Magelang, NU Online Jateng
Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh yang didaulat Katib Aam Syuriyah PBNU untuk membuka halaqah tersebut menyampaikan, dengan halaqah fiqih peradaban kita diminta untuk kembali berpikir, tidak semata dalam rutinitas aktivitas keseharian dalam mengajar.
“Fiqih tidak dapat dilepaskan dari tauhid dan tasawuf. Misalnya tentang tasamuh, meskipun rumusan fiqih-nya dapat dijumpai, namun hal ini terkait dengan tauhid dan tasawuf. “Dalam fiqih banyak aqwal atau beberapa pendapat, kita memilih pendapat salah satu dari Imam madzhab yang ada,” ujarnya.
Kiai Ubaidullah menyampaikan hal itu pada halaqah fiqih peradaban yang dihelat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Pesantren Raudlout Thulab, Tempuran, Kabupaten Magelang, Sabtu (19/11/2022).
Disampaikan, para fuqaha waktu itu dalam menulis kitab-kitab fiqih dalam suasana kekhalifahan, tidak dalam situasi nation state yang ada seperti sekarang. Misalnya tentang tasamuh dan tawasuth tidak bisa dimaknai dengan toleransi atau moderasi, namun terkait dengan madzmun yang ada.
“Karenanya memahami istilah-istilah kontemporer yang ada harus hati-hati. PBNU tidak mengajak untuk melakukan ijtihad melainkan menerapkan konsep yang ada agar dapat diterapkan secara bijak. Tentang masalah minoritas, kita juga perlu memperhatikan saudara-saudara muslim yang masih minoritas di daerah lainnya. Bagaimana pun memahami fiqih harus secara utuh,” tegasnya.
Moderator halaqah, Katib Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Magelang KH Labib Asrori menjelaskan, halaqah fiqih peradaban ini merupakan ikhtiar besar oleh PBNU guna mewujudkan amanat merawat jagat membangun peradaban.
“Dalam halaqah ini khusus membahas fiqih siyasah memperlakukan kelompok minoritas dengan Nara sumber Ketua Lakpesdam PBNU KH Ulil Abshar Abdalla, Katib PBNU KH Aunullah A Habib dan KH Afifuddin Dimyati.Tentang minoritas, bukan saja dalam konteks agama, namun juga dalam konteks politik dan ekonomi,” ucapnya.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdata Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menjelaskan, mengapa fiqih peradaban ini diselenggarakan PBNU? Menurutnya dalam sejarah pemikiran Islam, istilah peradaban dalam pengertian al-musamma belum ada, namun dalam istilah al-ismu, sudah ada seperti pemikiran Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam karyanya mukadimah Ibn Khaldun.
“Kitab ini pertama yang membahas peradaban dengan istilah al-umran al-bashari. Juga istilah al-insan madaniyyun bi al-tab. Jadi ada tiga istilah peradaban, yakni insan madaniyyun, al-umran al-bashari, dan hadharah,” jelasnya.
Disampaikan, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan tabiat tertentu yang membutuhkan makanan. Manusia diberikan fitrah untuk mencari makanan. Hanya saja kalau manusia hidup sendirian tidak bisa memenuhi kebutuhan makanannya, karena itu ia hidup bersama.
“Ibnu Khaldun menulis mukaddimah dalam lima ratus halaman. Ada bab, yang menjelaskan, jika suatu masyarakat yang lemah cenderung mengikuti masyarakat yang peradabannya sudah maju. Demikian pula tentang bahasa, masyarakat yang lemah peradabannya menggunakan bahasa masyarakat yang peradabannya sudah maju,” terangnya.
Dikatakan, ulama waktu itu belajar dengan rihlah ilmiah tanpa ada paspor dan visa. Maka ulama dari Nusantara ini dahulu disebut al-Jawi. Misalnya Syekh Abdurrauf assinkili, Syekh Mahfudz Atturmusi, Syekh Annawawi al-Bantani.
“Dunia waktu itu belum tersekat-sekat negara bangsa. Ini merupakan geografi lama. Beda dengan saat ini. Karena itu ulama kita waktu itu memiliki jaringan luas, menguasai banyak bahasa dan kealimannya standar internasional,” ungkapnya.
Setelah muncul negara bangsa lanjutnya, sekarang terlihat adanya keterbatasan-keterbatasan secara geografis. “Tentang minoritas atau aqaliyah, dahulu masih diberikan identitas atau tanda tertentu,” terang menantu Gus Mus ini.
Pihaknya mencontohkan, pada era Imam Nawawi al-Bantani masih hidup dalam kekhalifahan Turki Usmani, namun pada era Mbah Kiai Hasyim Asy’ari sudah memulai mewacanakan negara bangsa. Setelah itu, Mbah Kiai Sahal Mahfudh menyadari teks fiqih lama yang perlu direkontekstualisasi pada kehidupan sekarang.
Katib PBNU KH Afifuddin Dimyati menyoroti tentang ukhuwah insaniyah. Menurutnya, semua umat bersatu dalam semangat kemanusiaan. “Semua manusia yang tersebar dalam lima benua ini adalah dari asal yang sama, keturunan Nabi Adam as. Kita, bapaknya adalah satu. Ada prinsip kesamaan, keadilan, mahabbah atau kasih sayang,” jelasnya.
Dirinya menyebutkan, Nabi Ibrahim as kepada ayahnya mengucapkan assalamu alaika. “Tidak ada pertentangan antara ukhuwah imaniyah dengan ukhuwah insaniyah. Jika ada pertentangan, ukhuwah insaniyah tidak boleh dikesampingkan,” tegasnya.
Artinya sambung Kiai Afifuddin, dalam mu’amalah siapa yang membawa kebenaran, dia lah yang diikuti. “Jadi ada asas keadilan dan kasih sayang,” bebernya.
Katib PBNU KH Aunullah A Habib memberikan motivasi kepada audiens, buat apa punya lambang bola dunia jika kita tidak bisa keliling dunia untuk menyebarkan kedamaian? Ia mengutip pesan Mbah Kiai Maimoen Zubair ‘sudah saatnya NU menduniakan Pancasila dan bhinneka tunggal Ika’.
Sebab menurutnya, dalan sejarah minoritas masih menjadi warga negara kelas dua. Karenanya konflik ekonomi, politik, bisa menjadi konflik agama. “Apa sumbangsih kita dalam menciptakan tata dunia baru yang berkeadilan dan rahmah? mari kita mencari solusi terbaik,” pungkasnya.
Turut hadir dalam acara tersebut Ketua PWNU Jateng HM Muzamil, Wakil Ketua PWNU KH Mahsun Mahfudz, Rais PCNU Kabupaten Magelang KH Thoha Mansur, Rais PCNU Kabupaten Temanggung KH Ya’kub Mubarok, Ketua PCNU Kabupaten Magelang KH Ahmad Izzuddin Abdurrahman, Ketua PCNU Kabupaten Temanggung KH Muhammad Furqon, dan para Kiai Pengasuh Pesantren di Magelang.
Pengirim: Insan Al-Huda