Sumenep, NU Online
Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Hodri Ariev mengatakan, benih-benih gagasan fiqih peradaban bermula dari wasiat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Diceritakan, 4 bulan sebelum kewafatannya, Gus Dur yang terbaring sakit di Ciganjur meminta membuat rencana strategis agar Barat membantu Islam.
Pernyataan ini disampaikan pada acara Halaqah Fiqih Peradaban dengan mengusung tema ‘Fikih Siyasah dan Negara Bangsa’, Kamis (22/12/2022). Acara dipusatkan di aula pertemuan Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk, Sumenep.
“Kami membawa gagasan Gus Dur ke Rembang. Kala itu bertemu dengan Gus Mus yang merespons sambil tersenyum. Dikatakan oleh beliau, ini wasiat strategis. Untuk menolong Islam, Barat akan mempelajari pihak yang akan ditolong,” ujarnya saat memberikan sambutan.
Yang diharapkan Gus Dur, lanjutnya, bagaimana Barat belajar Islam sehingga mereka paham Islam yang sebenarnya. Sedangkan yang dijadikan referensi adalah NU yang tidak memiliki kepentingan politik praktis dan berposisi netral. Sehingga dengan jelas Barat memahami Islam yang Rahmatan lil Alamin.
Kiai kelahiran Jember itu menyatakan, isu yang sering dibawa dalam halaqah ini, tidak lepas dari perang dan kedamaian. Pasalnya, isu yang menarik ini mendapat perhatian internasional. Oleh karenanya, fiqih dijadikan pilihan guna merespons perkembangan kontemporer yang tetap berpijak pada turats dan khazanah ulama Nusantara yang banyak mengutip dari ulama-ulama sebelumnya dan bersambung sanadnya pada Rasulullah.
Kiai Hodri menegaskan, PBNU telah menetapkan fiqih siyasah menjadi pijakan dalam berpikir dan merespons serta menjawab isu-isu yang berkembang dalam kancah global. Jika tidak dijawab, Islam seperti tidak bisa memberi solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi dunia.
“Halaqah ini tidak hanya membicarakan isu-isu lokal, tapi memberikan tawaran kepada konflik-konflik yang bersifat global,” ungkapnya sembari melemparkan senyuman.
Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, kata dia, mengajak pada para kiai untuk berpikir guna menjawab masalah-masalah yang dihadapi umat. Seperti halnya Gus Dur di masa lalu yang mendorong pelaksanaan halaqah-halaqah di berbagai pesantren.
“Hasilnya luar biasa. Para kiai menjadi leading opinion yang menjawab banyak masalah yang muncul di Indonesia pada waktu itu,” kenangnya.
Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk ini menceritakan, Grand Syekh Al-Azhar menandatangani kesepakatan persaudaraan internasional dengan Paus dari Vatikan. Berangkat dari kesepakatan ini, ia mengutarakan bahwa NU memiliki dokumen penting yang dihasilkan lewat putusan Muktamar Ke-27 NU tahun 1984 tentang ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah, dan Basyariyah.
Dalam sudut pandangnya, putusan ini bukan menunjukkan NU lebih hebat. Ia melihat pemikiran masyayikh berpijak pada fiqih. Artinya, putusan tersebut memberikan tawaran dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di beberapa negara. Kini menjadi harapan di dunia internasional.
Sebelum Muktamar ke-34 NU di Lampung, sambungnya, Ketum PBNU melakukan diskusi secara intensif bersama alim ulama. Mulai dari Rembang, Pati, Jakarta, dan sebagainya. Ternyata diskusi tersebut mengajak para kiai untuk bersama-sama memikirkan konflik yang terjadi di dunia internasional.
“Ada negara yang mengklaim sebagai negara Islam. Namun kenapa antarsesama saling berperang? Sejak itulah muncul gagasan-gagasan mencari resolusi konflik. Salah satu usulannya adalah merumuskan fiqih peradaban. Jadi, lewat pertemuan terbatas itu, gagasan ini dirumuskan, kemudian dibahas dalam pertemuan besar,” terangnya.
Tak sampai di situ, halaqah ini bisa jadi sesuatu yang baru, yang menjadi perantara penyelesaian konflik tidak hanya di Indonesia. Lebih dari itu PBNU berharap dengan Halaqah tersebut Indonesia menjadi contoh bagi negara-negara yang masih berkutat pada konflik agama, ras, suku, dan kepentingan lainnya.
“Kami tidak ingin menggarami lautan, tetapi meletakkan gagasan yang diharapkan PBNU. Halaqah yang dilaksanakan di pesantren Annuqayah, Nurul Jadid Paiton Probolinggo, Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Jombang, Ploso, dipandang halaqah kelas 1. Maksudnya, yang terlibat dalam halaqah ini para kiai pemikir. Sedangkan di beberapa pesantren lainnya, dipandang halaqah kelas 2 yang bersifat brainstorming yang terlibat dalam memikirkan halaqah ini,” paparnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Silo, Jember ini mengatakan, forum ini ingin menawarkan konsep negara dan bangsa kepada negara di luar Indonesia. Hasil dari pertemuan ini diselaraskan dalam Muktamar Fiqih Peradaban Internasional yang akan dilaksanakan dalam rangkaian 1 Abad NU.
“Ada 200 pembicara internasional yang diundang dalam Halaqah Fiqih Peradaban. Di forum internasional itu, KH Ulil Abshar Abdalla Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) akan membuat rumusan-rumusan yang memunculkan rekomendasi yang akan direplikasi di beberapa negara yang sedang dirundung konflik,” tuturnya.
Baginya, Halaqah Fiqih Peradaban akan memberikan penjelasan tentang Islam dalam beberapa isu, seperti isu tentang negara dan bangsa, perang dan perdamaian, kaum minoritas dan sebagainya.
Dijelaskan, menurut beberapa pengamat internasional, NU satu-satunya organisasi yang memperjuangkan perdamaian di seluruh dunia. Padahal NU bukan negara, tapi memiliki jamaah yang memikirkan bangsa. Dalam dunia pesantren disebut dakwah bil hal untuk mewujudkan Islam yang Rahmatan lil Alamin yang berdasarkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah.
“Politisi Barat bingung, apa yang diharapkan NU? Keuntungan apa yang diharapkan? NU punya Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang banyak, tapi tidak merebut kekuasaan. Yang dilakukan NU tidak ingin menguasai dunia. Bahkan tidak mendapat keuntungan ekonomi dan sosial. Kendati demikian ada yang tidak memahami harakah dan siyasah ini,” sergahnya.
Kiai Hodri menegaskan, halaqah yang dihelat di berbagai pesantren, tujuannya mengajak para kiai untuk menunjukkan bahwa NU dan pesantren memiliki otoritas yang mengajarkan Islam ke seluruh dunia. Jika demikian, NU akan menjadi referensi.
“Kita memiliki khazanah pemikiran yang diwarisi para ulama. Jika tidak dikaji akan menjadi kekayaan yang terbenam. Mari kita hadirkan Islam yang Rahmatan lil Alamin pada seluruh umat,” pintanya.
Kontributor: Firdausi
Editor: Syamsul Arifin
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/daerah/halaqah-fiqih-peradaban-bermula-dari-wasiat-gus-dur-QJGd2