit hasil yang telah dicapai, namun tak sedikit pula gangguan serta rintangan yang menimpa Abah Ruhiat dalam tugas agama dan negara ini. Peristiwa sejarah pemberontakan Sukamanah pada tahun 1944 yang dipimpin oleh KH Zainal Musthapa, berimbas juga ke Cipasung. KH Ruhiat beserta kiai-kiai lainnya dianggap tersangkut peristiwa tersebut ditangkap dan dipenjarakan di Tasikmalaya selama 2 bulan. Selama beliau ditahan, pengajian pesantren dibadali oleh H. Bahrum dan KH Saepulmillah.

 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Dengan diproklamasikannya kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti tidak ada lagi negara asing yang menjajah tanah air kita. Sejak itu bangsa Indonesia mulai membangun negaranya dalam berbagai bidang. Setiap komponen bangsa ikut mempertahankan serta mengisi kemerdekaan yang telah dicapai.

Demikian pula halnya KH Ruhiat yang terjun dalam dunia pendidikan pesantren. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan ini, beliau dapat mengembangkan pesantren yang diasuhnya baik dalam pendidikan agama atau pendidikan umum. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya beberapa lembaga pendidikan sekolah di Pesantren Cipasung.

 

Meskipun negara kita terlepas dari genggaman penjajah, namun ketika itu keadaan negara masih belum stabil terutama dengan datangnya kembali Belanda ke negara kita pada aksi militer I dan II. Keadaan ini berpengaruh pula terhadap penyelenggaraan pendidikan pondok-pondok pesantren. Peristiwa yang paling mengerikan menimpa diri KH Ruhiat adalah pada tahun 1949, waktu beliau sedang melakukan sembahyang ashar bersama tiga orang santrinya. Sejumlah tentara  Belanda berusaha membunuhnya dengan melepaskan tembakan ke arahnya. Namun berkat pertolongan Allah SWT, tembakan tersebut meleset dan hanya mengenai para orang santrinya yaitu: Abdul Rojak dari Tawang Banteng dan Mamun dari Rancapaku, keduanya gugur sebagai syuhada. Sementara santri yang satu lagi bernama Aen, mendapat cedera pada kepalanya. Selain itu ada pula santri lainnya yang tertembak ketika mereka berada di depan asrama, yaitu Abdul Alim yang gugur Zainal Mutaqin yang terkena peluru pada bagian punggungnya. Sedangkan KH Ruhiat ditangkap dan dipenjarakan di Tasikmalaya selama 9 bulan. 

Beliau baru dibebaskan kembali setelah pengakuan kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949. Selama beliau ditahan, pengajian pesantren dipegang oleh Ajengan Moh. Ilyas Ruhiat.

Dengan beraneka ragam ujian serta catatan pahit perjuangan yang dialami itu, beliau tetap istiqamah dan penuh tawakal kepada Allah. Dengan sikap teguh itu, pesantren pun tidak terseret gelombang zaman apalagi hanyut tenggelam ditelan pancaroba zaman. Kondisi itu justru menjadi cambuk untuk lebih suburnya pertumbuhan perkembangan Pesantren Cipasung. 

 

Sejumlah lembaga pendidikan sekolah didirikan Pesantren Cipasung setelah Indonesia merdeka. Pada tahun 1949, didirikan Sekolah Pendidikan Islam (SPI). Di sekolah ini, selain pendidikan agama diberikan pula pengetahuan umum. Lima tahun kemudian, pada tahun 1953, sekolah ini berubah nama menjadi Sekolah Menengah Islam Pertama (SMPI) dan mendapat status diakui pada tahun 1985 dengan nomor: 802 / 102 / Kep / I / 1985. Lalu pada tahun 1994 mendapat status disamakan. 

Pada akhir tahun 1953 didirikan Sekolah Rendah Islam (SRI) dan selanjutnya berubah menjadi Madrash Wajib Belajar (MWB), dan sekarang menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sebagai kelanjutan dari MI dan SMPI, pada tahun 1959 didirikan pula sekolah Menengah Atas Islam (SMAI). Cita-cita beliau untuk lebih jauh mengembangkan pesantren yang diasuhnya, tidak hanya berhenti sampai di situ. Beliau ingin pula membuka jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan didirikannya sebuah perguruan tinggi Islam, yaitu 5 hari sebelum meletusnya G 30 S PKI. Pada tanggal 25 September 1965, terbentuklah Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam Cipasung. Pada 1969 mendapat status diakui dengan surat keputusan Mentri Agama No. 7 1969, lalu statusnya meningkat menjadi disamakan. 

 

Pada tahun 1969 didirikan pula Sekolah Persiapan IAIN yang kemudian pada tahun 1978 berubah menjadi Madrasah Aliyah Negri (MAN). Pada tahun 1970 didirikan pula Fakultas Ushuluddin Filial Cipasung. Akan tetapi dengan adanya pemusatan induknya, maka fakultas ini hanya berjalan dua tahun saja. Pada tahun 1992, didirikan pula Madrasah Tsanawiyah Cipasung (MTS). Semua lembaga pendidikan tersebut berada di bawah koordinasi Yayasan Pesantren Cipasung dengan Akte Notaris Yayasan Nomor 11 tahun 1967.

 

KH Ruhiat tidak hanya aktif di dunia pesantren saja, namun beliau aktif pula dalam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kedudukan yang pernah beliau duduki ialah Rais Syuriah NU Tasikmalaya, Syuriyah NU Jawa Barat, dan A’wan PBNU.

 

Dengan tersedianya berbagai pendidikan di pesantren ini, maka kian hari semakin bertambah pula para santri yang berdatangan dari berbagai pelosok tanah air, khususnya daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hal ini membuktikan bahwa Pesantren Cipasung diperlukan keberadaannya yang harus dipertahankan kelestariannya, terutama dalam mencetak kader ulama intelek dan intelek ulama.

 

Di tengah berbagai kesibukan mengembangkan pesantren, ketika para santri dan umat masih memerlukan bimbingannya, KH Ruhiat dipanggil menghadap Ilahi. Tepatnya pada hari Senin, 17 Dzulhijjah 1397 H, bertepatan dengan tanggal 28 November 1977, jam 13.00. Beliau wafat di Rumah Sakit Hasan Sadikit Bandung, setelah mendapat perawatan dokter selama 8 hari. Beliau meninggalkan dua orang istri dan 19 anak (sembilan putra dan 10 putri). Sebagai penerus pengasuh pesantren, estafet kemudian beralih kepada KH Moh. Ilyas Ruhiat. 

Penulis adalah Pengasuh Pesantren Cipasung. Artikel ini disunting dari catatan KH Abun Bunyamin, Mei 1995.

https://jabar.nu.or.id/tokoh/riwayat-perjuangan-abah-ruhiat-cipasung-OnaUc

Author: Zant