Sepenggal Kisah Hari Ibu yang Sarat Makna

Hari ini diperingati sebagai Hari Ibu dan dirayakan dengan beragam cara. Dan sebagai renungan, ada kisah demikian bermakna untuk menjadi renungan di hari ibu tersebut. Hal ini penting agar momentum hari ibu tidak semata berhenti pada seremonial, melainkan lebih dari itu. Yakni mampu menangkap pesan yang tersurat dan tersirat sebagai refleksi sarat makna.  

Kisah dimaksud ada dalam kitab Adab al-Mufrad, bahwa Imam al-Bukhari memasukkan sebuah riwayat yang menceritakan seorang ibu dan dua anaknya. 

 حدّثنا مسلم ين إبراهيم قال: حدّثنا ابن فُضالة قال: حدّثنا بكر ابن عبد الله المزنّي عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، فَأَعْطَتْهَا عَائِشَةُ ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ صَبِيٍّ لَهَا تَمْرَةً، وَأَمْسَكَتْ لِنَفْسِهَا تَمْرَةً، فَأَكَلَ الصِّبْيَانُ التَّمْرَتَيْنِ وَنَظَرَا إِلَى أُمِّهِمَا، فَعَمَدَتْ إِلَى التَّمْرَةِ فَشَقَّتْهَا، فَأَعْطَتْ كُلَّ صَبِيٍّ نِصْفَ تَمْرَةٍ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ فَقَالَ: (وَمَا يُعْجِبُكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ رَحِمَهَا اللَّهُ بِرَحْمَتِهَا صبييها) ـ 

Artinya: Diceritakan oleh Muslim bin Ibrahim, diceritakan oleh Ibnu Fudlalah, diceritakan oleh Bakr bin Abdullah al-Muzanni, dari Anas bin Malik: Datang seorang perempuan kepada Aisyah Radliyallahu ‘Anha (meminta-minta), Aisyah memberinya tiga butir kurma (karena hanya itu yang dimilikinya). Perempuan itu memberi masing-masing anaknya satu butir kurma, dan menyimpan sebutir lainnya untuk dirinya sendiri. Setelah kedua anaknya memakan kurma (pemberian Aisyah), keduanya menatap pada ibunya. Sang ibu mengambil kurma (jatahnya) kemudian membelahnya. Ia memberi masing-masing anaknya separuh kurma tersebut. Tak berselang lama, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang. Aisyah menceritakan peristiwa (yang baru saja disaksikannya). Lalu Rasulullah bersabda: Apa yang mengejutkanmu dari itu? Sungguh Allah telah merahmati ibu tersebut karena kasih sayangnya kepada anaknya. (Imam al-Bukhari, Adab al-Mufrad, Kairo: Darul Basyar al-Islamiyyah, 1989, halaman: 45) 

Kita pasti pernah mendengar pepatah yang mengatakan, “kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.” Ya, memang ada ketimpangan besar antara “kasih sayang” ibu dan anak, hingga melahirkan hukum “nilai” tak resmi yang disepakati bersama, yaitu pepatah di atas. Perbandingan sepanjang “masa” dan “galah” (tombak/tongkat) pun pantas. “Masa” mewakili ketidak-berujungan kasih sayang ibu, dan “galah” mewakili keterbatasan kasih sayang seorang anak. Terlepas dari kasus-kasus khusus seperti ibu yang membuang anaknya. 

Di sini, kita tidak akan bicara soal itu, kita hanya akan membahas soal kasih sayang ibu dan anaknya. Di setiap hati manusia, Allah meletakkan cinta dan kasih sayang. Benihnya sama, ladangnya sama, yang membedakan adalah perawatannya. Dan itu bergantung pada banyak hal, pendidikan, lingkungan, dan kemauan diri. 

Kita sering membaca kisah orang yang terlahir di lingkungan jahat, tumbuh menjadi penjahat. Kemudian pada titik tertentu hidupnya, ia merindukan perubahan, seperti kisah penjahat yang membunuh sembilan puluh sembilan orang dalam hadits riwayat Imam Muslim. 

Karena pentingnya “perawatan”, Tuhan memerintahkan manusia untuk saling mengasihi. Tuhan tahu, meski setiap manusia menyimpan benih cinta dan kasih sayang, tidak semuanya terekspresikan dengan baik; tidak semuanya berkembang dengan indah. Di sinilah peran orang tua sangat penting. 

Kasih sayang tidak melulu harus diwujudkan dengan memeluk, membelai, dan menggendong, tapi juga menyediakan pendidikan yang baik bagi anaknya. Orang-orang salih terdahulu (salafus salih) mengatakan: 

 الصّلَاح مِن اللهِ والْأَدب من الْآباء

Artinya: Kesalihan berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan adab (pendidikan/tata krama) berasal dari orang tua. (Imam al-Bukhari, Adab al-Mufrad, halaman: 46-47) 

Maksudnya, Allah sudah menanamkan segala kualitas baik kepada seluruh manusia. Namun, benih tidak akan tumbuh menjadi tanaman yang menghasilkan buah tanpa “perawatan” dan “pengurusan” yang baik. Salah satunya dengan menunjukkan kasih sayang yang tulus dan tidak pernah berkata kasar kepada anak. 

Kasih sayang orang tua merupakan pupuk bagi pertumbuhannya. Semakin banyak kasih sayang yang menghunjam, semakin besar empati yang dihasilkan. Karena itu, Rasulullah memandang penting ekspresi kasih sayang. Beliau bersabda: 

 عن أبي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَبَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ، وَعِنْدَهُ الْأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِيُّ جَالِسٌ، فَقَالَ الْأَقْرَعُ: إِنَّ لِي عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا, فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: (مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ) ـ 

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencium Hasan bin Ali, di sampingnya ada Al-Aqra’ bin Habis al-Tamimi sedang duduk. Al-Aqra’ berkata: Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, (dan) aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka. Rasulullah memandang Al-Aqra’ lalu berkata: Orang yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. (Imam al-Bukhari, Adab al-Mufrad, halaman: 46) 

Sebab, bagaimanapun juga, kasih sayang perlu dikenali, dan ciuman orang tua adalah simbol paling sederhana dari kasih sayang. Artinya, ciuman adalah langkah awal, bukan langkah tengah, apalagi langkah akhir. Dari ciuman, kasih sayang merambah ke dimensi lainnya, karena ada banyak ragam dalam menunjukkannya, Rasulullah bersabda: Orang yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Ada hukum timbal-balik di sini, yaitu orang yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Begitu pun dalam proses mendidik anak, masih ada ruang luas untuk kasih sayang, dan ciuman adalah salah satu contohnya.   

Baiklah, kita kembali ke pembahasan awal. Untuk mempermudah, kita akan melakukan visualisasi secara imajinatif. Ketika mengandung, seorang ibu membagi jantungnya, menahan beban di perutnya, menjaga makannya dan berhati-hati dalam berperilaku. Ia membawa beban 2-3 kilogram berbulan-bulan lamanya. Bayangkan saja, ketika kita membawa tas seberat 2-3 kilogram seharian penuh, kita merasakan kelelahan yang sangat, dan mengeluh sejadi-jadinya. 

Bandingkan dengan beban yang dibawa seorang ibu ketika mengandung, berbulan-bulan lamanya ia bertahan, tidak hanya itu, tapi harus berhati-hati juga. Jika kita bayangkan dengan standar pandang kita, sungguh sangat menyusahkan. Di tambah lagi, terkadang para ibu, demi kesehatan bayinya, mereka terpaksa memakan makanan yang tidak mereka sukai, dan terpaksa tidak memakan makanan yang mereka sukai. Jadi, pantas saja jika seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, terutama ibunya. 

  

Dengan pernah mampir di kandungannya saja, sudah cukup menjadi alasan berbakti kepadanya. Belum lagi alasan-alasan lain yang jika ditulis akan menghabiskan berpuluh-puluh halaman. Karena itu, kita cukupkan saja sampai di sini. 

Sebelum mengakhirinya, kita perlu mengingat perkataan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di baris terakhir kisah di atas. Bahwa Allah telah merahmati ibu tersebut sebab kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Ini merupakan kabar gembira bagi para ibu, karena tanpa disadari kalian mendapatkan rahmat Allah setiap kali menampakkan atau merasakan kasih sayang untuk anak kalian, meski hanya senyum kecil dari kejauhan. Menyenangkan, bukan? Wallahu a’lam bi al-shawab

 


https://jatim.nu.or.id/rehat/sepenggal-kisah-hari-ibu-yang-sarat-makna-kYhPy

Author: Zant