Menziarahi Almagfurlah Kiai Abun Bunyamin Ruhiat (II)

Pesan – Pesan KH A Bunyamin Ruhiat
Yang menyatukan kita saat ini adalah hati nurani” kata Bapak, siang itu, Sabtu, 14 Juli 2018.

Dengan nada bicara yang datar dan sejuk beliau kemudian melanjutkan mauizhah hasanahnya, “Kalau niat dan panggilan hati untuk silaturahmi sudah kuat, maka segala halangan dan rintangan bisa dilalui. Tak peduli isi dompet lagi shahih, hasan, atau dhaif yang penting bisa hadir” kelakar Bapak dengan lengkungan senyumnya yang khas yang kemudian disambut gemuruh dan gelak tawa para santri dan alumni. 

Siang itu saya dan para alumni seperti dipertemukan kembali dalam suatu pengajian saat dulu mondok di Cipasung. Hampir satu jam lamanya Kiai memberikan nasihat dan wejangan yang tentu saja menjadi obat kerinduan dan penyejuk jiwa kami. Beliau tak henti-henti membanjiri hati dan jiwa kami yang rindu guyuran nasihatnya. 

Di mana pun kalian berada tetaplah bekerja dengan sungguh-sungguh. Apapun profesi dan pekerjaannya, lakukanlah dengan memberikan yang terbaik karena nanti pekerjaanmu akan dilihat oleh Allah, rasul, dan orang-orang mukmin” sambung Bapak.

Sesaat kemuadian beliau membacakan Q.S. At-Taubah ayat 105:

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan,”.

Kami, para alumni hanya bisa tertegun dan khusyu mendengar nasihatnya. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta menjadi penunjuk arah kehidupan, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya. Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Bapak senantiasa memiliki pemikiran yang jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya.

Beliau juga menegaskan tentang pentingnya menjaga sikap profesionalisme dan etos kerja kepada santri dan alumni. Santri dan alumni Cipasung tak dituntut untuk menjadi kiai dan ustadz semua, mereka diberikan kebebasan memilih profesi apa saja sesuai dengan kapasitasnya, tapi yang terpenting menjadi [si]apa pun itu jadilah manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Menjadi Kiai, ustadz, Birokrat, Politisi, Pengusaha, dan lainnya merupakan jalan hidup yang sudah digariskan Tuhan, lakukanlah dengan niat, tekad dan kinerja yang baik.

Asal jangan jadi KADIT saja. Ya, KADIT (Kaditu Kadieu) tanpa tujuan pasti,” gurau Bapak dengan melempar senyum kepada para alumni. Kami pun sontak tertawa ceria sambil memandang wajah teman-teman yang lama hilang dari peredaran.

Di ujung taushiyahnya kala itu beliau menyampaikan amanat tentang pentingnya merawat dan menjaga “Rumah Cipasung”. Cipasung adalah rumah kita, demikian kita sering mengucapkannya dalam setiap acara silaturahmi dan reuni. Kesadaran akan pentingnya merawat rumah Cipasung tentu menjadi modal berharga bagi kami dan para alumni lain untuk senantiasa menjaga nama baik dan nama besar Cipasung. “Rumah Kita” dengan segala kebesaran dan reputasinya perlu dirawat dan dijaga dengan sebaiknya agar setiap penghuni dapat merasa nyaman dan betah. Merasakan cahaya kedamaian yang terpancar dari pemilik rumah. 

Cara merawatnya tentu saja beragam sesuai dengan maqamnya. Seperti halnya merawat rumah kita sendiri, kita menatanya dari berbagai sudut; interior dan eksterior, luar dan dalam. Demikian pula menjaga nama baik Cipasung dengan terus menumbuhkan rasa mencintai, takzhim dari dalam diri para alumni seraya terus menyebarkan kebaiknnya ke khalayak luar, ke seluruh lapisan masyarakat. Saya kemudian teringat pesan Alm. KH. Moh. Ilyas Ruhiat setiap kali memberikan amanat kepada santri saat acara perpisahan, “Jagalah nama baik Cipasung. Jika ada kekurangan, silakan beri tahu kami. Jika ada kebaikan silakan beri tahu orang lain.” Kalimat itu selalu terngiang di benak saya dan mungkin para alumni yang lain yang menjadi pelecut semangat untuk mencintai Cipasung tanpa lelah. Tanpa syarat.

Demikianlah sebagian pesan-pesan beliau kepada kami para santri dan alumni. Karena sebenarnya setiap yang beliau sampaikan, ajarkan, dan contohkan baik di kelas maupun di kehidupan sehari-hari di pesantren merupakan pesan-pesan yang sejatinya bisa kami amalkan dalam mengarungi kehidupan baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Ahad, 15 Mei 2022 

“Ieu Abdul Qohar urang Subang tea nya? Kamana wae nembe katingali deui?” kalimat itu meluncur lembut di lengkung bibir Bapak saat saya bertemu pada acara Silaturahmi dan Reuni Alumni Cipasung di Ciamis, Jawa Barat.

Seketika saya takjub dan merasa sangat bahagia, betapa tidak setelah sekian purnama saya tak berjumpa dengan beliau akan tetapi pada kesempatan yang sangat sempit dan riuh oleh ratusan bahkan ribuan alumni yang hadir saat itu beliau masih ingat nama dan asal saya. Jujur saja saya bahkan tak akan ingat nama dan wajah teman saya sendiri yang satu asrama bahkan satu kamar jika sekian lama tak bersua, akan tetapi saya benar-benar takjub dengan beliau yang masih ingat nama dan asal alumni dengan jumlah ribuan dan lintas generasi. Padahal, boleh jadi saya bukan santri special dan merasa paling dekat dengan beliau bila dibandingkan dengan santri dan alumni senior yang lain. Enatah apa dan bagaimana beliau masih mengingat nama saya di usia beliau yang sudah kian senja. Allah senantiasa menjaga ingatan beliau.

“Sesakeun 2 poe mah tina sataun; sapoe keur acara haul Cipasung, sapoe deui keur acara silaturahmi dan reuni Cipasung. Cirian dina Kalenderna nya!” 

Demikian pesan yang beliau sampaikan kala itu. Pesan ini beliau tegasakan berkali-kali kepada para alumni yang hadir saat itu bahwa di tengah kesibukan apa pun sempatkanlah untuk hadir saat haol dan reuni Cipasung. Kadang saya dan kita dijejali dengan kesibukkan dan keberatan untuk menyisihkan jejalan rutunitas yang tak kenal puas, hingga lupa untuk bersilaturahmi dengan para Masyayikh Cipasung.

Tak diduga tak disangka momen reuni dan silaturahmi inilah rupanya menjadi pertemuan terakhir saya dengan Bapak. Momen ini begitu menyerpihkan luka menganga pada rongga dada ketika kini sadar bahwa Bapak telah tiada.

Abdul Qohar, Ketua KAC Kabupaten Subang

https://jabar.nu.or.id/obituari/menziarahi-almagfurlah-kiai-abun-bunyamin-ruhiat-ii-dmhnr

Author: Zant