Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan bahwa Muktamar Intrnasional Fiqih Peradaban adalah inisiatif lanjutan dari forum religion of twenty (R20) yang telah terselenggara di Bali, pada November lalu.
Sebagaimana forum R20, muktamar ini merupakan bagian dari upaya-upaya besar NU berkontribusi mewujudkan perdamaian di tatanan dunia global.
“Inisiatif ini merupakan kelanjutan dan bagian dari upaya-upaya besar yang ingin dilakukan NU dalam berkontribusi untuk perdamaian di lintas dunia internasional,” kata Gus Yahya, sapaan akrabnya.
Demikian disampaikan dalam acara gala dinner pertemuan pengantar konvensi internasional pertama tentang yurisprudensi Islam untuk peradaban global “Fiqih Hadharah”, di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Kamis (15/12/2022) malam.
Dari keberhasilan penyelenggaraan forum R20, Gus Yahya makin yakin bahwa inisiatif untuk melaksanakan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban pertama di Indonesia ini akan memberi banyak dampak bagi pembangunan perdamaian dunia, sehingga stabilitas dan keamanan di tataran global dapat terpelihara.
“Ini adalah awalan dari suatu inisiatif strategis yang dilakukan NU di dalam upaya membangun perdamaian dunia dan memelihara stabilitas dan keamanan internasional melalui pelibatan agama dan warga pemeluk agama yang ada di dunia,” ucap kiai kelahiran Rembang itu.
“Sebagai kelanjutan dari R20, NU melangkah lebih lanjut dengan menyelenggarakan suatu forum para ulama dari seluruh dunia dan ini akan menjadi upaya untuk memberikan sumbangan dari pihak Islam, pihak dunia Islam, dan agama Islam untuk upaya-upaya perdamiaan dan stabilitas internasional,” sambungnya.
Sebab, menurutnya, sampai hari ini dunia masih dibayang-bayangi oleh konflik antarras dan konflik-konflik atas nama agama di berbagai belahan dunia. Setelah sekian lama NU mempelajari dan mendalami masalah ini, NU sampai pada kesimpulan bahwa konflik antaridentitas atau konflik atas nama agama itu sebetulnya adalah keadaan asal dari hubungan konflik antaridentitas dan agama di masa lampau.
“Itu terlihat pada abad 19 dan awal abad ke-20. Pada masa-masa itu kita akan lihat bahwa konflik-konflik seolah-olah lazim dan dinormalisasi,” paparnya.
Seiring waktu, jelas dia, konflik itu kian mencuat yang menimbulkan dorongan antarumat beragama untuk masing-masing mengklaim pembenaran atas keyakinannya masing-masing. Sampai kemudian dunia mencapai konsensus internasional, atau yang disebut sebagai Piagam PBB.
“Bahkan kelompok-kelompok agama mendorong dikobarkannya perjuangan atas nama agama masing-masing untuk menghadapi kelompok agama yang berbeda dalam rangka klaim atas kebenaran masing-masing,” jelas Gus Yahya.
Gus Yahya menilai piagam PBB sebagai konsensus internasional tentang tata dunia baru yang dibangun oleh negara-negara yang telah menyatakan persetujuannya sejatinya telah mengupayakan perdamaian dan penyelesaian konflik antargolongan. Karenanya muktamar ini mengambil latar belakang prinsip-prinsip dalam piagam PBB untuk didiskusikan secara gamblang dengan para ulama demi mewujudkan tatanan dunia yang lebih harmonis.
“Tanpa piagam PBB sebetulnya tidak ada dasar yang cukup untuk berbicara tentang perdamaian, stabilitas internasional, dan tentang harmoni di antara kelompok-kelompok identitas yang berbeda,” terang dia.
Sebagai informasi, selain dihadiri oleh jajaran pengurus tanfidziyah PBNU, pertemuan pengantar konvensi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban ini juga mengundang sejumlah tokoh agama dan duta besar-duta besar negara sahabat yang ada di Jakarta.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.