Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) mengungkapkan ada dua paham kebangsaan yang dibedakan. Keduanya adalah paham kebangsaan sebagai sesuatu yang fitri baik secara sosial maupun bahasa; dan fanatisme terhadap etnis tertentu yang tentu ini hal sebagai sesuatu yang negatif.
“Misalnya (pandangan) kami bangsa Eropa lebih tinggi daripada bangsa non-Eropa, kami bangsa Jawa lebih tinggi daripada bangsa non-Jawa, hal seperti ini negatif. Nabi bersabda tidak bagian dari kita orang yang mengajak fanatisme kelompok,” tuturnya dalam Halaqah Fiqih Peradaban di Pesantren Yanbu’ul Ulum Putri Brebes, Kamis (8/12/2022) lalu.
Menurutnya, selama membangun bangsa Indonesia dengan tidak disertai fanatisme maka tidak pula termasuk dalam hadits tersebut. Celakanya banyak orang yang menegasikan paham kebangsaan dengan hadits ini.
“Padahal kita sebagai orang Indonesia tidak fanatik dengan bangsa Indonesia, jika memang ada kebaikan di luar bangsa Indonesia maka kita akan menerima sebagai perbaikan. Tapi kecintaan kita kepada Indonesia adalah sesuatu yang fitri,” ujarnya.
Gus Ghofur menegaskan bahwa Islam tidak memerangi terhadap segala hal yang bersifat fitri. Sejak awal Islam menyampaikan bahwa agama ini adalah fitrah. Termasuk jika ada negara bangsa maka itu fitri-fitri saja dan normal tidak ada masalah.
Pada kesempatan yang sama Ketua Lakpesdam PBNU H Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menyampaikan bahwa acara halaqah kata kuncinya ada di peradaban, karena masalah yang dihadapi sekarang ini ruang lingkupnya peradaban.
“Saya ingin mundur sedikit membahas tentang peradaban, Istilah peradaban ini pertama kali digunakan pada 14 Masehi namanya adalah Ibnu Khaldun. Dia adalah seorang ulama besar bermazhab Maliki yang meninggal di Kairo. Beliau menulis kitab tentang sejarah yang tebalnya sebanyak 6 jilid, yang dimuqaddimahi setebal 1 jilid yang dikenal dengan nama kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun,” jelasnya.
Ia melanjutkan, Ibnu Khaldun menulis Kitab Muqaddimah berdasarkan pengamatan dan penelitiannya terhadap fakta-fakta pengalaman dan realitas bangsa Arab pada saat itu. Di dalam kitab tersebut Ibnu Khaldun menyatakan bahwa manusia itu secara tabiatnya cenderung untuk tinggal di suatu tempat secara permanen tidak pindah-pindah, alasannya sederhana karena manusia itu fitrahnya membutuhkan makan.
“Karena manusia membutuhkan makan maka manusia juga butuh mencari makan, tetapi jika manusia hidup sendirian maka dia tidak bisa mencukupi kebutuhan makannya secara efisien. Memakan sepiring nasi itu bukan sesuatu yang sederhana, karena nasi yang dipiring itu butuh proses yang panjang, butuh menanam nasi, memanen, dan dimasak juga, proses sepanjang itu tidak bisa dikerjakan oleh seorang diri,” jelas Gus Ulil.
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.